NovelToon NovelToon
Cahaya Terakhir Senja

Cahaya Terakhir Senja

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Playboy / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Allamanda Cathartica

Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.

Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.

#A Series

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 14: Sisi Gelap dan Cahaya Harapan

Akhir pekan telah tiba. Rupanya Aletta sudah menyusun rencana matang di kepalanya sejak semalam. Sebagai buktinya, sejak pukul tujuh pagi dia terlihat sibuk di dapur. Entah apa yang sedang dia persiapkan.

Keringat mulai membasahi keningnya, menetes perlahan seiring langkah kecilnya yang terus bergerak di dapur. Aletta mondar-mandir tanpa henti, dari satu sudut dapur ke sudut lain lalu kembali lagi. Celemek yang dikenakannya kini penuh noda cokelat dan berbagai warna lainnya.

Dengan napas sedikit terengah, Aletta berdiri di depan oven, menatapnya dengan penuh harap. Matanya terpaku pada alat tersebut, menunggu sesuatu yang dia buat di dalamnya. Tidak lama, suara "ting!" terdengar, menandakan bahwa isi oven telah matang dan siap untuk dikeluarkan.

"Huh, akhirnya selesai juga," gumam Aletta sambil mengusap keningnya dengan punggung tangan. Dia kemudian menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, bersiap menyelesaikan langkah terakhir.

Rambutnya yang disanggul asal-asalan kini tampak kusut, beberapa helaian jatuh di wajahnya. Keringat terus mengalir dari ujung surai hitamnya, sementara wajahnya penuh noda akibat pergulatannya dengan adonan dan bahan-bahan masak sekitar satu jam yang lalu. Meski begitu, ada ekspresi puas di wajah Aletta.

Dengan hati-hati, dia mengeluarkan kue buatannya dari oven dan mulai memasukkannya ke dalam kotak makan yang sudah dia siapkan. Resep ini seperti biasa berasal dari chef terbaik di rumahnya. Siapa lagi kalau bukan bundanya.

"Astaga, Kak! Habis ngapain sih?" Enno hampir melompat kaget saat berpapasan dengan Aletta yang terlihat berantakan.

"Ada apa?" tanya Aletta, bingung sambil mengusap wajahnya. "Kotor ya? Masa separah itu, Cil?" Dia lalu mencoba membersihkan bajunya yang sudah penuh noda.

"Enggak cuma kotor, Kak Aletta. Tapi bener-bener hancur. Sumpah," ucap Enno sambil membuat tanda huruf V dengan jari, wajahnya dibuat serius seolah memberatkan situasi.

Aletta menatap Enno dengan ekspresi tidak percaya. "Bohong, kan? Pasti kamu cuma bercanda."

"Ngapain juga aku bohong? Nih, lihat sendiri!" jawab Enno sambil mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya tepat di depan wajah Aletta.

"YA AMPUN!" teriak Aletta begitu melihat pantulan dirinya di layar ponsel.

Teriakan itu membuat Enno buru-buru menutup telinga kirinya. Namun, karena tangan kanannya masih memegang ponsel, dia tidak sempat melindungi telinga satunya. "Wah, bakal budek nih telinga kanan!" gerutu Enno pelan.

Tanpa banyak bicara, Aletta langsung meraih ponsel dari tangan Enno dan berlari pergi begitu saja. Sadar kalau ponselnya diambil, Enno menjadi panik.

"Kak! HP-ku balikin! Mau dibawa ke mana itu?" serunya sambil mengejar Aletta.

"Kak, jangan! Itu satu-satunya HP yang Enno punya. Kalau sampai rusak, terus Enno gimana mau yayang-yayangan sama pacar? Please, Kak! Kasihanin Enno dong!" rengek Enno dengan wajah memelas.

Mendengar itu, Aletta spontan tertawa kecil.

"Siapa bilang Kakak mau ngerusak HP-mu? Kakak cuma mau nge-charge ponselmu, sekalian Kakak ke kamar mandi, bukan ke sungai, santai aja kali." jelas Aletta sambil terus berjalan.

"Oh, gitu." Enno akhirnya menarik napas lega, tangannya mengelus dada seperti baru selamat dari bahaya besar.

Namun, langkah Aletta terhenti. Dia menoleh tajam ke arah Enno. "Tunggu, tadi kamu bilang kamu udah punya pacar? Anak kecil kayak kamu udah pacaran aja? Duh, masih bocah, uang saku aja masih minta Bunda, tapi gayanya kayak orang dewasa. Bangga banget modal tampang doang ya?" ledek Aletta sambil memutar bola matanya.

"Suka-suka Enno dong. Yang penting Enno laku," jawab Enno santai, tanpa beban.

Aletta hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil memelototi adiknya. "Dasar anak kecil! Dasar bocil tengil!" gumamnya kesal, tapi dengan nada yang lebih mengarah ke tawa kecil.

***

Di waktu yang bersamaan terlihat keadaan di kamar Alfariel seperti kapal pecah. Bantal dilempar sembarangan oleh Alfariel yang sedang marah. Gelas pun sudah tidak berbentuk. Alfariel menjambak rambutnya frustasi, wajahnya memerah terkuasai amarah.

Di tengah kekacauan itu, seorang pria muda berdiri tegap di dekat pintu. Seragamnya yang rapi menunjukkan bahwa dia seorang profesional medis. Pada dada jasnya tersemat name tag bertuliskan dr. Daniel Evan, Sp.KJ. Dia adalah psikiater yang sengaja dipanggil oleh Gio untuk membantu menenangkan Alfariel. Daniel hanya menggelengkan kepala, tampak tidak terpengaruh oleh ledakan emosi Alfariel.

"Sudah kubilang, aku tidak butuh bantuanmu! Pergi dari sini!" bentak Alfariel, tangannya menunjuk ke arah pintu dengan tegas. Matanya menatap tajam, penuh kebencian.

Alih-alih menurut, Daniel justru melangkah lebih dekat. Wajahnya tetap tenang, bahkan ada sedikit senyum sinis di bibirnya. Dia tidak tampak takut sedikit pun, meski Alfariel jelas-jelas sedang di ambang ledakan berikutnya.

"Capek, kan? Kalau iya, kenapa enggak sekalian saja hancurin semuanya?" ujar Daniel dengan nada santai, sengaja memancing emosi Alfariel lebih dalam.

Sambil berbicara, Daniel mengambil sebuah bingkai foto dari atas nakas. "Mungkin ini juga bisa dihancurkan," tambahnya sambil memutar-mutar bingkai itu di tangannya.

Mata Alfariel membelalak, penuh kebencian. Rahangnya mengeras dan dia langsung melangkah maju dengan amarah yang tak terkendali. "Jangan sentuh itu! Cepat kembalikan!" bentaknya lantang, hampir seperti auman singa yang terluka.

Daniel hanya tersenyum mengejek, sengaja memperpanjang momen itu. Namun, dalam hitungan detik, tangan Alfariel merampas bingkai foto tersebut dengan kasar. Dia menggenggamnya erat, seperti melindungi harta paling berharganya.

Tidak ada yang boleh menghancurkan foto paling berharga milik Alfariel. Jika Alfariel tidak bisa melihat Mamanya lagi, setidaknya dia bisa melihat foto Mamanya. Setiap bangun tidur dan ketika akan tidur, Alfariel selalu memandang foto Belinda dan dirinya, maka dari itu Alfariel menaruhnya di atas nakas. Disana terpampang foto Belinda dan Alfariel yang tersenyum senang dengan background sunset di Pantai Kuta.

"Ren—" ucap Gio terpotong karena dirinya kaget melihat kondisi kamar Alfariel yang tak karuan.

"Apa yang terjadi di sini, Daniel?" tanya Gio dengan nada cemas, menatap Daniel dengan penuh kekhawatiran. Matanya beralih pada gelas yang pecah di lantai dan ekspresi Alfariel yang masih penuh amarah.

"Dia melukaimu?" lanjut Gio, suaranya bergetar. Kekhawatirannya meluap, membayangkan kemungkinan terburuk.

Daniel mengangkat bahu santai. "Tenang saja. Aku masih utuh. Tapi .. mungkin kamarnya nggak begitu beruntung," katanya sambil melirik bantal-bantal yang berserakan.

Daniel merangkul pundak Alfariel tiba-tiba. Alfariel menepis kasar lalu berjalan menjauh. "Kemarilah teman! Kenapa menjauh? Bukannya tadi kita ingin bermain?" Danial melambaikan tangannya.

“Main sendiri saja! Dasar bodoh!” balas Alfariel dengan penuh ketidaksukaan.

“Jaga ucapanmu, Ren! Daniel itu lebih tua dari kamu. Seharusnya kamu tahu bagaimana bersikap sopan,” tegur Gio dengan nada tajam, mencoba menahan kemarahan terhadap perilaku anaknya.

Alfariel langsung merasa terpojok. Baginya, tidak adil jika papanya lebih memihak orang asing ketimbang dirinya sendiri. Kemarahannya makin memuncak karena Gio sekali lagi memanggil Daniel untuk membantunya. Padahal, Alfariel merasa baik-baik saja.

“Papa tuh kenapa sih? Selalu sok tahu. Ren ini bukan gila, Pa! Kalau Papa bilang Ren gila, Papa aja sekalian yang pergi ke orang ini!” sergah Alfariel, matanya memerah penuh emosi.

Daniel tetap tenang meski situasi memanas. “Hei, aku rasa Papamu tidak pernah bilang kalau pekerjaanku hanya menangani orang gila, kan? Aku di sini hanya untuk menjengukmu.” Nada Daniel tetap lembut, mencoba meredakan ketegangan.

“Jangan coba-coba membohongi saya! Maaf ya, Dokter, saya tidak sebodoh itu untuk percaya omong kosong Anda,” balas Alfariel dengan nada sinis, tatapannya penuh kebencian.

Gio yang merasa situasi makin sulit dikendalikan, menepuk bahu Daniel. “Kita perlu bicara di luar,” bisiknya pelan.

Daniel mengangguk. Sebelum pergi, dia mengelus kepala Alfariel dengan lembut. “Istirahatlah. Aku yakin kamu capek,” katanya dengan penuh perhatian.

Alfariel tidak menggubrisnya. Begitu Daniel meninggalkan kamar, Alfariel kembali berteriak, “Pergi jauh-jauh! Jangan pernah kembali lagi! Mati saja lo! Gue nggak peduli!”

Di ruang tamu, Gio dan Daniel duduk berhadapan, terlibat pembicaraan serius. Gio tampak kusut, kepalanya tertunduk lesu. Pikiran-pikirannya berkecamuk, dihantui ketakutan bahwa keadaan Alfariel akan semakin memburuk.

“Tenang, Gio. Alfariel hanya butuh waktu. Dia sedang mencari cara untuk menerima kehadiranku.” ujar Daniel dengan nada meyakinkan.

Gio menghela napas panjang, kemudian berkata, “Aku tahu bagaimana sifat Ren. Kalau dia sudah bilang tidak, apa pun caranya dia akan terus menolak. Kamu lihat sendiri tadi, dia begitu marah hanya karena kehadiranmu.”

Daniel tersenyum tipis. “Kamu ragu padaku, Gio?”

Gio menggeleng cepat. “Bukan begitu. Aku sangat percaya padamu. Tapi tadi … kamu lihat sendiri, kan? Ren malah mengamuk. Itu membuatku khawatir dia makin kehilangan kendali.”

“Percayalah, aku sudah banyak menangani pasien dengan berbagai sifat. Termasuk mereka yang serupa dengan Alfariel. Aku berjanji akan membuatnya kembali seperti dulu. Akan ada senyum di wajah anakmu suatu hari nanti. Kamu hanya perlu bersabar,” ucap Daniel mantap.

Kata-kata Daniel memberikan sedikit kelegaan bagi Gio. Dia mulai percaya bahwa harapan untuk melihat Alfariel kembali seperti dulu masih ada. Perlahan, Gio yakin, sifat pemarah anaknya akan hilang, tergantikan oleh ketenangan dan kebahagiaan sejati.

***

Bersambung …..

1
Oryza
/Speechless/
Hindia
nah kan bener ada backingannya
Hindia
pantes aja ya ternyata dia punya backingan
Hindia
sok sok an banget
Hindia
parah banget mita
Hindia
sumpah bu tya ini sangat mencurigakan
Hindia
lah berarti selama ini alfariel ngode gak sihh kalau emang ekskul tari itu ada sesuatu
Hindia
Alurnya ringan, sejauh ini bagusss
Hindia
Walahhh alfariel mah denial mulu kerjaannya
Hindia
Gass terus abyan
Hindia
Tumben banget nih si Fariz agak bener otaknya
Gisala Rina
🤣🤣
Gisala Rina
udah lupa ajah nih anak 🤣🤣
Gisala Rina
mungkin ada alasan yang bikin papa lu ga bicara jujur.
Gisala Rina
jangan gitu. begitu juga itu papa lu alfariel 🤬
Gisala Rina
mang eak mang eak mang eak sipaling manusia tampan 1 sekolah 😭
Gisala Rina
cowok bisa ngambek juga yaa ternyata hahaha
Gisala Rina
Kwkwkwkwk kalian kok lucu
Gea nila
mending kamu fokus ajah alfariel. emang sih bakal susah. tapi ya gimana lagi 😭
Gea nila
wkkwkwk sabar ya nasib jadi tampan ya gitu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!