Jihan yang polos dan baik hati perlu mengumpulkan uang dalam jumlah yang besar untuk membayar tagihan medis ibunya yang sakit parah. Terpaksa oleh situasi, dia menandatangani kontrak pernikahan dengan CEO perusahaan, Shaka. Mereka menjadi suami istri kontrak.
Menghadapi ibu mertua yang tulus dan ramah, Jihan merasa bersalah, sedangkan hubungannya dengan Shaka juga semakin asmara.
Disaat dia bingung harus bagaimana mempertahankan pernikahan palsu ini, mantan pacar yang membuat Shaka terluka tiba-tiba muncul...
Bagaimana kisah perjalanan Jihan selama menjalani pernikahan kontrak tersebut.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Tak lama setelah Jihan masuk, wanita paruh baya yang berbaring lemah di atas ranjang pasien itu membuka perlahan matanya. Jihan sontak tersenyum lebar penuh kelegaan, Mamanya masih sanggup bertahan di tengah-tengah rasa sakit yang pastinya sangat menyiksa.
Jihan lantas menggenggam tangan Mamanya dalam posisi duduk di samping ranjang.
Dewi menatap iba pada putri sulungnya. Jihan telah bekerja kerasa dan berjuang sendiri untuk menghidupi keluarga sejak 2 tahun terakhir. Sebagai seorang ibu, hati Dewi tentu teriris. Sedikitpun dia tidak pernah berfikir ingin mengusahakan anak-anaknya. Namun takdir berkata lain. Sakit yang dia derita juga bukan kemauannya.
Buliran bening keluar dari sudut matanya, menimbulkan kepanikan dalam hati Jihan. Mamanya hanya diam saja dan tiba-tiba menangis. Segera Jihan menghapus air mata Mamanya.
"Mama kenapa nangis.? Ada yang sakit.?" Jihan menatap cemas.
Dewi menggeleng lemah sebagai jawaban. Walaupun merasakan sakit pada fisiknya, tapi rasa sakit itu tidak sebanding dengan sakitnya melihat Jihan berjuang sendiri.
Di usianya yang sudah 25 tahun, seharusnya Jihan sudah merancang masa depan, mulai mencari pendamping untuk di jadikan suami agar memiliki keluarga sendiri. Namun Jihan masih bertahan dalam kesendirian, lebih memprioritaskan orang tua dan adiknya dibanding memikirkan kebahagiaannya sendiri.
Hati Ibu mana yang tidak terluka.
"Mama minta maaf sudah menyusahkan kamu, Jihan." Lirih Dewi tercekat. Kondisinya yang sakit-sakitan membuat Dewi merasa menjadi beban untuk putrinya. Padahal Jihan tidak merasa begitu, dia justru senang karna masih diberi kesempatan untuk merawat orang tuanya. Jihan percaya bahwa setiap kebaikan dan baktinya terhadap orang tua, pasti akan berbuah manis dikemudian hari.
Jihan menggeleng keras. Ini sudah kesekian kalinya sang Mama minta maaf padanya.
"Mama jangan bicara seperti itu, perjuangan Mama melahirkan dan merawat aku dengan Juna jauh lebih besar dari apa yang aku berbuat sekarang. Ini belum ada apa-apanya Mah. Mama jangan merasa menjadi beban, Jihan ridho dan ikhlas berjuang demi Mama. Untuk itu Jihan minta sama Mama, tolong bertahan demi kami." Kata Jihan penuh harap.
Air mata Dewi semakin mengalir deras. Dalam hatinya dia memanjatkan do'a untuk kebahagiaan Jihan serta Juna.
Suara isak tangis Dewi mengusik tidur Juna. Laki-laki itu kemudian terbangun dan langsung menghampiri Mama serta Kakaknya yang sedang berpelukan sambil menangis.
Juna ikut bergabung dan memeluk keduanya. Keluarga kecil itu akhirnya menangis bersama.
Seandainya terlahir dari keluarga kaya, mungkin Jihan dan keluarganya tidak akan menghadapi kesulitan seperti ini. Mereka tidak perlu pusing memikirkan biaya kuliah, biaya operasi dan bayar sewa rumah.
Setelah puas meluapkan kesedihan dan sesak di dada yang selama ini mereka pendam sendiri-sendiri, terlihat ketiganya jauh lebih baik. Beban mereka sedikit berkurang.
"Dek, kamu bisa jagain Mama lagi nggak malam ini.? Kakak ada urusan sebentar, mau cari pinjaman buat operasi Mama." Lirih Jihan agar suaranya tidak terdengar oleh Dewi.
"Memangnya berapa biaya operasinya sampai Kak Jihan harus cari pinjaman.?"
Jihan sempat terdiam, dia tidak sadar kelepasan bicara soal meminjam uang. Juna pasti akan kepikiran kalau Kakaknya harus sampai meminjam uang untuk operasi Mama mereka.
"Pinjaman buat jaga-jaga saja Dek, takutnya tabungan Kakak kurang. Gajian Kakak kan masih 2 minggu lagi." Tutur Jihan setelah memutar otak untuk mencari jawaban yang masuk akal tanpa harus membuat Juna mengkhawatirkan soal biaya operasi.
Juna mengangguk paham.
"Kakak pergi saja, aku akan jagain Mama."
Jihan tersenyum samar lalu beranjak dari sofa. Dia buru-buru pulang ke rumah untuk bersiap, 2 jam lagi Shaka akan menjemputnya.
Jihan butuh persiapan yang matang untuk bertemu orang tua Shaka supaya tidak membuat Shaka malu karna sudah membawa gadis miskin sepertinya untuk dijadikan istri walaupun hanya sementara.
...*******...
Shaka baru saja tiba di rumah dan langsung di cecar banyak pertanyaan oleh Mamanya. Wajah tampan Shaka mendadak masam. Setiap hari selalu di tagih untuk mencari calon istri.
"Nanti malam aku bawa dia ke rumah, aku ke atas dulu." Jawab Shaka saat di tanya sudah menemukan calon istri apa belum.
Sonia lantas melongo tak percaya, baru tadi siang Shaka bilang kalau tidak dekat dengan wanita manapun, tau-tau sudah ada calon yang mau di bawa ke rumah.
Sonia seharusnya senang karna keinginannya untuk melihat Shaka menikah akan segera terwujud, tapi dia jadi penasaran wanita seperti apa yang akan di kenalkan padanya.
"Tunggu Shaka, anak gadis siapa yang mau kamu kenalkan sama Mama.? Apa Mama dan Papa kenal orang tuanya.?" Tanya Sonia sambil membuntuti putranya menaiki anak tangga.
"Nanti Mama juga tau. Aku mau mandi dan siap-siap dulu." Jawab Shaka yang buru-buru pergi ke kamarnya agar tidak di interogasi sang Mama.
Sonia menghela nafas kecewa, sekarang dia jadi penasaran pada sosok wanita yang akan dijadikan istri oleh putranya. Sebagai seorang Ibu, hati Sonia ketar-ketir. Takut gadis itu bukan wanita baik-baik.
Padahal Sonia sendiri yang memaksa Shaka agar segera menikah, giliran Shaka sudah dapat calon istri, Sonia malah khawatir.
Tapi meski begitu, Sonia sangat paham karakter putranya. Shaka tidak akan gegabah dalam menentukan pilihan. Jadi tidak menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan. Sonia percaya putranya bisa mendapatkan wanita yang baik.
...*******...
Jihan duduk di depan meja rias. Kegugupan tidak bisa Jihan tutupi. Wajahnya sedikit pucat walaupun bibirnya sudah dipoles lipstik merah murah yang cocok dengan kulit putihnya.
Jihan sudah selesai dandan, tapi masih terdiam di sana dengan pikiran yang melayang-layang.
Malam ini dia memakai midi dress terbaiknya. Walaupun tanpa lengan, tapi masih cukup sopan untuk dipakai menemui calon mertuanya.
Dress sepanjang betis itu tampak cocok di tubuh Jihan yang tinggi dan langsing.
Rambut lurus Jihan dibiarkan terurai. Warnanya hitam pekat, sangat kontras dengan kulit putih Jihan.
Getar ponsel membuyarkan lamunan Jihan. Wanita itu melirik ponselnya yang menyala di atas meja rias.
Ada panggilan masuk dari nomor tidak di kenal. Jihan bisa menebak siapa pemilik nomor itu, jadi buru-buru mengangkatnya.
"Aku di depan gang, mobilnya nggak bisa masuk. Cepat kesini." Suara dengan nada perintah itu terdengar dingin. Jihan belum sempat menjawab, tapi sambungan ponselnya sudah terputus.
Wanita cantik itu langsung mencebikkan bibir. Gemas sendiri dengan sikap Shaka.
Mau mengajaknya bertemu calon mertua tapi hanya menjemput sampai gang saja.
Jihan melangkah cepat menuju jalan raya di ujung gang. Beruntung jarak rumah ke gang itu tidak terlalu jauh. Jihan lantas menghampiri mobil mewah warna hitam yang terparkir di pinggir jalan.
Begitu berhenti di samping mobil, pintunya di buka dari dalam.
Jihan bisa melihat wajah datar Shaka yang selalu tidak enak di pandang.
"Ayo masuk.!" Titahnya acuh.
"Iya Pak." Jawab Jihan sambil masuk ke dalam mobil.
Shaka Berdecak pelan.
"Nanti jangan panggil Pak di depan orang tua saya.!" Tegasnya. Jihan mengangguk kikuk sambil susah payah menelan ludah.
Kalau tidak boleh panggil Pak, lalu harus panggil apa.? Batin Jihan bingung.