Celia adalah seorang ibu tunggal yang menjalani kehidupan sederhana di kota Bandung. Setiap hari, dia bekerja keras di toko perkakas milik ayahnya dan bekerja di bengkel milik seorang kenalan. Celia dikenal sebagai wanita tangguh, tapi ada sisi dirinya yang jarang diketahui orang, sebuah rahasia yang telah dia sembunyikan selama bertahun-tahun.
Suatu hari, teman dekatnya membawa kabar menarik bahwa seorang bintang basket terkenal akan datang ke kota mereka untuk diberi kehormatan oleh walikota dan menjalani terapi pemulihan setelah mengalami cedera kaki. Kehebohan mulai menyelimuti, tapi bagi Celia, kabar itu adalah awal dari kekhawatirannya. Sosok bintang basket tersebut, Ethan Aditya Pratama, bukan hanya seorang selebriti bagi Celia—dia adalah bagian dari masa lalu yang telah berusaha dia hindari.
Kedatangan Ethan mengancam untuk membuka rahasia yang selama ini Celia sembunyikan, rahasia yang dapat mengubah hidupnya dan hidup putra kecilnya yang telah dia besarkan seorang diri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WOW
Ethan memandangi kerumunan orang yang mendengarkan setiap kata dari wali kota. Namun, pikirannya terus melayang, fokusnya hanya bertahan lima menit sebelum kembali hilang. Inilah alasan dia meninggalkan kota ini: kecil, membosankan, dan menurut semua keributan yang ada, dia mungkin adalah hal paling menarik yang terjadi di sini sejak perayaan tahun baru.
Ethan kembali mencoba mendengarkan kata-kata wali kota tentang sekolah dan lingkungan. Dia melirik Dewi yang duduk di barisan depan, sibuk mengetik di Iphone-nya, mungkin sedang mengirim pesan kepada Kevin.
Matanya mulai terasa berat, dan dia menguap. Ethan mencubit dirinya sendiri untuk tetap terjaga, lalu kembali melihat ke arah kerumunan. Pergelangan kakinya terasa gatal, dan dia rela melakukan apa saja untuk mendapatkan pena demi menggaruknya. Kapan siksaan ini akan berakhir?
Pandangan Ethan beralih ke toko es krim di kejauhan, dan dia tersenyum. Dia mengenali toko es krim itu, tempat yang dulu sering dikunjungi. Mungkin bukan tempat paling populer, tapi setidaknya dia punya beberapa kenangan tak terlupakan di sana, terutama pertemuan pertamanya dengannya.
Celia sedang menunggunya di bilik. Ethan memutar mata sambil melambaikan tangan untuk mengusir Dina, yang sedang dalam perjalanan untuk mewarnai rambutnya lagi. Pak Danar telah memasangkan mereka dalam proyek ini. Ethan tahu dia hampir gagal, dan jika gagal, itu berarti dia tidak lagi bisa masuk tim basket. Hal ini juga berarti Pak Danar akan menjadi guru yang bertanggung jawab atas kekalahan tim di kejuaraan. Solusinya adalah menjadikan Celia sebagai pasangan proyek Ethan. Itu akan menjadi nilai A termudah yang pernah didapat Ethan—yang perlu dia lakukan hanyalah duduk seminggu sekali atau dua kali dan membiarkan Celia melakukan semua pekerjaan.
"Hai," kata Ethan sambil melihat ke arah buku catatan dan buku-bukunya. "Apa semua ini?"
"Aku membagi tugasnya dan membuat panduan belajar," jawab Celia sambil menatapnya. "Aku sudah memberikan panduan belajar untuk setiap tugas yang diberikan. Aku tidak tahu seberapa baik kamu memperhatikan di kelas, tapi tergantung pada apa yang sudah kamu ketahui, ini seharusnya memudahkanmu untuk memahaminya."
Ethan tertawa kecil. "Jadi, kamu akan mempercayakan nilaimu pada orang bodoh seperti aku?"
Celia menatapnya. "Kamu kapten tim basket dan ketua kelas, jadi kamu tidak sebodoh yang orang pikirkan. Jelas kamu paham politik dan etika yang bisa menarik minat orang untuk memilihmu. Dan jika kamu berpikir aku akan melakukan semua pekerjaan sementara kamu hanya duduk santai, kamu sangat salah. Aku sudah memberimu bagian-bagian yang familiar untukmu. Topik kita adalah politik dan gaya hidup di Era Keemasan."
"Jadi, kamu memilihku?"
"Tidak," jawab Celia sambil membuka bukunya.
"Kenapa tidak?" Ethan bersandar ke belakang dan melihat buku catatan yang dia letakkan di depannya, lengkap dengan panduan belajar yang ditulis dengan rapi. Gadis ini terlalu terorganisir untuk ukuran manusia normal.
"Aku mencalonkan diri melawanmu."
Ethan mengangkat alis. "Tidak mungkun." Dia berpikir sejenak lalu menggeleng. "Aku yakin, itu hanya antara aku dan Tara."
"Aku kandidat ketiga; aku yang membagikan permen lolipop."
"Oh," Ethan menjawab, masih bingung. "Sayang sekali."
"Ya, jangan berpura-pura kalau kamu ingin mengenalku atau peduli. Mari kita luruskan beberapa hal di sini."
"Kamu kelihatan sensitif," kata Ethan sambil bersandar ke depan. "Apa kamu sedang datang bulan?" bisiknya.
Celia memutar mata. "Minggu depan pada waktu ini kita akan bertemu di sini lagi. Bagianmu harus sudah selesai atau setidaknya setengah jalan." Dia mulai membereskan barang-barangnya, bersiap untuk pergi.
Ethan memperhatikannya berdiri, alarm di kepalanya berbunyi. Ini bukan seperti yang dia bayangkan. "Aku benar-benar tidak berpikir itu ide yang bagus. Maksudku, aku benar-benar tidak—"
Celia meletakkan buku teks di depannya dengan suara keras, membuat Ethan tersentak. Dia melihat buku itu, lalu menatap Celia yang mulai bicara.
"Aku punya nilai rata-rata 4,8. Aku tidak peduli apa yang orang pikirkan, dan aku sudah terbiasa makan sendirian di meja kantin. Kalau kamu berpikir untuk sedetik saja kalau aku peduli apakah kamu mengerjakan bagianmu atau tidak, kamu salah besar. Karena sejauh yang aku tahu, proyek ini hanya untuk nilai tambahan. Pak Danar memasangkan kita karena dia butuh kamu lulus, bukan aku. Aku sudah punya nilai A."
Celia menunjuk buku itu. "Kalau aku jadi kamu, aku akan mulai melakukan pekerjaanku."
Ethan memperhatikannya keluar dari toko es krim. Dia kembali melihat bukunya, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela saat Celia berjalan melewatinya. "Wow," gumamnya pelan.
"Saya ingin mempersembahkan Ethan Aditya Pratama sebuah penghargaan kecil atas jasanya yang telah mengharumkan nama kota ini" Semua orang mulai bertepuk tangan, dan Ethan mengalihkan perhatiannya, tersenyum saat dia bangkit, meraih kruknya, dan berjalan menuju podium untuk menerima penghargaan itu.
Andai saja waktu bisa diputar kembali. Andai saja dia membuat pilihan yang berbeda. Andai saja dia tidak begitu bodoh. Ethan tersenyum saat menerima piala itu dan memandang lautan manusia di hadapannya. Inilah hasil dari pilihannya—sebuah piala dengan miniatur bola basket diatasnya.
Pernikahannya yang hancur, dan managernya yang menyembunyikannya dari paparazzi dengan membawanya kembali ke kota kecil ini dan menyebutnya sebagai "liburan," sementara dia mencari cara untuk menyelamatkan kariernya. Namun, apa pilihan lain yang dia miliki?