Lintang Ayu Sasmita merasa terguncang saat dokter mengatakan bahwa kandungannya kering dan akan sulit memiliki anak. Kejadian sepuluh tahun silam kembali menghantui, menghukum dan menghakimi. Sampai hati retak, hancur tak berbentuk, dan bahkan berserak.
Lintang kembali didekap erat oleh keputusasaan. Luka lama yang dipendam, detik itu meledak ibarat gunung yang memuntahkan lavanya.
Mulut-mulut keji lagi-lagi mencaci. Hanya sang suami, Pandu Bimantara, yang setia menjadi pendengar tanpa tapi. Namun, Lintang justru memilih pergi. Sebingkai kisah indah ia semat rapi dalam bilik hati, sampai mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba Menyelidiki
Niat hati ingin liburan dan melepas rindu dengan tempat asal, tetapi berakhir kandas karena sakit yang tiba-tiba datang tanpa permisi.
Ningrum, ternyata tidak sehari dua hari dia sakit, tetapi sampai lima hari. Itu pun belum ada tanda-tanda kesembuhan, padahal sudah empat hari dirawat di rumah sakit.
Rayana, Albi, Benny, dan Utari bergantian jaga di rumah sakit, karena anak Utari masih kecil dan tidak memungkinkan untuk diajak berjaga. Jadi, harus ada salah seorang yang dirumah dan mengasuh Nada.
Pagi ini, giliran Utari dan Benny yang menemani Ningrum. Dengan sabar dan penuh ketelatenan, Utari merawat Ningrum. Mulai dari menyuapi, membantu minum obat, sampai menemaninya ke kamar mandi. Kondisi Ningrum yang masih lemah tidak memungkinkan untuk melakukan apa pun sendiri.
"Tari," panggil Ningrum setelah dirinya kembali berbaring.
"Iya, Bu, kenapa? Ibu butuh sesuatu lagi?"
Ningrum menggeleng. "Kamu dan Benny merawat Ibu di sini, lalu gimana dengan pekerjaan kalian? Apa atasan kalian nggak marah kalau libur lama-lama?"
Utari tersenyum. Lalu menjawab, "Kami udah izin kok, Bu. Ya ... awalnya agak marah sih, tapi akhirnya ngerti kok. Ya mau gimana lagi, memang Ibu sakit kan. Aku nggak mungkin dong, Bu, pulang cuma karena mentingin kerjaan. Terus membiarkan Mas Albi dan Mbak Rayana merawat Ibu sendirian, nggak akan, Bu."
"Tapi ...."
"Udah, Bu, jangan pikirkan kerjaanku dan Mas Benny. Kami bisa mengatasinya kok. Sekarang, yang penting Ibu harus cepat sembuh. Makan yang banyak, istirahat yang cukup. Jangan mikir yang macam-macam! Aku nggak tega loh lihat Ibu sakit kayak gini terus."
"Ibu udah berusaha makan banyak, minum air putih banyak, udah minum obat juga. Tapi, nggak tahu kenapa masih muntah terus. Kepala Ibu juga masih pusing."
Utari menarik napas panjang. Lalu sambil menggenggam tangan Ningrum, ia menatap wanita itu dalam-dalam.
"Pasti karena pikiran Ibu belum rileks. Kata dokter, Ibu kan nggak boleh terlalu membebani pikiran. Tapi, mungkin Ibu masih terus mikirin Lintang ya?"
Ningrum terdiam. Meski tidak sepenuhnya benar, tetapi tidak sepenuhnya salah juga. Secara, orang mana yang bisa mengosongkan pikiran, pasti ada saja yang dipikirkan walaupun sedikit. Ningrum pun demikian, dan di antara apa yang dia pikirkan, salah satunya memang Lintang.
"Sebenarnya, dari pertama kali Ibu sakit kemarin, aku udah ngabarin Lintang. Terus pas Ibu kami bawa ke rumah sakit ini, aku juga ngabarin dia. Semalam, juga kukabarin lagi. Aku kasih tahu dia kalau kondisi Ibu belum juga membaik. Tapi, pesanku cuma dibaca doang. Nggak dibalas. Aku coba telfon ... nggak diangkat. Padahal, aku juga nggak minta dia ke sini. Aku cuma ngabarin, dan ... pikirku minimal dia telfon, ngobrol sama Ibu gitu. Tapi, dia malah sama sekali nggak ngrespon," lanjut Utari.
Ningrum masih tetap diam. Namun, dalam hatinya sangat kecewa. Sakitnya dia tidak main-main, tetapi bisa-bisanya Lintang tak peduli. Sedangkan di sisi lain, kedua kakaknya sibuk merawat sampai berhari-hari.
Ningrum jadi ingat dulu, bagaimana dirinya begadang semalaman hanya karena menjaga Lintang. Anaknya itu memang lahir prematur, jadi harus diasuh secara ekstra. Belum lagi, Ningrum juga mendapat tekanan dari mertuanya. Rasanya capek hati dan fisik. Sungguh, perjuangan yang tidak mudah. Makanya sekarang dia sangat kesal jika Lintang tidak mau menurut.
"Maaf ya, Bu, aku ngomong barusan bukan mau menambahi beban pikiran Ibu. Aku cuma ... menyayangkan sikap Lintang aja," ucap Utari dengan pelan, seakan-akan penuh sesal.
"Iya, nggak apa-apa, Tari. Kamu nggak salah. Mungkin, Ibu saja yang memang terlalu memikirkan Lintang." Ningrum tersenyum dan mencoba menenangkan perasaan anaknya.
Ahh, andai Lintang bisa sebaik Utari dan Albi.
Lagi-lagi, seperti itulah pemikiran Ningrum.
________
Di sela kesibukannya memeriksa data orang-orang yang mengajukan pinjaman, pikiran Pandu kerap kali berkelana ke arah lain, yakni masa lalu Lintang.
Sampai sekarang, dia masih ingin tahu siapa yang dulu begitu kejam pada Lintang. Jujur, dia kurang yakin kalau semua orang yang terlibat sudah meninggal. Semudah itu kah?
Karena kecurigaan itu, Pandu berencana mencari tahu langsung ke Sidoarjo. Mungkin, ada satu atau dua orang yang paham perihal kejadian kala itu. Namun, agak rumit. Mengingat dirinya tak punya kenalan orang sana. Belum lagi ada Albi dan Rayana yang masih tinggal di kota itu. Pandu malas jika harus berurusan dengan mereka.
"Woe, malah ngelamun!"
Pandu tersentak karena bentakan dari rekan kerjanya—Bimo. Pandu sampai berjingkat, dan sialnya itu malah membuat Bimo tertawa.
"Kamu kemarin nanya soal saudara di Sidoarjo, kan?" tanya Bimo sambil duduk di sebelah Pandu.
Pandu pun mengangguk.
"Kalau aku nggak punya. Tapi, aku tiba-tiba ingat, Nando yang pernah mudik ke sana. Kalau nggak salah, pamannya ada yang tinggal di Sidoarjo."
Pandu menjawab dengan antusias, "Nando teller?"
"Iya."
"Kamu yakin?" tanya Pandu.
"Seingatku sih begitu. Tapi, ya kamu coba tanya langsung aja ke dia, biar lebih akurat."
Pandu mengangguk-angguk, lalu mengucap banyak terima kasih atas informasi barusan. Jam istirahat siang nanti, dia akan langsung menemui Nando.
Selama ini dia memang tidak begitu akrab dengan Nando, sekadar kenal dan berbincang seputar pekerjaan saja. Selain karena bidang yang dipegang berbeda, Nando terhitung orang baru. Belum genap setahun Nando di bank tersebut.
"Semoga saja informasi yang dibawa Bimo nggak keliru," batin Pandu.
Bersambung...
semoga aja ada orang yang merekam dan melaporkan ke pihak kepolisian dan mengusut tuntas kebenaran nya itu dan orang2 yang terlibat ditangkap serta dihukum
Konspirasi apa lg tuh antara Alby dan Utari , Rayana sekarang kamu tahu siapa suami dan bapak mu