Setelah menikahi Ravendra Alga Dewara demi melaksanakan wasiat terakhir dari seseorang yang sudah merawatnya sejak kecil, Gaitsa akhirnya mengajukan cerai hanya dua bulan sejak pernikahan karena Ravendra memiliki wanita lain, meski surat itu baru akan diantar ke pengadilan setahun kemudian demi menjalankan wasiat yang tertera.
Gaitsa berhasil mendapatkan hak asuh penuh terhadap bayinya, bahkan Ravendra mengatakan jika ia tidak akan pernah menuntut apa pun.
Mereka pun akhirnya hidup bahagia dengan kehidupan masing-masing--seharusnya seperti itu! Tapi, kenapa tiba-tiba perusahaan tempat Gaitsa bekerja diakuisisi oleh Grup Dewara?!
Tidak hanya itu, mantan suaminya mendadak sok perhatian dan mengatakan omong kosong bahwa Gaitsa adalah satu-satunya wanita yang pernah dan bisa Ravendra sentuh.
Bukankah pria itu memiliki wanita yang dicintai?
***
"Kamu satu-satunya wanita yang bisa kusentuh, Gaitsa."
"Berhenti bicara omong kosong, Pak Presdir!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agura Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi Masa Lalu
Hujan. Tempiasnya membasahi wajah gadis yang berdiri di ambang jendela. Hari mulai gelap ketika guntur menyapa dan hujan turun dengan deras. Gadis itu menatap kilat di kejauhan, pada awan gelap yang menyelubungi hampir seluruh langit sore.
Ia lapar, tapi tidak memiliki makanan di kamar. Terlalu sibuk mengerjakan tugas perusahaan, sekolah, bahkan pekerjaan rumah dari tempatnya les melukis membuatnya tidak sempat ke luar dan membeli sesuatu.
Bisa saja turun dan meminta makanan pada pelayan di dapur, tapi jarak dari kamarnya menuju dapur cukup jauh. Ia bisa berpapasan dengan siapa saja selama perjalanannya ke sana.
Pria itu tidak suka kalau Gaitsa menunjukkan diri ketika ia di rumah. Tidak apa, gadis itu mengerti. Siapa juga yang akan nyaman dengan anak yatim piatu yang hidup dari belas kasih orang lain. Bagi Ravendra, Gaitsa hanyalah kerikil yang dibawa ayahnya pulang untuk dibersihkan, rawat dan poles hingga halus.
Tapi, kerikil tidak akan pernah menjadi mutiara sebagus apa pun bahan yang digunakan untuk mengubahnya tampak berkilau. Gaitsa menyadari arti keberadaannya tanpa perlu dijelaskan.
Ketukan di pintu membuat gadis itu menoleh, berjalan cepat untuk membukanya, kebiasaan yang dimiliki sejak menumpang hidup gratis di rumah orang. Netra gelap gadis itu bertemu dengan tatapan jernih Ravendra. Pria yang usianya hanya dua tahun di atasnya.
"Ayah menyuruhmu turun untuk makan," ucapnya setelah Gaitsa membuka pintu dan langsung pergi. Kaki panjangnya berhenti setelah beberapa langkah, "Itu pun kalau kau tidak punya rasa malu," lanjutnya sebelum kembali berjalan.
Punggung pria itu terlihat kokoh. Caranya berjalan sangat arogan. Tatapan sedingin kutub utara dengan wajah datar adalah ciri khasnya.
"Katakan pada Tuan, saya tidak lapar."
Gaitsa mengerjab, kepalanya sakit ketika ia perlahan membuka mata. Langit-langit kamar yang setahun terakhir dilihat membuatnya menghela napas lega. Wanita itu melirik sisi kanan, tersenyum melihat bayinya tidur sambil tengkurap.
"Selamat pagi kesayangan Mama," ucapnya sembari mengecup kening Biyu.
Wanita itu menguap ketika meregangkan tubuh. Kepalanya masih sedikit sakit, sisa dari tangisannya semalam. Gaitsa tidak mengerti kenapa Ravendra selalu sangat mudah membuatnya terluka dengan apa pun yang pria itu lakukan.
Padahal memiliki wanita lain berstatus 'istri' dan anak perempuan yang cantik, bagaimana bisa Ravendra masih menerima perjodohan yang diperintah ayahnya hanya demi perusahaan? Gaitsa ingin marah, tapi sepertinya malah ia yang menjadi selingkuhan pria itu.
"Haruskah aku mencari pengasuh?"
Gaitsa bukan tidak mampu mencari orang untuk mengasuh Biyu saat ia bekerja, tapi khawatir kalau harus meninggalkan bayinya hanya berdua dengan orang asing. Tempat penitipan anak di gedung ini memiliki para pengasuh terampil dan psikolog anak hingga lebih dapat dipercaya.
Kamera pengawas juga berada di setiap sudut. Belum lagi pemeriksaan kesehatan untuk para pengasuh setiap dua bulan. Lalu sepertinya lebih bagus untuk perkembangan mental Biyu kalau berada di tempat anak-anak lain berada. Setidaknya ia tidak akan kesepian saat Gaitsa harus bekerja.
Wanita itu melangkah menuju beranda setelah membuka jendela besar di kamarnya, menatap langit yang masih sedikit gelap. Udara pagi yang segar membuat perasaannya lebih baik. Gaitsa kembali merenungkan seluruh kejadian yang alami kemarin.
Dewara Grup tiba-tiba membeli perusahaan tempatnya bekerja dan Ravendra yang memutuskan untuk menjadi Direktur Utama saat ia bisa memilih orang lain. Perkataan tidak masuk akal Ravendra yang hampir membuat Gaitsa lupa diri. Kehadiran psikolog anak yang ternyata istri Ravendra.
Terlalu banyak hal terjadi dalam satu hari. Semuanya seolah menghantam Gaitsa tanpa ampun, seperti hujan yang tempiasnya memercik meski ia sudah berlindung di balik jendela. Gaitsa memimpikan salah satu kejadian tidak menyenangkan.
Setiap kali Ravendra pulang, Gaitsa akan bersembunyi di kamar. Ia hanya berdiri di ambang jendela, menatap pria yang biasanya duduk sendirian di kursi panjang di tengah taman. Gaitsa tidak berani mendekat saat Ravendra terus menunjukkan permusuhan.
"Mama, kenapa Kakak itu selalu berdarah?"
Gaitsa terkesiap ketika kepalanya tiba-tiba berdenging sakit. Suara seorang gadis kecil yang tidak tahu datang dari mana membuat jantungnya berdetak tidak nyaman. Napasnya terasa sesak saat wanita itu terus menarik dan menghembuskannya perlahan.
Ia tidak ingat sejak kapan tepatnya, tapi suara gadis kecil yang menanyakan hal sama membuat kepalanya sakit. Gaitsa tidak tahu ingatan itu milik siapa. Mungkin miliknya, mungkin juga bukan. Bisa jadi ia mendengar suara itu di suatu tempat entah kapan. Tapi, kenapa suara itu selalu mengganggu?
Tidak hanya membuat kepalanya berdenyut sakit, jantungnya terasa diremat kuat dan napasnya sesak. Gaitsa belum tahu darimana ingatan itu berasal. Siapa yang dimaksud selalu berdarah?
***
"Kak!"
Seruan penuh kejengkelan itu membuat Ravendra yang sedang bersandar di sisi jendela menoleh.
"Jangan teriak pagi-pagi, Sayang."
Gadis kecil yang sedang duduk di sofa terkikik mendengar panggilan untuk sang ibu. Sekitar bibirnya dilumuri warna merah dari selai strawberi ketika pipinya mengembung penuh oleh roti, tatapannya tampak jahil. Ravasya ingin mengeluh bagaimana putrinya memiliki sifat sama persis dengan sang ayah.
"Ini sudah siang! Tidak lihat suasananya bukan lagi hangat, tapi panas? Ponselmu terus berbunyi dari tadi. Cepatlah pergi ke kantor atau telpon sekretarismu kalau mau bolos!"
Ravendra melirik arloji di pergelangan tangan, pukul delapan pagi. Matahari memang sudah bersinar terik dan terasa panas. Sepertinya akan hujan. Biasanya kalau hari dimulai dengan cuaca panas, siangnya akan hujan.
"Kamu ingat anak yang tinggal di samping rumah kita dulu?" tanyanya seraya berjalan menuju sofa, duduk di samping gadis empat tahun yang menatapnya penasaran.
"Siapa?" Ravasya mengernyit. Ia meninggalkan rumah dan mulai tinggal di luar negeri sejak usianya lima tahun. Ingatannya juga tidak terlalu bagus.
"Ada anak perempuan yang jendela kamarnya tepat di samping kamarku. Kamu benar-benar tidak tahu?"
Ravendra kembali bermimpi setelah lama tidak lagi melihat gadis kecil yang wajahnya tidak ia ingat. Itu adalah mimpi yang sama. Ravendra membuka jendela kamar dan gadis kecil itu juga berdiri di jendela kamarnya. Ia selalu terbangun setiap kali gadis di mimpinya mengatakan sesuatu.
Ravendra juga tidak mendengar apa yang dikatakan gadis di seberang jendela. Tapi mimpi itu membuat harinya menjadi buruk. Setelah melakukan tindakan gila pada mantan istrinya, kenapa ia harus memimpikan hal tidak jelas itu lagi? Suasana hatinya tidak baik sama sekali. Ravendra malas bergerak kemana pun.
"Mana aku ingat!" ketus Ravasya seraya membersihkan noda di sekitar bibir putrinya. "Kakak benar tidak mau bekerja?" tanyanya setelah melihat Ravendra malah bersadar malas dan memejamkan mata.
"Uhm! Aku malas bertemu siapa pun."
Ravasya menghela napas. Kakaknya jarang bersikap malas-malasan terhadap pekerjaannya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dan tidak berani mengusik Ravendra dengan menanyakan masalahnya. Ravendra selalu menyembunyikan banyak hal. Tatapannya selalu dipenuhi kesedihan yang Ravasya tidak bisa pahami.
"Aku harus kerja. Kakak tidak apa-apa sendirian di rumah?"
"Tempat penitipan anak?"
Ravasya mengangguk, mengernyit saat Ravendra langsung menegakkan tubuh. Perasaannya tidak enak.
"Boleh aku ikut? Mungkin bertemu banyak anak-anak akan membuat perasaanku lebih baik."
Wanita itu tidak bisa menolak saat Ravendra menatapnya dengan raut minta dikasihani.
“Oke, pastikan Kakak tidak membuat anak-anak di sana menangis!”
..rasain akibat bikin wanita sakit hati...bikin dia bucin thor biar ngak arogant