Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
Setelah acara selesai dan tamu-tamu mulai meninggalkan rumah, suasana di ruang tamu berubah menjadi lebih tenang namun tegang. Pak Imran telah berpamitan lebih dulu, meninggalkan Gina, Abiyan, Ustadz Haidar, Aiman, dan Sabrina yang duduk dengan sikap berbeda-beda. Gina sibuk membereskan sisa-sisa hidangan di meja kecil, sementara Abiyan mengambil posisi di tengah ruangan, menyandarkan tangannya di meja dengan wajah penuh wibawa.
"Baik, Sabrina," kata Abiyan, menatap tajam ke arah putrinya. "Sekarang kamu sudah sah menjadi istri Ustadz Aiman. Tanggung jawab bapak selesai di sini." Ia menoleh ke Aiman dengan nada penuh ketegasan. "Aiman, sekarang semua tanggung jawab atas anak ini ada di tangan kamu. Terserah kamu mau bawa dia kemana, bagaimana cara kamu membimbing dia. Bapak sudah serahkan sepenuhnya ke kamu."
Sabrina yang sedari tadi duduk bersandar di kursi dengan wajah cemberut langsung tersentak mendengar kata-kata Abiyan. Ia bangkit berdiri, wajahnya memerah penuh amarah. "Aku gak mau, Bapak! Aku gak mau ikut sama dia! Pokoknya aku gak akan pergi dari rumah ini!" teriaknya, menunjuk Aiman yang tetap duduk tenang di tempatnya.
Aiman hanya tersenyum tipis, menatap Sabrina dengan tatapan yang sulit diartikan. Seolah-olah ia sudah menduga reaksi itu akan keluar dari mulut gadis yang baru saja menjadi istrinya. "Sabrina ini memang masih kekanakan," pikir Aiman dalam hati. "Tapi apa saya setua itu sampai dia memperlakukan saya seperti kuman?" Ia menahan diri untuk tidak tertawa kecil, khawatir hanya akan memperparah suasana.
Abiyan menghela napas panjang, berusaha menahan kesabarannya. "Bina, kamu dengar bapak baik-baik," katanya dengan nada lebih berat. "Sekarang status kamu sudah berubah. Kamu bukan tanggung jawab bapak lagi. Jangan keras kepala seperti ini. Kamu harus ikut suami kamu!"
"Tapi aku gak mau, Bapak! Aku gak peduli! Aku gak bisa tinggal bareng sama dia!" raung Sabrina, matanya sudah mulai berkaca-kaca.
Gina yang dari tadi hanya memperhatikan akhirnya maju ke tengah, mencoba melerai. "Bina, jangan seperti itu, nak. Dengar apa kata bapakmu. Kamu sudah menikah, sudah jadi istri. Mau gak mau, kamu harus ikut suami kamu," ucapnya lembut tapi tegas.
Namun Sabrina tetap keras kepala. Ia melipat tangan di dada, lalu melirik Aiman dengan tatapan tajam. "Kalau memang dia suami, kenapa dia gak cari istri lain saja? Aku gak mau punya suami kayak dia. Aku masih muda, Mak! Aku gak cocok sama dia!" katanya lantang, nyaris menangis.
Aiman tetap diam, membiarkan semua orang menyampaikan pendapat mereka. Wajahnya tetap tenang meskipun hatinya sedikit terusik oleh ucapan Sabrina. Dalam hati ia berkata, "Kenapa saya yang salah? Apa menikahinya adalah keputusan yang buruk? Mungkin, tapi saya harus bertanggung jawab."
Ustadz Haidar yang duduk di sisi ruangan akhirnya angkat bicara. "Sabrina, menikah itu bukan hanya soal cocok atau tidak cocok. Ini tanggung jawab yang sudah Allah tentukan untuk kamu dan Ustadz Aiman. Daripada terus menolak, kenapa kamu tidak mencoba menerima dan memulai semuanya dengan hati yang ikhlas?" katanya, mencoba menenangkan suasana.
Namun Sabrina hanya mendengus kesal, menatap ke arah Haidar seolah ucapannya tidak berarti. "Kalau mau bijak, ustadz aja yang nikah sama dia! Aku gak mau!"
Abiyan akhirnya tidak tahan lagi. Ia berdiri dan menghampiri Sabrina, membuat Sabrina mundur beberapa langkah. "Cukup, Bina! Kamu mau mempermalukan keluarga ini lebih dari ini? Sudah cukup bapak menahan malu hari ini karena kelakuan kamu!" bentaknya, suaranya bergetar menahan emosi.
Sabrina terdiam, air matanya mulai jatuh tanpa suara. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Suasana ruangan terasa hening, hanya terdengar suara napas berat beberapa orang yang mencoba mengendalikan emosi.
Aiman yang sejak tadi memperhatikan Sabrina dengan saksama akhirnya melangkah mendekat. Ia berbicara dengan nada tenang dan lembut, "Atau begini saja. Saya beri kamu waktu untuk berdiam di rumah Bapak sama Mamak sampai hari di mana jadwal saya selesai di desa ini. Setelah itu, kita akan pulang ke kota. Kamu ikut sama saya. Mau ya?"
Sabrina mengangkat wajahnya perlahan, menatap Aiman dengan mata yang masih basah. Dalam hatinya, ia sebenarnya ingin menolak, tapi situasinya tidak memungkinkan. Dengan setengah hati, ia akhirnya menjawab, "Oke deh, kalau gitu aku mau. Tapi tunggu waktu dulu ya. Aku enggak mau dipaksa untuk ikut sama Om Ustadz."
Aiman mengangguk kecil, tersenyum tipis. "Iya, saya enggak akan maksa kamu," jawabnya singkat namun penuh arti.
Abian menatap Aiman dengan ekspresi ragu, kemudian mengajukan pertanyaan, "Apa gak masalah begitu, Aiman?"
Aiman menjawab dengan tenang, "Gak apa-apa, Pak. Kasihan juga Bina kalau harus dipaksa ikut saya terus. Kebetulan, saya masih ada beberapa hari di desa ini untuk mengisi beberapa acara, jadi gak masalah bagi Sabrina untuk menghabiskan waktu bersama Bapak dan Mama di sini."
Abian mengangguk setuju, "Ya sudah kalau begitu. Kamu tinggal di sini saja untuk selama beberapa hari ke depan. Kamu gak perlu lagi tinggal di rumah Pak RT. Sekarang kamu sudah menjadi menantu Bapak, jadi kamu akan tinggal di sini selama saya dan Sabrina."
Sabrina yang mendengar perkataan Abian spontan langsung menolak, "Enggak, Jangan, Bapak!"
Semua mata pun tertuju pada Sabrina yang terlihat panik. "Enggak maksud aku tuh, Pak. Kan dia..."
Seketika, Ustadz Haidar, yang ada di situ, menoleh dengan bingung, tak tahu apa yang harus dikatakan.
Abian menghela napas, sedikit kesal, "Gak mungkin dong dia pisah dari Ustadz Haidar, Pak."
Sabrina terus melanjutkan, "Terus juga kan nanti orang-orang pada curiga, Pak. 'Kok Ustadz? Kok Om Ustadz?' Tiba-tiba tinggal di rumah kita. Kan gak ada yang tahu masalah ini, gitu loh."
Gina, yang mendengar hal itu, ikut angkat bicara, "Pak, bener juga kata Bina. Kalau gak enak sama para warga yang nanti curiga sama kita, gak ada apa-apanya."
Abian mengangguk, "Benar juga sih. Cuman, masa pengantin baru dipisah?"
Sabrina akhirnya berbicara dengan nada lebih lembut, "Ya gak apa-apa, Pak. " Sabrina kayak semangat banget ngomong gitu, "Kan, masih satu arah juga, gitu loh jalannya."
Aiman hanya mendengarkan tanpa banyak berkomentar, tetap diam, membiarkan mereka berbicara. Sabrina kemudian melanjutkan, "Jadi kan kalau misalnya Ustadz Haidar mau ke sini kan gampang. Bisa lewat belakang, tembus dari rumah Pak RT ke rumah kita, Pak."
Abian tampak ragu, "Cuman, Pak RT nanti gak enak. Dia kan sudah tahu Haidar ini suami kamu. Masa tetap tinggal sama Pak RT? Sudah punya bini kok..."
Gina kembali angkat bicara, "Enggak, Pak. Bukan apa-apa. Sudah, Pak. Apa yang disampaikan kata Bina benar. Lebih baik saya di sana dulu, nanti sesekali saya akan kemari."
Abian akhirnya menyerah, "Ya sudah lah. Maafkan Bapak ya, Bapak juga gak enak sama warga sekitar."
Aiman mengangguk dengan sopan, "Iya gak apa-apa, Pak."