Hanya karena Fadila berasal dari panti asuhan, sang suami yang awalnya sangat mencintai istrinya lama kelamaan jadi bosan.
Rasa bosan sang suami di sebabkan dari ulah sang ibu sendiri yang tak pernah setuju dengan istri anaknya. Hingga akhirnya menjodohkan seseorang untuk anaknya yang masih beristri.
Perselingkuhan yang di tutupi suami dan ibu mertua Fadila akhirnya terungkap.
Fadila pun di ceraikan oleh suaminya karena hasutan sang ibu. Tapi Fadila cukup cerdik untuk mengatasi masalahnya.
Setelah perceraian Fadila membuktikan dirinya mampu dan menjadi sukses. Hingga kesuksesan itu membawanya bertemu dengan cinta yang baru.
Bagaimana dengan kehidupan Fadila setelah bercerai?
Mampukah Fadila mengatasi semua konflik dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lijun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24.
Fadila keluar dari kamar setelah selesai bersiap, wanita itu merasa kurang nyaman di hatinya membiarkan anaknya di bawa pergi Arnan. Masih saja terbesit di hatinya kalau orang lain akan membawa anaknya.
Berjalan menjauhi kamar dan mengedarkan pandangan ke segala penjuru apartemen mewah. Langkah Fadila terhenti saat ia mendengar suara anaknya.
Semakin terdengar jeritan Anan yang membuat Fadila berlari secepatnya.
"Anan!" Panggilnya.
Sampai di ruang tengah tempat akad nikah tadi, Fadila melihat Anan yang kembali menjerit. Pria tua yang menjadi mertuanya sedang bermain dengan Anan.
Anan menjerit karena geli akibat di cium papa Simon yang memiliki kumis. Rasa geli dari kumis yang menyentuh wajah Anan membuatnya tertawa lepas dan riang hingga menjerit.
"Sudah Pa, kasihan Anan sampai menjerit begitu." Arnan yang tak tega melihat anaknya menjerit segera mengingatkan papanya.
"Papa, gemas dengan anak kamu ini. Duh ... gemasnya Kakek."
Pap Simon kembali mengecup pipi Anan sayang yang malah kembali membuat Anan tertawa.
"Cudah Kakek, aku mau pipis," ucap Anan sembari memegangi wajah papa Simon.
Anan selalu akan terkencing setiap kali terlalu lama tertawa. Itu sebabnya ia akan mengatakan hal itu jika sudah lama tertawa akibat geli.
"Oh ... Maaf, maaf, habis cucu Kakek gemesin."
Papa Simon memangku Anan setelahnya, dan tak sengaja matanya menatap Fadila yang hanya berdiri diam menatap mereka.
"Istri kamu, Ar."
Arnan mengikuti arah pandangan papanya dan mendapati Fadila berdiri diam saja dengan pandangan kosong.
Anan berdiri lalu mendekati Fadila, ia takut terjadi sesuatu dengan istrinya. Melihat bagaimana pandangan wanita itu.
"Kenapa berdiri di sini? Ayo naik ke balkon, mama dan yang lainnya sudah di sana."
Fadila menatap suaminya dengan kening berkerut. Yang lain? Siapa? Pikirnya.
"Mau cama Mami, Kek."
Anan yang mrlihat maminya langsung ingin berpindah.
"Sama Kakek saja, ya? Kakek masih kangen sama, Anan." Papa Simon memasang wajah sedih.
Anan yang tidak pernah bisa melihat orang lain bersedih langsung setuju.
"Kakek jangan cedih, Anan mau cama Kakek kok."
Tangan kecil Anan mengelus pipi papa Simon agar pria tua itu tak lagi sedih.
"Bener ya, Nak?" Tanya papa Simon memastikan. "Benel, aku ndak pelnah bo'ong Kek." Papa Simon tersenyum mendengar ucapan Anan.
"Ugh ... Anak baik, anak pinter. Sekarang kita sama nenek di luar, di sana ada banyak makanan enak."
Papa Simon mengajak Anan keluar lebih dulu, pria itu ingin memberi waktu pada anak dan menantunya untuk berbicara.
"Mami cama Daddy, ndak ikut ke cana?" Anan menatap kedua orang tuanya.
Arnan tersenyum menatap anak tirinya yang begitu cerdas.
"Daddy mau bicara sebentar sama mami, Anan ikut kakek dulu ya, Nak." Mengelus kepala Anan dengan lembut.
Anan mengangguk mengerti. "Ayo, Kek."
Papa Simon pergi meninggalkan Arnan dan Fadila di ruang tengah itu. Papa Simon tentu tahu kalau menantunya masih shok dan sangat terlihat jelas ada ketakutan dalam sorot matanya.
Berjuanglah nak, batin papa Simon.
Setelah kepergian papa Simon, Arnan mengajak Fadila untuk duduk lebih dulu. Fadila duduk di sofa dengan Arnan di sampingnya.
Arnan menggenggam kedua tangan Fadila hangat sembari mengelus-elus tangan lembut itu.
"Mas, tahu apa yang sedang kamu pikirkan dan rasakan saat ini." Fadila menatap Arnan tak percaya. "Masa, sih?"
"Iya, saat ini kamu sedang ragu dan takut. Ragu kalau Mas dan keluarga gak akan nerima kamu dan Anan. Takut kalau kami akan membawa pergi Anan dan menjauhkannya dari kamu. Kamu juga takut Mas atau papa mama akan menyakiti Anan saat kamu gak ada."
Fadila menurunkan pandangannya dari Arnan, tak menyangka jika suaminya bisa mengerti segala isi hatinya.
"Mas, dan keluarga sangat menyukai anak-anak, dengan hadirnya Anan di dalam keluarga ini. Mmebuat papa dan mama sangat bahagia, apa lagi Mas pribadi. Sebagai Daddy, Mas ingin memberi yang terbaik untuk Anan dan kamu tentunya. Kami semua sangat bahagia dengan kehadiran kamu dan Anan. Jadi buang semua perasaan dan pemikiran buruk kamu, karena itu semua gak benar."
Arnan menggenggam erat kedua tangan Fadila sebagai bentuk keseriusannya dalam bicara. Bahkan pandangan mata pria itu terlihat tegas dan sangat yakin.
"Aku cuma ingin, Mas gak pernah sakitin perasaan Anan. Kalau nanti Mas bosan dengan kami dan gak menginginkan kami lagi. Tolong bicarakan padaku sejujurnya, jangan pernah bermain di belakangku. Aku akan lepaskan Mas kalau memang ada wanita lain yang Mas sukai."
Arnan mengecup kedua tangan Fadila dan menahan sejenak kecupan hanhaynya itu. Hati suami mana yang tidak sakit saat istrinya mengatakan hal yang tak ingin di dengarnya.
Namun Arnan maklum dan mengerti dengan maksud ucapan Fadila. Bagaimanapun pernikahan Fadila sebelumnya gagal karena perselingkuhan diam-diam mantan suaminya.
Yang lebih menyakitkan lagi adalah keterlibatan mantan ibu mertuanya dalam perselingkuhan suami. Hal itulah yang membuat Fadila ragu dan takut jika kejadian lalu terulang lagi.
"Mas, hanya ingin kamu dan Anan saja, bukan yang lainnya. Kalau pun memungkinkan kita punya anak lagi, Mas akan tetap menyayangi Anan sebagai anak pertama Mas. Putra kebanggaan Mas yang gak mungkin di sia-sia kan."
Arnan tersenyum lembut penuh keyakinan menatap Fadila yang sedang menatapnya.
"Mas, gak akan meminta kamu untuk percaya dengan apa yang Mas ucapkan. Mas, hanya ingin kamu selalu menggenggam kedua tangan Mas dengan penuh keyakinan kalau hanya kamu wanita yang Mas inginkan. Dan jangan pernah percaya sama apa yang terlihat dan terdengar tanpa kejelasan. Mas, akan selalu kasih kamu penjelasan sampai kamu puas kalau misalnya ada goncangan nantinya dalam rumah tangga kita."
Fadila cukup terharu dengan apa yang di ucapkan suaminya. Kekhawatiran di hatinya perlahan pudar. Mengingat bagaimana tadi perlakuan mertuanya membuat Fadila ingin mencoba percaya.
"Kamu mau berjuang dengan Mas untuk masa depan rumah tangga kita?" Tanya Arnan.
Fadila diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Arnan tersenyum bahagia melihat itu, hingga tanpa sadar ia memeluk Fadila.
Hati Fadila berdebar saat kembali merasakan kehangatan tubuh pria yang sudah lama tak di rasakannya. Elusan lembut di kepalanya dari Arnan juga memberikan efek berdebar bagi jantungnya.
Arnan melepaskan pelukannya dan jadi merasa canggung sendiri atas apa yang tadi di lakukannya.
"Maaf, Mas refleks tadi," kikuknya.
"Kemana Anan pergi?" Tanya Fadila untuk mengurangi kecanggungan yang di rasakannya.
"Ah iya, ayo kita ke sana. Mereka pasti sudah menunggu."
Arnan menggenggam tangan kanan Fadila dan membawa wanita itu menuju balkon apartemennya.
Di sana terlihat cukup ramai juga, dan yang membuat Fadila heran adalah kehadiran kedua sahabatnya.
"Kalian? Kok bisa ada di sini?"
Dwi dan Sinta melihat Fadila yang sudah berdiri di dekat mereka.
"Sini, Fa. Nanti kamu gak kebagian makanannya, anak kamu sama mereka berdua makannya banyak." Sinta menarik tangan Fadila agar duduk di sampingnya.
"Pertanyaan ku belum kalian jawab," kata Fadila.
"Oh, apa kamu lupa kalau mereka berdua sahabat suami kamu." Dwi melirik Devan dan Robert yang sedang makan.
Bahkan Anan di apit kedua pria itu makan bersama.
Fadila menghela napas saat ingat akan hal itu. Tapi sesaat kemudian dia sangat shok melihat anaknya makan sampai mulutnya penuh.
"Anan! Jangan makan terlalu banyak, Nak. Nanti perutnya sakit."
"Ndak cuwakit, Mi." Anan berucap dengan mulut penuh.
Fadila berdiri dan mengambil Anan dari Devan dan Robert. Sebelum kedua pria itu mengajari anaknya makan banyak. Bukan tidak boleh makan banyak.
Anan akan sakit perut jika makan makanan berat terlalu banyak.
"Macih mau Mi, macih mau." Anan berontak tak ingin di larang.
Fadila menatap tajam Devam dan Robert si pelaku yang mengajari Anan.
"Ah ... Perut Papa sakit, nih. Gak mau makan lagi deh," ucap Devan pura-pura dari pada di amuk Fadila.
"Aduh ... Ayah juga sakit perut kekenyangan." Padahal Robert masih mengunyah.
Fadila menatap malas calon suami sahabatnya itu.
"Sudah ya, Nak. Papa sama Ayah sudah sakit perut kekenyangan," bujuk Fadila yang kini di angguki Anan.