Belenggu Masa Lalu
Jiwa itu nyaris mati, pendar-pendar sinarnya perlahan padam, bisingnya perlahan redam. Hati itu telah rapuh, terbelenggu rantai pilu yang disebut masa lalu.
~Lintang Ayu Sasmita~
_________
Angin berembus kencang, menggugurkan daun-daun kersen yang tumbuh rindang di samping rumah minimalis dengan cat putih salju. Gerak angin yang tak beraturan, mengantar satu helai daun kering menelusup masuk ke jendela kamar, jatuh tepat di pangkuan wanita yang sedang bersandar di kursi, di bawah jendela.
Lintang Ayu Sasmita, nama yang dia sandang sejak lahir ke dunia—seperempat abad silam. Orang-orang kerap memanggilnya Lintang. Nama yang bermakna sama dengan bintang, sebuah hal menjadi patokan kesempurnaan malam.
Namun, faktanya arti nama itu berbanding terbalik dengan kehidupan Lintang sendiri. Alih-alih memiliki jalan yang sempurna, ia justru tak bisa menggambarkan dengan benar bahagia itu apa. Bahkan, menikah dengan lelaki yang sangat mencintainya pun, tak membuat Lintang paham akan arti bahagia.
Terlalu banyak luka yang ia tempa. Terlanjur babak belur hatinya yang rapuh itu. Sampai-sampai besar cinta tak sanggup membersihkan perih-perih rasa yang pernah ada.
"Kandungan kering ... kandunganku kering. Aku akan sulit punya anak. Dan mungkin ... aku akan mandul. Ya, mandul. Mandul, seperti yang mereka katakan."
Seperti orang gila, Lintang bicara sendiri, lalu tersenyum sendiri. Terguncang jiwanya saat mengetahui hasil pemeriksaan dokter, yang menyatakan bahwa kandungannya kering dan ke depannya akan sulit memiliki anak.
'Penyebab paling umum kandungan kering adalah efek samping obat-obatan. Bu Lintang, apa sebelumnya Anda pernah ikut KB? Atau pernah mengonsumi obat-obatan lain?'
Ucapan Dokter Levi kembali terngiang dalam ingatan Lintang, menciptakan perasaan sakit yang kembali mendera. Saking sakitnya, sampai tak ada air mata yang menetes. Hanya tatapan kosong dan seringai tawa yang menyiratkan kebencian.
Sampai beberapa jam berlalu, tak ada gerakan lain dari tubuh Lintang. Ia masih betah duduk bersandar sambil mencengkeram kertas hasil pemeriksaan dokter. Masa bodoh dengan angin kencang di luar, persetan dengan kersen yang beberapa masuk ke kamar, bahkan jatuh mengenai kepala. Semua itu tak penting bagi Lintang.
Ah, tetapi adakah hal penting dalam hidup Lintang? Sepertinya tak ada. Bahkan, dirinya pun sama sekali tidak penting.
Sementara itu, di luar rumah, sebuah motor sport berhenti di teras. Seorang lelaki muda dengan perawakan tegap turun dari sana. Wajah tampan dengan hidung mancung yang khas terlihat jelas saat ia melepaskan helmnya.
Pandu Bimantara, lelaki berusia 28 tahun yang tak lain adalah suami Lintang. Ia bekerja sebagai loan officer di salah satu cabang bank yang tak jauh dari rumahnya.
"Sayang! Sayang!"
Sudah menjadi kebiasaan, setiap pulang kerja Pandu akan berteriak memanggil sang istri. Bukan untuk meminta dilayani, melainkan untuk dipeluk guna melepas kerinduan.
Mungkin, kesannya berlebihan. Namun, memang seperti itulah Pandu. Dia mencintai Lintang lebih dari apa pun. Dia meratukan istrinya itu karena bagi Pandu Lintang adalah pusat dunianya.
"Sayang! Sayang! Aku pulang, Sayang!"
Pandu kembali berteriak. Akan tetapi, tak ada sahutan. Pandu sempat celingukan. Lantas, menuju dapur dan kamar mandi yang ada di belakang. Memeriksa keberadaan sang istri kalau saja ada di sana. Namun, nihil.
"Apa lagi tidur ya?" gumam Pandu.
Lantas, dengan langkah tergesa ia menuju kamar. Mata Pandu langsung membeliak saat melihat sang istri sedang duduk dengan tatapan kosong.
"Sayang, ada apa? Apa yang terjadi denganmu?"
Pandu membungkuk menjajari posisi sang istri. Tangannya dengan lembut menangkup kedua pipi Lintang, membimbing wanita itu untuk menatap ke arahnya.
"Sayang, kamu kenapa? Katakan, ada apa?"
Lintang menatap Pandu dengan pandangan yang sulit diartikan. Entah apa yang ada dalam pikirannya, Pandu sama sekali tak tahu. Tiga tahun menikah dan hidup bersama, Pandu kerap kali melihat kemelut di mata sang istri. Sebuah kemelut yang tak bisa ia baca, apalagi diselami. Terlalu misterius.
"Sayang ...."
"Aku udah ke dokter, Mas," bisik Lintang. Suaranya parau dan tertahan di tenggorokan. Tampaknya, ia sangat berat mengutarakan kalimat itu.
"Sebenarnya nggak usah. Apa pun hasilnya, itu nggak ngaruh untukku, Sayang."
Lintang tertawa sumbang. "Lihat, Mas!" ucapnya sambil menyodorkan kertas hasil pemeriksaan yang sudah kusut karena berulang kali ia re-mas.
Dengan enggan, Pandu menerima kertas tersebut dan membaca hasilnya. Ada sesak di dada saat melihat hasil yang tertera di sana. Namun, sesak itu bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk Lintang.
"Kandunganku kering. Kemungkinan hamil sangat tipis. Mas, benar apa yang dikatakan mereka. Aku mandul."
Pandu menggigit bibir dengan getir. Sejenak ia diam dan mengatur napas, juga menata kata yang tepat untuk diucap.
"Kamu nikah lagi aja, Mas, kandunganku nggak bisa diharapkan. Aku menantu yang nggak berguna!"
"Sayang!" Pandu langsung memeluk Lintang dengan erat. "Ini pernikahan kita, rumah tangga kita. Jangan terlalu memikirkan apa yang mereka katakan, sekalipun itu keluargaku atau keluargamu. Aku mencintaimu apa pun keadaanmu. Aku nggak akan pernah menikah lagi. Kalaupun kamu nggak bisa hamil, aku nggak masalah. Kita bisa hidup berdua saja, atau mengadopsi anak kalau memang pengin anak," lanjutnya.
"Tapi—"
"Maaf ya, Mama sering ngomong yang nggak enak ke kamu. Nanti, aku akan lebih tegas lagi kalau Mama masih ngomong yang macam-macam."
Hening. Sampai beberapa saat kemudian, suasana di kamar itu hening. Hanya deru angin di luar yang mengisi suara di antara mereka.
"Mas," panggil Lintang dengan lirih.
Ia mendongak dan beradu pandang dengan Pandu. Namun, cukup lama ia hanya diam. Banyak kalimat yang berdesakan di otak, butuh sempat untuk diurai. Akan tetapi, Lintang tak bisa memulainya.
Selama ini, banyak hal penting yang masih ia simpan sendiri. Sedikit pun tak permah diulik ketika bersama Pandu. Bukan bermaksud bohong atau dusta, melainkan karena Lintang terlalu takut untuk mengatakannya.
Sepanjang yang dia ingat, tak ada satu pun orang yang benar-benar peduli dan mengerti dirinya, kecuali Pandu. Bahkan, wanita yang ia panggil ibu pun, sejauh ini hanya menorehkan luka. Hanya Pandu. Itu sebabnya Lintang ketakutan setengah mati untuk bicara banyak padanya. Ia takut satu-satunya seseorang yang dia punya, ikut mencaci dan menghakimi. Lintang tak sanggup andai itu terjadi.
Namun, makin ke sini posisi Pandu juga makin sulit. Semua berakar dari ketidakhadiran cucu yang sejak lama didamba oleh ibunya Pandu—Wenda.
Lintang tidak bodoh, dia juga menyadari hal itu sejak beberapa waktu yang lalu. Tersebab itulah, detik ini ... Lintang ingin mengulik sedikit rahasianya.
"Mas!"
"Ada apa, Sayang?"
"Malam pertama kita ... aku nggak berdarah. Kamu kok nggak pernah nanya, aku masih perawan atau nggak?"
Sejenak, Lintang berusaha menekan ketakutannya. Ia mencoba pasrah, merelakan Pandu jika memang lelaki itu tak bisa menerima dirinya. Kalau memang harus ada perpisahan, Lintang akan pergi jauh, sejauh-jauhnya. Meninggalkan semua orang yang pernah ia kenal, termasuk ibu yang dulu melahirkannya.
Hidup sendiri, mungkin itu lebih baik.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Aditya HP/bunda lia
yang baru yang baru .... lanjut thor 💪😘
2024-12-16
2
Apriyanti
aku lgsg mampir Thor 🙏💪😘🥰
2024-12-17
2
mariammarife
jgn setengah² dong Thor klw buat novel walaupun pembaca nya sedikit harus tetap semangat yg penting udh menghasilkan karya.
2024-12-16
2