Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16-Fakta Baru
Tak habis pikir aku dengan tindakan yang baru saja Bang Fariz lakukan. Sepanjang jalan, wajahnya ditekuk seperti orang yang tengah menahan kekesalan. Bahkan, setibanya di rumah pun dia tetap diam membisu. Aku jadi sebal sendiri bawaannya.
"Abang kenapa sih? Ngomong. Jangan ajak aku silent treatment. Aku gak suka!"
"Jangan pancing emosi Abang, bisa? Abang perlu waktu untuk menenangkan diri. Abang gak mau melukai kamu dengan kata-kata tidak pantas," jawabnya lantas berlalu untuk memasuki kamar.
Aku terduduk lesu seraya meraup wajah kasar. Benar-benar tak mengerti dengan situasi sekarang. Bingung harus bertindak apa.
Bang Fariz memang begitu, jika emosinya di atas rata-rata dia lebih memilih untuk mengurung diri, lalu datang menghampiriku saat dirinya merasa lebih baik. Setidaknya mampu mengontrol kata-kata, agar tidak melukai hati.
Suara ketukan pintu dengan dibarengi salam membuatku mau tak mau berjalan untuk menghampirinya. Meskipun malas, tapi aku tak ingin membuat seseorang menunggu. Sebab menunggu itu melelahkan, apalagi jika yang ditunggu tidak kunjung memberi kepastian.
"Mama, ke sini kok gak bilang-bilang?" sambutku setelah menjawab salam beliau.
Mama menunjukkan rantang plastik yang dibawanya tepat di hadapanku. "Mama bawa soto kesukaan kalian," serunya begitu riang.
"Emang paling pengertian Mama ini. Mertua terbaik sedunia kayaknya," pujiku lalu mengambil alih rantang makanan tersebut.
"Kalau muji gini, Mama jadi curiga ada apa-apanya," cetus beliau sembari berjalan beriringan menuju ruang keluarga.
Aku terkekeh pelan menanggapi guyonan tersebut.
"Fariz mana? Mobilnya sudah nangkring di depan, tapi orangnya gak kelihatan," seloroh Mama.
"Di kamar, Ma."
"Masih sore udah di kamar aja, capek banget kali yah. Tapi, emang lagi banyak kerjaan juga, lagi dikejar-kejar target produksi," terang Mama.
Aku hanya manggut-manggut saja. "Aku buatin dulu Mama minum yah, sebentar."
Beliau menahan tanganku agar kembali duduk. "Gak usah, Mama cuma sebentar, nganterin soto doang."
Aku pun mengangguk dan menurut.
"Muka kamu kusut banget, lagi banyak orderan juga yah?" tanya beliau.
Aku menggeleng pelan. "Orderan lagi gak begitu banyak, tapi alhamdulilah masih ada. Aku gak papa, kok, Ma."
"Biasanya kalau perempuan bilang 'gak papa' pasti ada apa-apa. Kenapa? Coba cerita sama Mama, siapa tahu Mama bisa bantu."
Aku mendadak galau, antara berterus terang atau menyembunyikannya. Tapi, aku penasaran tentang kejadian tadi. Ada hubungan apa di antara Bang Fariz dan Mbak Rumi?
"Bang Fariz punya temen atau kenalan cewek yang namanya Rumi gak, Ma?"
Kening beliau mengerut. Seperti bingung, atau bisa juga sedang mengingat-ingatnya.
"Rumi? Mama kok baru denger yah namanya. Kenapa emang? Fariz main belakang? Atau main serong?"
"Aku gak tahu. Sikap Bang Fariz mendadak aneh, saat tadi aku kenalin dia sama Mbak Rumi, tunangannya Mas Rezza."
"Mama baru denger malah namanya. Emang nama panjangnya apa?"
"Arumi Syahiba."
Tubuh Mama mendadak kaku, mimik wajahnya pun menegang tiba-tiba. Aku semakin penasaran dibuatnya. Kenapa ekspresi yang ditampilkan beliau dan Bang Fariz bisa sama. Sebenarnya ada hubungan apa di antara mereka?
"Mama kenal sama Mbak Rumi?" tanyaku karena beliau tak kunjung buka suara. Malah seperti tengah melamun.
"Kamu yakin Arum tunangan Rezza?"
"Kok Arum sih, Ma? Mbak Rumi kali."
"Iya, iya, apalah itu namanya. Mama lebih kenal dia dengan nama Arum, bukan Rumi."
Aku mengangguk. "Mbak Rumi sama Mas Rezza pacaran udah dari zaman SMA, dua tahun lalu mereka memutuskan untuk bertunangan. Sekarang lagi proses merencanakan pernikahan, tapi ada sedikit kendala."
"Kendala apa?"
"Orang tuanya Mbak Rumi minta mahar seratus juta, itu belum termasuk hal-hal lainnya. Pokoknya syaratnya itu sulit Mas Rezza penuhi."
"Cari perempuan lain aja. Opsi paling baik menurut Mama," sarannya begitu santai.
"Kenapa gitu?"
"Perempuan matre kayak Arum gak layak untuk dijadikan istri. Kasihan Rezza kalau sampai mereka jadi menikah," sahut Mama.
"Matre? Maksud Mama gimana?"
Mama menghela napas singkat lalu berucap, "Arum itu matre abis. Fariz adalah salah satu korbannya."
"Kok bisa?"
"Fariz sama Arum itu pernah pacaran pada saat zaman kuliah dulu. Ada kali dua tahun, tapi ya gitu Arum matrenya kebangetan. Uang Fariz dikuras habis-habisan, padahal itu modal untuk bangun usaha. Karena dulu Fariz gak mau lanjutin bisnis Mama, dia mau mandiri, eh malah ketipu sama perempuan itu," terang Mama. Terdengar santai, tapi berhasil membuat aku jantungan.
"Itu artinya Mas Rezza diselingkuhi dong. Mama jangan becanda ah, masa iya perempuan sebaik dan secerdas Mbak Rumi kayak gitu," sangkalku.
Mama geleng-geleng kepala. "Fariz itu bukti paling nyata kematrean Arum. Sejak putus, Fariz mendadak jadi suka koleksi uang logam, katanya itu satu-satunya cara agar gak ada satu pun perempuan yang berani morotin uangnya. Karena kebanyakan perempuan lebih suka lembaran, dibanding recehan. Sifat pelit dan perhitungan Fariz itu bermula dari Arum kalau perlu kamu tahu."
Mulutku menganga secara sempurna saat mendengar penjelasan Mama. Aku bingung apa harus mempercayai beliau atau tidak, sebab perkataannya begitu santai, tidak ada sedikit pun rasa kesal ataupun marah.
HERAN!
"Awalnya Mama mengira, kalau Arum menyelingkuhi Fariz karena uang tabungan Fariz sudah terkuras habis, tapi tahunya Fariz yang jadi selingkuhan. Hebat banget yah perempuan itu."
Aku kesulitan mengeluarkan kosakata, benar-benar nge-blank.
"Fariz trauma sama perempuan yang berkaitan dengan keuangan, mendadak tobat gak mau pacaran. Itu sebabnya kenapa dia langsung ajak kamu nikah, dan karena itu pula kamu harus berlapang dada menerima nafkah berupa recehan. Dia takut kamu kayak Arum, cuma mau uangnya, cuma mau senangnya, setelah itu ditinggal begitu saja. Jangan sampai Rezza jadi korban selanjutnya."
"Masa iya Mbak Rumi kayak gitu?"
Mama manggut-manggut. "Kalau gak percaya kamu bisa tanya langsung sama Fariz, tapi jangan sekarang, dia pasti masih emosi. Bukannya dapet jawaban, yang ada kamu kena amukan."
"Tapi waktu itu aku pernah nanya sama Bang Fariz, apa dia punya trauma sama perempuan yang berkaitan dengan keuangan? Bukannya dijawab, dia malah ketawa tanpa dosa. Berbanding terbalik sama cerita Mama."
"Fariz mau ngubur dalam-dalam masa lalunya. Masa lalu itu milik dia pribadi, begitu pun dengan masa lalu kamu. Tapi masa sekarang dan masa yang akan datang adalah milik kalian berdua. Lagi pula, menceritakan mantan ke istri itu merupakan akar dari sebuah permasalahan, lebih baik dihindari, kan? Fariz bukan tipe orang yang suka mancing-mancing masalah, bikin jengkel hati iya."
"Aku bingung sekaligus shock, antara harus mempercayai cerita Mama atau Mbak Rumi. Ada dua versi sih, mana berbanding terbalik lagi. Keder aku, Ma."
Mama malah tertawa kecil, beliau menepuk lembut puncak kepalaku. "Mama gak akan memojokkan kamu untuk satu kubu sama Mama, semua keputusan ada di tangan Rezza sebenarnya. Dia yang akan menjalani, pasti dia tahu betul apa yang terbaik untuk hidupnya. Saran Mama kamu jangan terlalu ikut campur, nanti kalau ada apa-apa kamu disalahkan lagi."
"Masalahnya aku sudah janji akan membantu masalah Mas Rezza dan Mbak Rumi. Keluarga Mbak Rumi lagi ditimpa musibah, Papanya harus cuci darah rutin, sertifikat rumah yang saat ini mereka tempati digadai. Karena masalah itu Mamanya Mbak Rumi minta mahar seratus juta."
"Kamu percaya? Kalau Mama sih enggak."