Di negeri magis Aelderia, Radena, seorang putri kerajaan yang berbakat sihir, merasa terbelenggu oleh takdirnya sebagai pewaris takhta. Hidupnya berubah ketika ia dihantui mimpi misterius tentang kehancuran dunia dan mendengar legenda tentang Astralis—sebuah senjata legendaris yang dipercaya mampu menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Dalam pelariannya mencari kebenaran, ia bertemu Frieden, seorang petualang misterius yang ternyata terikat dalam takdir yang sama.
Perjalanan mereka membawa keduanya melewati hutan gelap, kuil tersembunyi, hingga pertempuran melawan sekte sihir gelap yang mengincar Astralis demi kekuatan tak terbayangkan. Namun, untuk mendapatkan senjata itu, Radena harus menghadapi rahasia besar tentang asal-usul sihir dan pengorbanan yang melahirkan dunia mereka.
Ketika kegelapan semakin mendekat, Radena dan Frieden harus memutuskan: berjuang bersama atau terpecah oleh rahasia yang membebani jiwa mereka. Di antara pilihan dan takdir, apakah Radena siap memb
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dzira Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Jejak Bayangan
Angin dingin masih terasa menusuk ketika Radena dan Frieden meninggalkan Lembah Salju Abadi. Mereka bergerak dengan cepat, menyusuri jalur berbatu menuju kota pelabuhan terdekat, tempat mereka berharap bisa menemukan kapal untuk membawa mereka ke pulau yang ditunjukkan oleh peta baru.
Meskipun pemandangan putih bersih dari salju yang tak berujung tampak menenangkan, Radena merasa waspada. Perasaan bahwa mereka sedang diikuti tidak pernah benar-benar hilang sejak mereka meninggalkan lembah.
“Kau masih merasakannya, bukan?” tanya Frieden sambil melirik ke belakang.
Radena mengangguk. “Ya, mereka masih ada di sekitar. Sekte itu tidak akan menyerah begitu saja.”
Frieden menghela napas. “Kalau begitu, kita harus mempercepat langkah.”
Kota Pelabuhan Veyra
Setelah berjam-jam perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di Kota Pelabuhan Veyra. Kota ini terletak di tepi sebuah teluk yang dikelilingi tebing curam. Lampu-lampu lentera bergoyang ditiup angin laut, memberikan suasana hangat di tengah hawa dingin.
Pelabuhan itu ramai dengan aktivitas. Para pedagang meneriakkan harga barang-barang mereka, dan pelaut sibuk memuat barang ke kapal-kapal besar yang berlabuh.
“Kita butuh kapal untuk menuju pulau itu,” kata Radena sambil memandangi peta.
Frieden mengangguk. “Tapi pertama-tama, kita butuh nakhoda yang cukup gila untuk menyeberangi Lautan Badai.”
Radena memandangnya dengan serius. “Kau tahu seseorang?”
Frieden tersenyum tipis. “Aku punya kenalan, tapi dia tidak murah. Kita harus memastikan bahwa kita memiliki sesuatu untuk ditawarkan.”
Mencari Nakhoda
Mereka menuju sebuah kedai kecil di dekat dermaga. Bau garam laut dan suara gaduh para pelaut mengisi udara. Frieden memimpin jalan, menghampiri seorang pria tua dengan janggut abu-abu yang duduk di sudut, meminum segelas anggur.
“Nakhoda Darel,” kata Frieden, suaranya penuh percaya diri. “Aku butuh jasamu.”
Pria tua itu mendongak, matanya menyipit saat mengenali Frieden. “Frieden? Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kau masih berurusan dengan barang-barang terlarang?”
Radena mengangkat alis, tetapi Frieden hanya tertawa kecil. “Aku sudah pensiun dari itu, Darel. Tapi sekarang aku punya pekerjaan penting, dan aku butuh kapalnya.”
Darel mengusap janggutnya. “Kemana tujuannya?”
Frieden menunjukkan peta yang menunjukkan pulau tujuan mereka. Mata Darel melebar. “Lautan Badai? Kau pasti gila.”
“Bukan gila,” jawab Frieden. “Putus asa. Dan kami membayarmu dengan baik.”
Darel terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi ini akan mahal. Kau tahu risiko yang kita hadapi.”
Radena menyela. “Kami tidak peduli tentang risikonya. Kami harus sampai ke sana.”
Darel memandangnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Kau pasti sangat berani, atau sangat bodoh.”
Radena hanya menatapnya tajam. “Kami akan berangkat besok pagi. Bersiaplah.”
Bayangan di Dermaga
Malam itu, ketika mereka kembali ke penginapan untuk beristirahat, Radena masih merasa gelisah. Ia berdiri di jendela, memandangi dermaga yang dipenuhi kapal-kapal yang bergoyang pelan di atas air.
“Radena,” panggil Frieden dari tempat tidur. “Kau harus tidur. Kita butuh energi untuk perjalanan besok.”
Radena menggeleng pelan. “Aku tidak bisa. Perasaan ini... mereka semakin dekat.”
Frieden mendekat, berdiri di sampingnya. “Kita sudah melewati hal yang lebih buruk. Apa pun yang mereka rencanakan, kita bisa menghadapinya.”
Namun, sebelum Radena bisa menjawab, suara aneh terdengar dari luar.
Clang! Clang!
Suara itu terdengar seperti logam yang beradu, disertai dengan suara langkah kaki cepat.
“Cepat!” kata Radena, mengambil tongkat sihirnya.
Mereka berdua berlari keluar, menuju dermaga. Di sana, mereka menemukan sekelompok orang berjubah hitam yang sedang menyerang kapal Darel.
“Sekte itu,” bisik Radena.
Frieden menghunus pedangnya. “Kita harus menghentikan mereka sebelum mereka menghancurkan kapal!”
Pertempuran di Dermaga
Radena melompat ke depan, melancarkan mantra pertahanan. “Aegis Ignis!”
Dinding api muncul di antara para penyerang dan kapal, memaksa mereka mundur. Frieden menyerang dari sisi lain, pedangnya bergerak cepat seperti angin.
Namun, para anggota sekte itu tidak mundur dengan mudah. Mereka menggunakan sihir kegelapan untuk melawan, menciptakan bayangan yang menyerang Radena dan Frieden dari segala arah.
“Ini tidak akan mudah,” kata Frieden sambil menghindari serangan.
Radena mengarahkan tongkatnya ke langit, melantunkan mantra baru. “Luminis Astra!”
Dari tongkatnya, muncul semburan cahaya seperti bintang jatuh yang menyerang para penyerang satu per satu. Cahaya itu cukup kuat untuk menghancurkan bayangan mereka, memaksa sekte itu mundur.
Namun, sebelum mereka benar-benar kalah, salah satu dari mereka, seorang pria berjubah dengan topeng perak, melompat ke depan. Ia tampak seperti pemimpin kelompok itu.
“Putri Aelderia,” katanya dengan suara rendah yang menggema. “Kau tidak bisa lari dari takdirmu.”
Radena mengangkat tongkatnya. “Aku tidak lari. Aku melawan.”
Pria itu tersenyum tipis. “Kalau begitu, aku akan memastikan kau tidak pernah sampai ke pulau itu.”
Ia melancarkan serangan besar, menciptakan ledakan bayangan yang membuat dermaga berguncang. Radena dan Frieden terlempar ke belakang, tetapi sebelum pria itu bisa melanjutkan serangannya, suara peluit keras terdengar.
“Berhenti!”
Darel muncul bersama beberapa penjaga kota, memaksa sekte itu mundur. Pria bertopeng itu melirik Darel dengan tatapan tajam sebelum menghilang ke dalam bayangan, bersama dengan anak buahnya.
Persiapan Berangkat
Setelah para penjaga memastikan bahwa dermaga aman, Darel mendekati Radena dan Frieden.
“Kalian benar-benar membawa masalah besar ke dermaga ini,” katanya dengan nada marah.
Radena menghela napas, berdiri sambil membersihkan salju dari pakaiannya. “Maafkan kami. Tapi kita tidak punya pilihan lain.”
Darel memandang mereka berdua dengan serius sebelum akhirnya mengangguk. “Kita berangkat saat fajar. Tapi kalau mereka menyerang lagi di tengah laut, aku tidak bisa menjanjikan keselamatan kalian.”
Frieden tersenyum kecil. “Kami tidak pernah berharap perjalanan ini mudah.”
Radena, meskipun lelah, merasakan tekadnya semakin kuat. Ia tahu bahwa sekte itu tidak akan berhenti mengejar mereka, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak akan berhenti sampai kebenaran tentang Astralis terungkap.
“Ini belum berakhir,” gumamnya pelan, menatap lautan yang gelap di depan mereka.