Setelah aku selamat dari kecelakaan itu, aku berhasil untuk bertahan hidup. Tetapi masalah yang kuhadapi ternyata lebih besar daripada dugaanku. Aku tersesat dihutan yang lebat dan luas ini. Aku mungkin masih bisa bertahan jika yang kuhadapi hanyalah binatang liar. Tapi yang jadi masalah bukanlah itu. Sebuah desa dengan penduduk yang menurutku asing dan aneh karena mereka mengalami sebuah penyakit yang membuat indera penglihatan mereka menjadi tidak berfungsi. Sehingga mereka harus mencari "Cahaya" mereka sendiri untuk mengatasi kegelapan yang amat sangat menyelimuti raga mereka. Mereka terpaksa harus mencari dan mencari sampai bisa menemukan mata mereka yang hilang. Dan akhirnya mereka bertemu dengan kami. Beberapa penumpang yang selamat setelah kecelakaan itu, harus bertahan hidup dari kejaran atau mungkin bisa kusebut penderitaan mereka atas kegelapan yang menyelimuti mereka. Berjuang untuk mendapatkan "Cahaya Mata" mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Tragedi
Setiap hari hasil memancing kami sangat melimpah dan memuaskan membuat kami sampai lupa akan sebuah larangan yang tak tertulis itu tentang jangan memancing selama 3 hari setelah malam bulan purnama. Kami pun mulai ketergantungan mencari ikan tak peduli siang atau pun malam.
Para pria bertugas untuk memancing atau menjala, sedangkan para wanita bertugas untuk membawa hasil tangkapan dan dimakan bersama-sama. Sungai besar menjadi sangat ramai nelayan pada saat itu. Kemudian pada suatu malam, muncullah sang purnama dengan cahaya merah yang menyala laksana darah. Orang-orang yang bermalam di pondok kayu tidak memperdulikannya dan tetap mencari umpan untuk digunakan esok hari.
Pagi harinya, tetua desa dengan tergesa-gesa menuju ke sungai besar untuk mengingatkan jangan pergi untuk memancing terlebih dahulu karena teringat akan larangan itu. Beliau dengan tegas melarang untuk memancing pada 3 hari kedepan dan mencari penghidupan dengan cara lama yaitu berburu dan mengambil hasil hutan.
Kami awalnya menuruti dan segera menyiapkan peralatan untuk berburu. Tetapi karena sudah terlalu lama mencari penghidupan dengan pergi memancing, peralatan berburu kami menjadi tidak terawat. Kebun-kebun kami juga mulai layu. Kami pun saat itu mencoba untuk memperbaikinya sebisa mungkin dan pergi berburu.
Entah memang sudah terlalu lama tidak berburu atau apa, kemampuan dan insting kami menjadi sedikit menurun. Hewan buruan menjadi lebih sulit untuk kami dapatkan dan itu tidak cukup untuk dibawa pulang. Akhirnya malam itu kami pun makan seadanya.
Keesokan harinya pun sama, kami mendapatkan hasil buruan yang masih belum cukup untuk dibawa pulang. Kemudian salah seorang pemuda berinisiatif untuk tetap pergi memancing saja pada hari ini. Serentak orang-orang tua merasa sedikit ragu atas inisiatif pemuda tersebut. Tapi beberapa juga setuju.
Setelah terjadi antara pro dan kontra, para orangtua tetap fokus untuk berburu dan beberapa pemuda memilih untuk pergi ke sungai besar dan memancing pada hari ini. Para pemuda yang juga merasa penasaran ingin membuktikan apa yang terjadi ketika kita melanggar aturan tersebut. Karena aturan tak tertulis ini sudah turun temurun diwariskan selama beberapa generasi.
Kami pun sampai di sungai besar. Saat itu gejolak aliran sungai terlihat sangat menggelora walaupun cuaca pagi itu lumayan cerah. Angin bertiup kencang menggoyangkan ranting hingga membuat daun-daun berterbangan. Kami pun memutuskan untuk memancing dipinggiran sungai saja dan tidak berani untuk pergi berlayar. Kail dilemparkan, dan kami pun menunggu dengan perasaan yang gelisah tetapi juga penasaran.
Beberapa menit kami menunggu, akhirnya salah seorang dari kami dimakan juga umpannya. Dia terlihat sangat sengit berduel dengan ikan yang kelihatannya cukup besar ukurannya. Beberapa dari kami pun ikut membantu untuk menarik kail pancing yang terkait pada mulut ikan. Tetapi sayang, tongkat pancing yang hanya terbuat dari bambu pun akhirnya patah.
Kami serentak merasa bersemangat dengan tarikan ikan yang begitu kuat tersebut. Kemudian beberapa dari kami mulai mengganti tongkat pancing dengan tongkat baru dengan ukuran yang lebih panjang dan lebih kuat dari sebelumnya.
Suara gemuruh sungai yang menghantam batu. Gelombang yang menabrak tepian sungai. Ditambah gema suara air ditepian sungai menambah kesan sejuk nan menyegarkan tetapi juga mengisyaratkan kondisi yang tak terkendali dan berbahaya. Gejolak aliran deras laksana naga air yang sedang berenang dibawahnya.
Tetapi hasrat untuk mendapatkan ikan besar yang hampir kami taklukkan membuat semua pertanda itu menjadi tak kami hiraukan. Kami terus bernafsu dan terus melemparkan mata pancing kami kedalam air meskipun sesekali gelombang air menerpa tubuh kami beberapa kali hingga tubuh kami basah kuyup karenanya.
Hingga kejadian itu pun tiba, seekor ikan besar menyambar kailku dan memberikan perlawanan yang sangat sengit. Tenaga ikan yang besar, dan tongkat pancingku yang terbuat dari pangkal bambu muda, menambah keseruanku berduel dengan ikan itu. Tetapi tenagaku tak cukup kuat sehingga harus dibantu oleh beberapa temanku.
Beberapa menit kami berjuang, akhirnya ikan itu berhasil kami taklukkan. Tetapi alangkah terkejutnya aku melihat apa yang menggigit mata pancingku. Mata pancingku digigit oleh seonggok daging putih berlendir dengan sebuah bulatan hitam layaknya bola mata manusia disana. Benda itu berukuran kecil sehingga kami mengasumsikan bahwa mata pancingku terkait pada bola mata seekor ikan hingga membuat bola mata ikan tersebut terlepas dari kelopaknya.
"Wih kalau matanya saja sebesar itu, apalagi tubuh ikannya"
"Betul sekali. Ayo kita lanjutkan memancing kita,"
"Ayo lanjutkan," dengan serentak teman-temanku berucap.
Perasaan menjadi tidak enak setelah itu. Aku pun memutuskan untuk menyudahi kegiatan memancing pada pagi ini. Aku mengajak adik laki-lakiku untuk pulang dan pergi untuk berburu saja bersama ayah. Tetapi adikku menolaknya secara mentah-mentah. Aku yang sudah merasa aneh dengan situasi disini pun segera beranjak pergi dari sungai besar dan meninggalkan adik dan teman-temanku yang masih bertekad untuk mendapatkan ikan itu.
Menjelang sore hari, aku dan para orangtua kembali ke desa dengan membawa hasil tangkapan yang lebih baik dari sebelumnya. Kami sangat senang akhirnya kami bisa makan besar malam ini. Aku pun tak sabar untuk memamerkan hasil buruanku kepada adikku itu sebagai balasan karena dia telah menolak ajakanku secara mentah-mentah. Aku menenteng sebuah kijang dengan ukuran yang cukup besar dipundakku.
Beberapa jam kemudian, kami pun sampai dirumah kami. Kemudian aku menguliti dan membersihkan isi perut kijang itu disungai yang mengalir dibawah desa kami dibantu ayahku hingga bersih. Kemudian ibuku yang bagian memasak dagingnya. Setelah matahari terbenam, kami pun bisa merasakan nikmatnya makan daging rusa hasil tangkapan hari ini.
Malam pun mulai larut, tetapi adikku dan yang lain masih belum kembali dari memancing sedari pagi. Ayahku yang mulai khawatir memutuskan untuk pergi menjenguknya. Ayahku mengajak beberapa warga untuk menemaninya. Mereka kemudian pergi bersama-sama dengan membawa obor ditangannya termasuk tetua desa. Aku pun juga mulai merasa gelisah karena mereka lama sekali memancingnya.
Sebelum sempat keluar desa, dikejauhan remang-remang terlihat adik laki-lakiku dan beberapa temannya datang. Aku pun merasa lega karena mereka tidak mengalami kejadian yang aneh. Ayahku langsung bergegas menghampiri mereka dan berniat untuk memarahinya. Tetapi ketika mereka sampai, mereka mulai bertingkah sangat aneh. Mereka berjalan sempoyongan layaknya seseorang yang kelaparan selama beberapa hari.
Ayahku pun memarahinya karena menganggap adikku kelaparan karena mereka sedari pagi memancing dan tidak ingat waktu. Sejenak warga desa pun tertawa dengan ayahku yang memarahi adikku. Aku juga hanya bisa geleng-geleng kepala dan berusaha untuk memaklumi sifat kekanak-kanakannya tersebut. Kami pun segera pulang kerumah masing-masing.
Tetapi kesenangan ini berakhir sampai disini, adikku berjalan dengan sempoyongan menghampiri sebuah paku yang mencuat dari dinding. Memang paku tersebut biasa ku gunakan untuk menggantungkan sebuah tampah atau apapun agar mudah untuk dicari dan digunakan.
Aku sekeluarga bingung melihat tingkah anehnya. Tiba-tiba dia mengambil ancang-ancang dengan menarik kepalanya kebelakang. Kemudian tanpa ragu dia menghujamkan kepalanya kearah paku tersebut secara berulang kali. Darah bercucuran mengenai dinding rumah kami. Ayahku langsung berlari mencoba untuk menghentikan apa yang adikku lakukan tersebut. Sedangkan ibuku berteriak dengan histeris.
thor...sehat2 yah cuaca lagi buruk..banyak yg sakit...