Sebuah ramalan kemunculan raja iblis berhasil membuat dunia kacau balau akibat kemunculan para monster, makhluk mistis serta fenomena alam baru.
Untungnya manusia masih memiliki secercah harapan. Mereka adalah para manusia yang berhasil membangkitkan kekuatan hebat, mereka disebut Awakening.
Akan tetapi, apakah secercah cahaya itu dapat mengalahkan kegelapan yang begitu besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galaxy_k1910, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluarga Rajendra 5
"Kak."
"Hm?"
"Yang tadi malam itu beneran? Soal kematian kakek Javas dan keluarga utama Ranjedra."
Arkara yang sedang memakan sarapannya bertanya dengan nada serius.
Ekilah termenung sebentar. "Aku tidak sekejam itu, Kara. Lagian kurang kerjaan banget berurusan sama keluarga bangsawan."
Tak!
Perempuan itu menusuk potongan daging ayam dengan garpu hingga menyentuh piring kaca.
"Kalau gitu aku boleh tanya sesuatu gak?"
Tangan Ekilah terangkat, mempersilahkan Arkara untuk bertanya.
"Kenapa kakak menolak beasiswa dari sekolah Aegis Gale?"
Grep!
Ekilah memegang gelas lalu meminum sekali teguk. "Karena tidak ada gunanya. Sekolah itu melatih calon awakening agar bisa mengembangkan bakat mereka."
"Sayangnya, awakening itu berbeda dengan pekerjaan lain. Mereka berguru pada pengalaman langsung bukan teori. Ini memang terdengar tidak adil tapi bakat para awakening itu 60% merupakan bakat sejak lahir. 20% dari pengalaman dan kerja keras, 10% dari keluarga atau bakat turun-temurun."
"Lalu 10% sisanya?"
Ekilah terdiam sebentar. "Tidak tahu, cari sendiri."
"Eh?"
Sebuah senyuman tipis terbentuk di bibir perempuan itu. "Kau mulai tertarik dengan awakening bukan? Maka anggaplah tadi itu sebagai tugas pertamamu dari seorang profesional dariku. Masuklah ke sekolah Aegis Gale dan cari jawabannya."
"Sekolah itu mahal."
"Kita sudah kaya raya," balas Ekilah.
Arkara terdiam sebentar. Dia sudah mengetahui secara garis besar tentang keluarga Rajendra tapi Arkara masih kurang yakin menggunakan kekayaan keluarga untuk dirinya sendiri.
"Aku memang tertarik dengan awakening tapi kakak tahu sendiri kan."
"Kau lemah," ujar Ekilah.
Arkara mengangguk dengan cepat. "Benar."
"Terus memangnya kenapa? Lagian sekolah Aegis Gale tidak hanya menerima calon awakening berbakat saja kok, mereka juga menerima orang biasa yang punya kemampuan. Sekalipun kau tidak menjadi awakening setidaknya kau tahu cara mereka bekerja."
Suasana kembali hening.
Arkara memang masih duduk di bangku kelas 1 SMP tapi dia sudah memiliki beberapa rencana untuk masa depannya. Berbeda dengan Ekilah yang memiliki prinsip 'jalanin saja dulu, kalau enak lanjut kalau enggak enak yang cari lain'.
"Hah, aku mau berangkat dulu." Arkara pun berdiri dari tempat duduknya.
Ia mengambil tas yang sudah disiapkan di sofa dan pergi menuju dapur untuk memberi salam pada Rahayu.
[Jadi bagaimana? Sekarang kamu tidak memiliki masalah soal dana.]
Suara Tundra tiba-tiba terdengar kembali.
"Kita harus menunggu sebentar. Aku kurang enak meminta banyak uang pada Papa di saat seperti ini."
[Justru sekarang adalah waktu yang sesuai. Tidak akan ada yang mencurigai dirimu menyewa banyak awakening untuk mencuri kristal energi dari guild itu. Dari yang aku lihat, ayahmu juga sepertinya tidak terlalu terganggu bila kamu meminta banyak uang.]
"Ugh. Aku sedang malas melakukan hal ribet seperti itu."
[...]
Bahkan Tundra sendiri sudah tidak tahu harus melakukan apa dengan mood Ekilah yang cepat berubah-ubah. Dari yang ia lihat sampai sekarang, Ekilah masih tidak memiliki tujuan yang jelas.
[Apa sebenarnya tujuanmu itu, Ekilah? Aku rasa sekedar mencuri kristal energi itu bukanlah tujuan utamamu.]
Untuk pertama kalinya Tundra memanggil Ekilah dengan namanya.
"Untuk tujuan sih aku belum tahu, lalu, alasan aku ingin mencuri kristal energi itu adalah agar tidak ada orang yang mau menggunakan benda itu seenaknya."
[Kristal energi raja iblis ya... Apa kamu tahu jika sebenarnya sudah ada 7 raja iblis yang sempat menguasai dunia?]
Deg!
Ucapan Tudra itu membuat Ekilah tersentak. "Huh?"
[Ini fakta, jika tidak percaya kamu bisa mendatangi sebuah tempat rahasiaku yang jauh dari reruntuhan kastil.]
"Bukankah aku sudah bilang padamu jika aku ini sedang malas," balas Ekilah dengan nada ketus.
[Kamu yakin tidak mau ke sana?]
EKilah menghela nafas panjang. Dia lalu menopang dagunya dengan tangan. "Memang apa menariknya tempat rahasiamu itu?"
[Ada beberapa perhiasan dan senjata kuno yang aku simpan di sana. Meski tujuanmu masih belum diketahui tapi aku yakin pasti ada barang berguna di sana. Tambahan, informasi mengenai tempat rahasiaku itu ada di dalam kastil jadi cepat atau lambat akan ada seseorang yang datang ke sana.]
"Oh, udah kayak event game saja," ujar Ekilah. "Di sana ada apa saja?"
[Obat-obatan dan ramuan yang awet hingga 500 tahun. Beragam senjata ajaib dengan kemampuan yang berbeda. Serta yang paling membanggakan adalah baju zirah ku.]
Berat. Itu adalah hal pertama yang Ekilah pikirkan ketika mendengar kata baju zirah.
[Tenang saja baju zirah itu bisa berubah bentuk sesuai dengan pemakainya.]
"Eh?"
Gambaran tentang baju zirah yang terbuat dari besi atau baja atau bahan apapun yang keras dan kokoh pun langsung hilang di kepala Ekilah.
[Memangnya kamu pikir 100 tahun yang lalu kami berperang dengan apa? Kayu dan batu? Baju zirah yang aku maksud itu berasal dari tubuh monster level platinum.]
Monster level platinum?!
[Di tambah lagi aku juga sempat menculik rubah kuno untuk memberi mantra pada zirah itu agar awet dan bisa memberikan mantra pengatur suhu.]
Rubah kuno?! Mantra pengatur suhu?! Sudah kayak pakaian di game online dengan sistem gacha yang luar biasa sulit saja!
Kira-kira seperti itulah isi pikiran Ekilah ketika mendengar tentang baju zirah yang sangat tidak masuk akal itu.
[Apa kamu tertarik?]
"YA! Sangat!"
[Kalau begitu bersiap-siaplah.]
Keesokan harinya di rumah keluarga Rajendra.
Terlihat Ekilah yang berdiri di depan rumahnya dengan pakaian seperti otang yang mau mendaki gunung. Jaket tebal berwarna gelap dengan banyak kantong. Sepatu boots berteknologi tinggi yang tahan air, tahan licin, dan tahan dari kejadian kemasukan serangga.
DI kepalanya ada helm dengan lampu depan yang menyala padahal hari masih siang. Lalu tongkat tracking di kedua tangan. Tas ransel berukuran besar yang berisi alat-alat ekspedisi untuk berminggu-minggu.
[Berlebihan.]
"Norak."
Tundra dan arkara sama-sama melayangkan komentar yang menusuk hati mungil Ekilah.
"Ugh, ini kan pertama kalinya aku mendaki gunung!"
EKilah dengan wajah yang memerah melepaskan helm dan jaket yang membuatnya sesak nafas itu. Dia menatap sang ibu dengan tatapan kesal.
"Apa ini gak berlebihan ma?!"
Rahayu menggelengkan kepala dengan cepat lalu tersenyum senang. "Tidak, ini sudah batas wajar. Di tambah lagi gunung yang mau kamu naiki itu bukan gunung untuk pemula tapi gunung tertinggi di negara Mandaraka! Gimana Mama gak khawatir coba?!"
puk!
Rahayu mengenakan kembali Ekilah helm dengan lampu depan tadi.
"Ma, aku ini seorang awakening loh."
"Terus kenapa? Kamu kan tetap manusia dan tidak berubah menjadi naga."
"..."
"Pfft-"
Ekilah langsung melayangkan tatapan tajam pada Arkara yang sedang menggenakan sepatunya membuat remaja itu langsung diam tak berkutik.
Perempuan itu pun menghela nafas pendek. "Lebih baik mama khawatirkan Papa yang sepertinya akan begadang selama 1 minggu penuh itu."
"Itu tidak akan terjadi."
Kening Ekilah sedikit mengerut. "Kenapa mama bisa begitu yakin?"
"Karena aku istrinya."
"..."