NovelToon NovelToon
Satria Lapangan

Satria Lapangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: renl

Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.

Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 31

Tanggung Jawab yang Berlanjut

“Lo Bagas kan?” suara Stela terdengar lemah, namun jelas, dari ranjang tempat ia berbaring. Matanya masih setengah tertutup, tetapi cukup untuk mengenali wajah yang terdekat dengan dirinya.

Bagas tersenyum kecil dan mengangguk dengan pelan, meski hatinya masih terasa cemas. “Iya, gue. Lo... lo baik-baik aja, kan?” tanyanya, mencoba mengendalikan kepanikan yang masih mengusik pikirannya.

Stela berusaha untuk duduk, sedikit merintih karena pusing, namun ia berhasil mengangkat tubuhnya. “Lo tenang aja, Gas. Gue cuma pusing sedikit. Cuma kurang istirahat aja,” jawabnya, mencoba meyakinkan Bagas, meskipun ekspresinya menunjukkan bahwa ia masih merasa sedikit tidak nyaman.

Melihat Stela yang mencoba bangkit, Bagas langsung sigap mendekat dan dengan cepat membantunya untuk duduk lebih stabil. “Lo jangan maksa, Stela. Lo baru aja pingsan. Mendingan istirahat dulu,” ujar Bagas, suaranya penuh kekhawatiran.

“Gue... nggak apa-apa kok, Gas. Emang sih, tadi pusing banget, tapi sekarang udah mendingan,” Stela berusaha tersenyum, meskipun wajahnya masih tampak sedikit pucat.

Bagas masih belum yakin sepenuhnya, namun ia mencoba untuk menahan rasa khawatir yang menguasainya. “Tapi lo harus bener-bener istirahat, Stela. Gue nggak mau lo kenapa-napa lagi,” katanya, menatap Stela dengan penuh perhatian.

“Gas, gue bilang aman kok,” jawab Stela sambil mengusap pelipisnya, mencoba menenangkan Bagas. “Gue cuma kaget aja, gak ada yang serius. Lagian, gue udah pernah ngalamin hal yang lebih parah dari ini. Cuma mungkin tadi aja kebanyakan mikir latihan.”

Bagas masih memandangnya dengan tatapan waspada, meski Stela sudah mulai tampak lebih baik. “Lo yakin?” tanyanya lagi, meski suara ini terdengar lebih pelan dan lebih penuh rasa percaya.

Stela mengangguk, meskipun tetap mengerutkan dahi karena sedikit pusing. “Yakin kok, Gas. Lagian, lo udah bantu gue banyak banget. Gue nggak bakal lupa itu.”

Bagas menghela napas panjang, akhirnya merasa sedikit lega meskipun ada bagian dari dirinya yang masih merasa tidak puas. “Gue cuma nggak mau lo kenapa-kenapa karena bola basket yang gue lempar itu,” jawabnya, merasa sedikit bersalah.

Stela tersenyum kecil, meskipun masih terlihat lemah. “Lo gak perlu merasa bersalah, Gas. Itu bukan salah lo. Gue juga nggak bisa nyalahin lo kalau gue pingsan cuma gara-gara bola basket,” ujarnya dengan nada humoris, meski ia tahu bahwa Bagas mungkin merasa terbebani dengan kejadian tadi.

Bagas tersenyum kecut, tetapi tidak bisa menahan tawa kecil yang keluar dari mulutnya. “Yaudah, kalau lo bilang nggak apa-apa, gue percaya kok. Tapi kalo lo ngerasa nggak enak badan lagi, kasih tau gue ya,” katanya sambil berdiri di samping ranjang Stela, masih dalam posisi siap membantu jika dibutuhkan.

“Tenang aja, Gas. Gue bakal bilang kok,” jawab Stela, kini suaranya sudah terdengar lebih kuat. “Lagipula, kalau nggak ada lo yang bawa gue ke sini, gue nggak tahu apa yang bakal terjadi.”

Bagas merasa sedikit terkejut dengan kata-kata Stela, meskipun ia tahu bahwa ia hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan. “Gue cuma nggak mau liat lo kenapa-kenapa aja,” jawabnya rendah, mencoba menutupi rasa canggung yang mulai merayapi dirinya.

Saat suasana menjadi lebih tenang, Bagas menyadari bahwa Stela sudah mulai lebih baik, dan rasa khawatir yang sejak tadi mencekam akhirnya mereda sedikit demi sedikit. Bagas tahu bahwa dia mungkin tidak akan bisa melupakan kejadian tadi, tetapi satu hal yang ia pelajari dari insiden ini: tanggung jawab adalah hal yang penting, dan dia siap untuk itu, bahkan ketika kejadian tak terduga datang begitu cepat.

Stela, yang kini sudah mulai duduk dengan lebih stabil, menatap Bagas dengan senyuman kecil. “Makasih ya, Gas. Lo memang pahlawan, walaupun itu cuma karena bola basket doang,” ucapnya sambil tersenyum ringan.

Bagas hanya mengangguk, sedikit tersipu dengan pujian tersebut. “Ya, semoga ke depannya nggak ada bola basket yang jatuh ke kepala lo lagi,” jawabnya dengan tawa kecil.

Mereka berdua tertawa bersama, meskipun Stela masih merasakan sedikit pusing, namun suasana di ruang UKS itu terasa jauh lebih ringan. Bagas merasa lega melihat Stela sudah mulai baik-baik saja, dan meskipun kejadian itu akan selalu ada di ingatannya, ia tahu bahwa itu adalah bagian dari perjalanan yang harus dihadapinya.

Seperti yang dikatakan pelatih, setiap tantangan adalah kesempatan untuk belajar. Bagas tahu, ini adalah pelajaran lain dalam hidupnya: tentang tanggung jawab, empati, dan bagaimana cara menjadi lebih peduli terhadap orang lain, bahkan ketika itu tidak direncanakan.

Bagas merasa cemas ketika Stela mencoba untuk bangun, namun tubuhnya langsung goyah. Dalam sekejap, Bagas dengan sigap menangkap tubuh Stela yang hampir terjatuh. Semua seakan berhenti sesaat, hanya ada suara napas mereka yang bisa terdengar di ruangan itu.

Bagas menatap Stela, yang matanya kini tertutup sejenak karena rasa pusing yang datang begitu cepat. “Hati-hati, Stela,” ujar Bagas dengan nada lembut, meskipun kekhawatiran masih membayangi.

Setelah beberapa detik yang terasa sangat panjang, Stela akhirnya berhasil berdiri kembali. Bagas memastikan tubuhnya stabil dan kemudian membantunya kembali ke tempat tidur dengan hati-hati.

Bagas duduk di tepi kasur ruang UKS, mencoba untuk tidak terlihat canggung meskipun suasana di antara mereka kini terasa kikuk. Kedua belah pihak tidak tahu harus berkata apa setelah kejadian tadi.

Bagas akhirnya memecah keheningan. "Oke, sekarang lo mau ke mana? Gue yang antar atau lo mau makan, minum, biar gue yang cari?" tanyanya dengan nada sedikit santai, berusaha untuk tidak terlalu cemas.

Stela yang masih terbaring, mencoba mengangguk pelan, meskipun wajahnya masih tampak sedikit pucat. "Udah Gas, nggak usah repot. Gue masih kuat kok," jawabnya, meskipun suaranya sedikit lemah.

Bagas hanya mengangguk, dan suasana kembali hening beberapa detik. Tiba-tiba, ponsel Stela berbunyi, memecah keheningan itu. Bagas hanya diam, memberi Stela waktu untuk menjawab, tetapi Stela hanya menatap ponselnya sejenak dan kemudian menekan tombol untuk mematikan deringnya.

Begitu ponsel itu mati, Stela mencoba untuk bangun lagi, namun tubuhnya masih belum stabil. Melihat hal itu, Bagas yang tidak sabar, langsung berdiri dengan cepat dan berkata, "Dasar, ya, lo keras kepala banget!"

Dalam sekejap, dengan kekuatan yang sudah terlatih dari latihan basket, Bagas mengangkat tubuh Stela ke dalam pelukannya, dengan hati-hati memastikan kakinya terangkat agar tidak terjuntai. Stela hanya diam, wajahnya memerah mendalam, tak bisa mengelak dari situasi yang tiba-tiba terjadi.

Bagas, yang nampak sedikit canggung namun tetap sigap, berkata dengan cepat, "Lo mau ke mana? Biarlah gue antar."

Dengan malu-malu, Stela menjawab, “Anter gue pulang, Gas...”

Mendengar permintaan itu, Bagas hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia kemudian membawa Stela menuju parkiran sekolah. Mereka berjalan bersama, dan meskipun tidak banyak kata yang keluar, Bagas bisa merasakan ketegangan yang terbangun di antara mereka.

Bagas membuka pintu mobil sportnya dan dengan hati-hati menempatkan Stela di kursi penumpang. Sebelum menutup pintu, ia memastikan bahwa Stela sudah duduk dengan nyaman dan memasangkan sabuk pengaman untuknya.

Setelah itu, Bagas masuk ke mobil, menyalakan mesin, dan mereka pun meluncur menuju rumah Stela. Selama perjalanan, suasana di dalam mobil terasa sunyi. Stela hanya duduk diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Bagas pun merasa sedikit canggung, meskipun ia sudah mencoba untuk tidak terlalu memikirkan apa yang baru saja terjadi. Namun, entah kenapa, suasana hati mereka berdua terasa berbeda.

Bagas mencuri pandang sekilas ke arah Stela yang duduk di sebelahnya, dan meskipun Stela tidak berkata apa-apa, ia bisa melihat betapa wajah gadis itu tampak sedikit malu.

"Lo... baik-baik aja, kan?" tanya Bagas, akhirnya memecah keheningan yang membungkam mereka sejak keluar dari sekolah.

Stela yang masih terdiam hanya mengangguk pelan, matanya berfokus ke luar jendela, seperti mencoba untuk menenangkan dirinya. "Iya, Gas. Gue cuma butuh waktu buat... ngumpulin diri lagi," jawabnya, suaranya lebih pelan dari biasanya.

Bagas mengangguk, merasa sedikit lega mendengar itu, meskipun ia masih merasakan ketegangan di udara. Perjalanan ini terasa lebih panjang daripada biasanya, bahkan meskipun mereka hanya berada di dalam mobil.

Sesekali, Bagas melirik Stela, yang kini lebih terlihat tenang, meskipun wajahnya masih tampak merah. Entah kenapa, suasana di dalam mobil ini membuat Bagas merasa lebih dekat dengan Stela, meskipun keduanya baru saja melalui kejadian yang cukup tidak terduga.

Sampai akhirnya mereka sampai di rumah Stela. Bagas menepikan mobil dengan pelan, dan mematikan mesin. "Udah sampe," katanya singkat, meskipun hati kecilnya tidak ingin meninggalkan gadis itu sendirian.

Stela memandangnya sejenak, lalu mengangguk. "Makasih ya, Gas. Lo bener-bener... nggak nyangka bakal dibantu segitunya," ucapnya dengan nada pelan, meskipun ada rasa terima kasih yang jelas terasa.

Bagas tersenyum, mencoba untuk tidak terlalu canggung. "Lo jangan terlalu makasih, Stela. Gue cuma bantu aja. Semoga lo cepet pulih," jawabnya.

Stela tersenyum kecil. "Gue pasti akan baik-baik aja," katanya. Lalu dengan malu-malu, ia membuka pintu mobil. "See you, Gas."

Bagas hanya mengangguk, meskipun dalam hati ia merasa bahwa kejadian hari itu akan terus mengendap di pikirannya. Dia mengawasi Stela berjalan menuju pintu rumahnya, sebelum akhirnya mobilnya melaju pergi meninggalkan halaman rumah Stela.

Di perjalanan pulang, Bagas hanya terdiam. Meskipun tidak ada kata-kata lagi yang terucap, ia merasa sesuatu yang berbeda dalam dirinya, seperti ada yang lebih penting yang baru saja ia alami.

1
Aimee
Baca ini karena lihat cover sama sinopsisnya, eh mau lanjut... sesimple itu
Dragon 2345: makasih kakak Uda mampir,
total 1 replies
Cute/Mm
Keren abis nih karya, besok balik lagi baca baruannya!
Dragon 2345: aman kak makasih dah mampir, tmbah semangat aq buat up makasih sekali lagi support nya
total 1 replies
Celeste Banegas
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Dragon 2345: makasih kakak sudah mampir,
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!