Menjalani rumah tangga bahagia adalah mimpi semua pasangan suami istri. Lantas, bagaimana jika ibu mertua dan ipar ikut campur mengatur semuanya? Mampukah Camila dan Arman menghadapi semua tekanan? Atau justru memilih pergi dan membiarkan semua orang mengecam mereka anak dan menantu durhaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tie tik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tega
Arman menghentikan langkah di undakan anak tangga terakhir yang ada di lantai dua. Putra bungsu Aminah itu termenung ketika mendapati sang istri duduk di lantai sambil menyandarkan tubuh di pagar pembatas. Arman bingung harus bersikap bagaimana karena Camila pasti mendengar perdebatan yang sempat terjadi. Hati terasa pedih melihat Camila terisak dengan kepala tertunduk.
"Sayang. Ayo masuk ke kamar," ajak Arman sambil membantu Camila berdiri dari tempat duduknya.
Setelah berada di dalam kamar, Arman memeluk erat tubuh Camila. Tangisnya pun pecah di dada Arman. Suara isak tangisnya terdengar pilu hingga membuat perasaan Arman semakin tak karuan. Mereka sampai tidak bisa mengucapkan sepatah katapun karena sibuk menyelami pikiran masing-masing.
"Kita harus bagaimana, Mas?" tanya Camila setelah cukup lama terdiam.
"Nanti kita pikirkan lagi dengan kepala dingin. Tidak baik memutuskan sesuatu dengan emosi yang masih berkobar," jawab Arman dengan suara lirih.
Sepasang suami istri itu kembali terdiam. Mereka duduk bersanding di tepian tempat tidur. Termenung dan mulai mencari jalan keluar. Menekan ego demi menemukan solusi yang tepat.
"Mas, bagaimana kalau kita keluar dari rumah ini? Kita ngontrak rumah," tanya Camila tanpa menatap Arman. Pandangannya lurus ke depan.
Arman tercengang mendengar permintaan Camila. "Jangan meminta sesuatu yang tidak bisa aku penuhi, Sayang. Kamu sudah tahu, jika aku harus tinggal di sini untuk merawat bapak dan ibu nanti," jawab Arman.
"Lalu bagaimana?" Camila menoleh ke samping menatap Arman. "Aku tidak sanggup hidup di sini selagi masih ada mbak Sinta di sini. Dulu sebelum mbak Sinta hidup di sini, kita baik-baik saja 'kan? Meski ibu cerewet tapi ibu tidak pernah sampai marah seperti tadi," jelas Camila.
"Jangan begitu. Kalau kamu bicara seperti ini sama saja kamu menuduh mbak Sinta menjadi penyebab kemarahan ibu dan saudaranya. Lagi pula mbak Sinta kan di sini hanya sementara, setelah mas Yudi selesai di Surabaya, mereka juga pasti pulang ke Solo," jelas Arman dengan tegas.
"Tapi kenyataannya memang seperti ini 'kan Mas? Mbak Sinta memang mengacaukan segalanya. Aku yakin jika dia juga yang sudah membocorkan hal ini ke Ibu. Dia juga pasti sudah mempengaruhi bude Sinah dan bulek Siti. Tolong lah, Mas. Pikirkan perasaanku juga. Apa aku pulang ke Surabaya saja? Kita LDR?"
"Aku sudah tidak sanggup, Mas. Apalagi, setelah kejadian tadi. Mereka semua pasti akan mengucilkan aku. Aku bisa setres kalau begini terus. Kamu gak kasihan sama aku?"
Camila mengubah posisinya menghadap Arman dengan kaki kanan dilipat di atas tempat tidur. Tatapan mata Camila terlihat sendu hingga membuat Arman semakin tak karuan. Dilema besar kembali hadir dalam pikiran.
"Sayang. Beri aku waktu untuk memikirkan semua ini. Please, bertahan dulu ya untuk sementara ini. Aku tahu semua ini tidak mudah untuk kita, tetapi aku juga tidak bisa meninggalkan rumah ini." Tatapan Arman sangat dalam saat mengatakan hal ini.
Camila memalingkan wajah ke arah lain. Meski sudah berusaha keras menahan air mata, pada kenyataannya bulir air mata itu turun tanpa dikomando. Sekali lagi Camila menangis karena tertekan dengan keadaan yang ada di dalam rumah ini.
"Keadaan di rumah sedang tidak kondusif. Aku ingin kita saling percaya, saling mengerti dan menjaga kerukunan dalam rumah tangga kita. Mari kita hadapi bersama-sama. Untuk dagangan bodycare sementara biarkan dulu. Kalau sudah ada yang terlanjur pesan, ya sudah kirimkan," jelas Arman seraya menggenggam tangan Camila. "Sekarang sebaiknya kita istirahat," ajak Arman.
****
Suara murotal mulai terdengar dari pengeras suara masjid. Beberapa menit lagi adzan subuh mulai berkumandang. Camila mengerjapkan mata beberapa kali sebelum mengubah posisi menjadi duduk bersandar di headboard ranjang.
Setelah seluruh kesadarannya terkumpul, Camila turun dari tempat tidur. Dia keluar dari kamar dan berjalan menuju kamar mandi. Tak lama setelah itu, dia kembali ke dalam kamar untuk ganti pakaian.
"Mas, udah mau subuh. Bangun," ucap Camila sambil menepuk lengan Arman beberapa kali. Setelah memastikan sang suami bangun, Camila kembali keluar dan berjalan menuju lantai satu.
Camila menghentikan langkah di anak tangga terakhir saat mendengar suara percakapan dari depan kamar Sinta. Dia menyandarkan tubuh di dinding untuk mencuri dengar bisik-bisik di antara Aminah dan Sinta.
"Nduk, Ibu sudah menyiapkan sarapan untukmu. Ambil semua yang ada di meja makan dan bawa ke kamarmu."
"Memangnya kenapa, Bu? Terus kalau Arman dan Mila sarapan bagaimana?" tanya Sinta.
"Sudah biarkan saja. Ibu lagi gak mau masakin mereka berdua. Pokoknya hari ini jangan mencari bumbu dapur. Sudah ibu sembunyikan."
"Ibu lagi marah sama mereka?" tanya Sinta lagi.
"Kemarin malam Ibu sudah bicara sama mereka. Tenang saja, Ibu gak bilang kok kalau kamu yang udah ngasih tahu ibu. Ya sudah, Ibu berangkat ke Masjid dulu."
Camila memejamkan mata sambil meremas ujung blousnya. Dia tidak menyangka jika Aminah sampai tega melakukan hal ini. Parah. Ya, perlakuan Aminah kali ini cukup miris. Camila mengurungkan niatnya pergi ke dapur. Dia memutuskan kembali ke dalam kamar.
"Mas, kita sholat subuh di rumah saja ya. Kita jamaah di sini," pinta Camila sambil menyiapkan sajadah untuk menunaikan sholat.
"Kenapa?" tanya Arman sambil mengancingkan kemejanya.
"Nanti setelah sholat aku cerita. Sekarang sebaiknya kita selesaikan dulu kewajiban kita," ajak Camila sambil memakai mukenanya.
Lantunan ayat suci yang dibaca Arman terdengar fasih. Kewajiban dua rakaat telah ditunaikan oleh sepasang suami istri itu. Setelah itu, mereka berdzikir dan memanjatkan doa dengan khidmat.
"Ya Allah, Ya Rohman, Ya Rohim. Ampunilah segala dosa-dosa hamba. Berikan hamba kesabaran seluas samudra dalam menghadapi semua orang yang ada di sini. Amin." Camila hanya bisa berdoa dalam batin.
Setelah selesai, Camila berdiri dari tempatnya. Lantas, dia kembali merapikan mukenah dan sajadah. Camila berjalan menuju rias. Dia duduk di sana sambil mengamati pantulan wajahnya.
"Aku harus bisa melawan mereka. Aku gak boleh terlihat lemah. Ayo, Mil. Mikir! Kamu harus kuat agar tidak disepelehkan," batin Camila.
...🌹TBC🌹...
Arman mana tau,,berangkat pagi pulang sore
terimakasih
Anak sekarang benar2 bikin tepok jidat
Lagi musim orang sakit..
Fokus sama usahanya biar makin lancar..
Goprutnya ntar sampai hafal sama Mila 😀😀
Camila harus lebih tegas lagi
Yg g boleh itu jadi pengadu domba
Fokus saja sama keluarga dan usaha biar sukses