Ana, istri yang ditinggal merantau oleh suaminya. Namun, baru beberapa bulan ditinggal, Ana mendapatkan kabar jika suaminya hilang tanpa jejak.
Hingga hampir delapan belas tahun, Ana tidak sengaja bertemu kembali suaminya.
Bagaimana reaksi suaminya dan juga Ana?
Yuk, ikuti kisahnya dalam novel berjudul AKU YANG DITINGGALKAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keadaan Fatimah
"Jadi? Bang Raksa cemburu?" tanya Arkan hati-hati.
"Tidak, bukan aku, lebih tepatnya anak nenek sendiri. Bibi Dian." cetus Raksa.
"Wak Dian?" Arkan tidak percaya.
"Kamu tahu? Alasan sebenarnya nenek sakit bukan seperti yang ibuku katakan. Nenek mengalami darah tinggi, setelah berbicara dengan Bibi Dian. Bibi Dian meminta nenek untuk segera membagikan hak waris. Dia gak ikhlas jika keluarga kalian lah, yang terus-terusan menerima uluran tangan dari nenek." ungkap Raksa menghela napas.
Bukan tanpa alasan, Raksa menceritakan semuanya. Dia hanya tidak rela jika ibunya menanggung segalanya sendirian. Bukankah, Arkan juga keluarganya? Jadi menurut Raksa, Arkan juga harus tahu yang sebenarnya.
"Jadi, aku harus bagaimana?" tanya Arkan lirih.
"Aku hanya ingin mengatakan yang sebenarnya Arkan, bukan bermaksud apa-apa. Aku juga gak mau jika nanti kalian menganggap ibuku lalai mengurus nenek." terang Raksa.
Kembali ke kamar rawat Fatimah, Kayla sudah tertidur di lantai beralaskan tikar. Sedangkan Rima dan Ana masih saja mengobrol.
"Malam ini, aku nginap ya mbak? Biar Raksa pulang aja." ujar Ana.
"Memangnya gak apa-apa? Besok kamu gak ke sawah?" tanya Rima sedikit sungkan. Karena dia tahu bagaimana keseharian iparnya itu. Apalagi, sekarang memang sedang musim menanam padi.
Lagipula, Ana bukan hanya menanam di kampungnya saja, melainkan dia pergi ke berbagai tempat bersama beberapa orang lainnya. Tentu saja menggunakan mobil pickup sewaan.
"Nanti biar Arkan memberitahu waknya, supaya diberitahu sama teman disana." balas Ana.
"Kamu gak lelah Ana?" tanya Rima setelah mereka terdiam beberapa saat.
Ana bungkam, dia tahu kemana arah pembicaraan Rima.
"Menikahlah lagi, agar kamu ada yang menghidupi." lanjut Rima.
"Kamu berhak bahagia Ana." lirih Rima.
"Aku takut mbak, bagaimana jika nanti bang Sahil kembali. Dan melihat aku bersama lelaki lain. Aku juga takut, tentang keselamatan Kayla. Bukankah, jaman sekarang banyak lelaki yang tidak bisa dipercaya?" tanya Ana membuat Rima bungkam.
Rima sadar, belakangan memang banyak terjadinya kasus dimana seorang bapak tiri yang telah merenggut kesucian anak tirinya. Jangankan bapak tiri, bahkan lelaki bejat yang bisa dikatakan cinta pertama dari putrinya pun, melakukan hal sekeji itu.
"Lagipula, aku lupa bagaimana caranya mencintai lawan jenis mbak, nafsuku juga hilang bersama perginya bang Sahil." ujar Ana dengan mata berkaca-kaca.
Rima memeluk iparnya, seolah memberikan kekuatan pada Ana.
"Maafkan mbak, maafkan mbak dan ibu yang tidak pernah mengerti tentang keresahanmu." bisik Rima membuat tubuh Ana bergetar.
Raksa dan Arkan yang mendengar semua pembicaraan orang tua mereka hanya bisa mematung.
Dan Kayla menjatuhkan air matanya, sebenarnya dia terbangun karena hendak membuang air kecil, namun diurungkan mendengar pembicaraan kedua wanita yang berjasa di hidupnya.
"Ternyata, akulah yang menjadi penghalang kebahagian ibu." batin Kayla.
"Semoga Ayah memang masih hidup, agar penantianmu tidak sia-sia Bu ..." batin Arkan.
"Sabar bro, kamu harus berjuang lebih keras lagi untuk ibumu dan juga Kayla." ujar Raksa menepuk-nepuk bahu Arkan.
"Tenyata, cowok bisa juga nangis ..." Arkan menyapu lelehan di pipinya.
...🍁🍁🍁...
Pagi harinya, Kayla di jemput oleh Arkan, kebetulan ini hari minggu. Jadi Kayla pulang untuk mencuci seragam sekolahnya. Sedangkan Arkan akan masuk pagi hari, untuk menjaga counter.
Tinggal lah, Rima dan juga Ana disana. Setelah melap seluruh tubuh Fatimah, kedua wanita tersebut baru sarapan. Itupun, dibelinya saat ada penjual yang menjajakan nasi saat masih subuh.
"Mbak, biar aku yang aja yang buang sampahnya." ujar Ana mengambil bekas bungkusan dari nasi Rima.
Oya, mereka berada di ruang rawat kelas dua, dan kebetulan ranjang satunya lagi kosong.
Sampai rumah, Kayla langsung memasuki kamarnya untuk mandi. Sedangkan Arkan menyiapkan sarapan yang sebelumnya di beli dijalanan.
Hubungan Arkan dan Kayla memang tidak seperti hubungan kakak adek pada umumnya. Hubungan mereka berdua termasuk kaku, Arkan yang saat kecilnya sibuk membantu ibunya untuk mencari uang, hitung-hitung untuk meringankan beban ibunya.
Dia sedikit kaku jika berhadapan dengan Kayla, jika tanpa ibu disisinya.
Kayla sendiri malah sedikit takut pada Arkan. Dimatanya, Arkan seorang kakak yang tegas. Bahkan dia pernah di tarik saat sedang ngedate di salah satu kafe bersama gebetannya.
Sejak saat itu, dia beranggapan kakaknya orang yang sangat keras. Walaupun Kayla sadar, apa yang kakaknya lakukan demi kebaikannya.
"Sarapan dulu, sebelum membereskan rumah." ujar Arkan pada Kayla yang baru masuk dapur, untuk menggambil sapu.
Kayla langsung mendekati meja makan, niatnya semula memang untuk makan, namun di urungkan kala melihat adanya Arkan dimeja makan.
"Iya Bang ..." lirih Kayla mendekati meja makan.
"Mungkin ibu gak pulang sampai siang, kamu gak usah masak. Makannya beli aja." cetus Arkan, Kayla hanya mengangguk setuju.
"Ini uangnya." lanjut Arkan sebelum pergi meninggalkan meja. Tak lupa dia membawa piringnya ikut serta.
Karena Ana membiasakan kedua anaknya, untuk membersihkan peralatan makannya sendiri saat telah usai digunakan.
Kepergian Arkan, membuat Kayla menghela napas lega. Bukan dia tidak nyaman dengan adanya Arkan, namun dia sangat sungkan bila bertatap muka dengan Arkan.
Dan Arkan sendiri merasakan hal itu, namun dia juga gak tahu harus bagaimana caranya, agar hubungan mereka berdua berjalan semestinya.
Kembali kerumah sakit, Fatimah mulai tidak sadar. Dia koma, setelah muntah-muntah. Sekarang, dia di masukkan ke ruangan icu.
Rima sibuk menelpon kedua adiknya, Dian menolak pulang jika permintaannya belum juga disetujui oleh Fatimah. Sedangkan adik Rima yang seorang lagi, akan segera pulang. Bahkan, dia sudah bersiap sejak semalam.
"Pulang lah, Dian ... Memangnya kamu gak takut, jika ini saat-saat terakhir bagi kita untuk merawat ataupun bertemu ibu ..." bujuk Rima lewat panggilan telepon.
"Harus takut bagaimana sih mbak? Ibu udah tua, jadi jika memang nantinya ibu telah tiada, berarti memang udah ajalnya."
"Dian ... Kenapa kamu bisa seperti ini? Ini ibu kita loh. Wanita yang melahirkan kita ..." bentak Rima.
"Suruh Ana jaga ibu, bukankah, dia sudah ibu anggap seperti anak sendiri?"
"Ana memang disini Dian, bahkan sudah semalam. Dia bermalam disini." cetus Rima.
"Baguslah, bukan hanya bisa menghabiskan uangnya ibu aja."
"Dian, tolong jangan begini dik. Jangan iri dengan apa yang didapatkan Ana. Bahkan, apa yang ibu berikan pada Ana bisa dikatakan kurang, karena sesungguhnya itu memang tanggung jawab ibu. Dan Ana sendiri tidak hanya mengharap uluran dari tangan ibu, dia bekerja Dian." ujar Rima mencoba menjelaskan.
"Dan kamu sendiri juga mendapatkan uang setiap kali kamu kesini kan? Aku tahu Dian, Ibu kamu selalu meminta uang pada ibu, cuma kamu marah saat terakhir kalinya kamu minta emas, dan ibu tidak memberikan seperti jumlah yang kamu minta kan?" lanjut Rima.
Dan disebelah sana, Dian tercekat, karena Rima tahu segalanya. Bahkan saat itu, dia sudah mengancam ibunya agar jangan ada yang tahu.
Baru saja Rima mematikan ponselnya, Ana langsung memanggil Rima untuk segera memasuki ruang icu, sebelumnya Ana juga sudah menghubungi Arkan dan Kayla, dan Rima juga sudah menghubungi suaminya dan Raksa, guna memberitahukan keadaan Fatimah yang semakin melemah.
Ana dan Rima sedikit demi sedikit membantu Fatimah untuk melantunkan kalimah suci, kerena detak jantung Fatimah yang semakin melemah.
Sampai akhirnya, yang ditakutkan beneran terjadi, Fatimah pergi dengan tenang, dengan ditemani oleh anak juga menantu kesayangannya.
Rima langsung memeluk Ana kala sadar ibunya telah tiada, dia menangis di pelukan Ana.
Mereka berdua keluar dari ruangan sana, dan disambut tangisan Kayla yang sadar jika neneknya telah tiada. Karena melihat mata sembab kedua wanita yang baru saja keluar. Apalagi Rima menggeleng kepalanya secara lemah, seolah memberitahu jika Fatimah telah tiada.
ana yg tersakiti,Kinan yg menikmati
dan si Jefri dan firman perlu di ruqyah 😁😁