Skuel ke dua Sang Pewaris dan sekuel ketiga Terra The Best Mother.
menceritakan keseruan seluruh keturunan Dougher Young, Pratama, Triatmodjo, Diablo bersaudara dan anak-anak lainnya.
kisah bagaimana keluarga kaya raya dan pebisnis nomor satu mendidik anak-anak mereka penuh kesederhanaan.
bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENJELANG ULANG TAHUN
Rion menatap satu bungkusan kado dengan warna silver gradasi bunga timbul. Pria itu mengusap bingkisan yang akan diberikan kepada salah satu ayah kesayangan mereka yaitu Herman.
Rion sedikit ragu jika Herman akan memakai warna kemeja yang diinginkan semua anak. Walau tidak semua. Karena yang menginginkannya adalah dirinya, Arimbi, Satrio dan juga dua pria dewasa lainnya seperti Dahlan dan Haidar.
“Mas baby,” panggil sang istri.
Rion menoleh, ia tersenyum. Entah kenapa Azizah makin lama makin cantik di pandangannya. Semenjak Ryo lahir sepuluh bulan lalu. Tubuh istrinya itu makin padat terutama di bagian tertentu.
“Kamu kok gemesin banget sih sayang,” ujarnya greget.
Rion memeluk Azizah gemas dan meremas bokong sekal milik istrinya. Azizah merengek manja. Kegiatan mesra ini tentu di luar pandangan putra pertama mereka.
“Baby sama siapa sayang?” tanya pria itu.
“Itu ... putra kita tengah menyusahkan semua pengawal sayang,” jawab wanita itu.
“Aku dengar mereka berhasil mengecoh semua pengawal hingga bisa lari sampai gerbang mansion grandpa ya?” tanya RIon terkekeh.
“Iya sayang ... mereka berhasil membuat semua pengawal bekerja keras. Putra kita tertangkap. Baby bilang itu karena kakinya pendek,” jawab Azizah sambil tersenyum lebar.
“Baby bilang mau pinjem kaki Papa Gomesh biar bisa lari!” lanjutnya.
Sementara di halaman belakang tampak bayi-bayi belum satu tahun berkumpul, Ryo, Faza, Vendra, Zora, kembarnya Gio, kembarnya Juno dan putra bungsu Budiman, Horizon. Mereka masih ingin mencoba melarikan diri dari pengawalan.
“Tatih atuh dendet ... sadhi teumalin antap ama papa!” keluh Ryo memajukan kakinya sebelah.
“Atuh pampil mpe bepan woh ... sayan Tinti Nana ampil atuh!” sahut Horizon.
“Atuh ugha mpe delpan ... suma dentul atuh satit,” ujar Faza.
Lutut bayi cantik itu sedikit lecet karena menggunakan dengkulnya alias merangkak ketika melarikan diri.
“Tita walus weuleja pama papa Momesh!” ujar Zora memberi ide.
“Pana bawu meuleta tita jajat seljapama!” sahut Vendra.
“Peuleta tan teulja jadhain pita!” lanjutnya.
Semua berdecak kecewa, rupanya ide untuk melarikan diri dari pengawalan tak semudah yang mereka pikirkan. Fio yang mendengar percakapan mereka sedikit cemas dan gemas.
“Astaga kenapa mereka masih ingin kabur?”
Tak lama Bart datang membawa petukang. Halaman belakang akan diberi permaian ketangkasan. Ada seorang instruktur ketangkasan khusus anak-anak dibawa oleh pria gaek itu.
“Jadi menurut anda, anak-anak seperti mereka harus memiliki dunia main sendiri?” tanya Bart.
“Benar Tuan. Anak-anak cerdas dan memiliki keingin tahuan tinggi, kita harus menciptakan mainan yang menguji daya pikir mereka juga menguji adrenalin serta kekuatan fisik mereka!” jelas instruktur berkuncir kuda itu.
Gadis muda bernama Sabina Alamsyah, adalah seorang arsitek khusus mainan ketangkasan anak. Gadis itu belajar di Olkahoma, Amerika. Ia membawa meteran dan mulai membantu para pekerja untuk mengukur halaman.
“Tolong jangan ganggu lapangan gobak sodor ya!”perintah Bart.
“Oh ... wah ... ada lapangan permainan jaman dulu?” tanya gadis itu antusias.
Adanya orang baru membuat anak-anak penasaran. Mereka ingin mendekati semua pekerja. Para pengawal tentu mengawasi mereka. Para bayi itu bertanya yang membuat kening semua pekerja berkerut karena tak paham.
“Jangan ganggu pekerja babies!” peringat Rahma.
“Mumi ... pita inin pahu!” sahut putranya Meghan.
“Hawo!” sapa Horizon pada Sabina.
“Amuh spasa?” tanyanya sambil mendekat dan memandangi wajah gadis itu.
Mata biru Horizon membuat Sabina tertarik, gadis itu juga melihat beberapa bayi bermata sama. Ia sangat yakin jika semua anak keturunan bule.
“DIa tanya namamu, Mba,” ujar bart menjadi penterjemah Horizon.
“Oh nama kakak Sabina,” jawab gadis itu.
“Papina?” ulang Horizon.
“Sa, bi , na!” ralat gadis itu dengan mengeja namanya.
“Sa pi na!” pekik Horizon marah, ia merasa benar menyebut nama orang dewasa di depannya.
Sabina menghela napas panjang. Horizon meninggalkan gadis itu sambil mendumal panjang pendek. Tentu saja tak ada yang mengerti bahasanya karena ia menggunakan bahasa bayi.
Semua anak akhirnya disingkirkan dari sana agar tak mengganggu para pekerja yang mengukur. Sabina telah mendata apa saja yang harus digunakan untuk permaianan anak-anak. Karena di sini terlihat bebagai usia.
“Kita akan bagi jadi empat level, dari usia delapan bulan hingga tiga tahun, lalu naik level usia tiga sampai enam tahun, kemudian lanjut enam hingga sepuluh dan terakhir sepuluh hingga tiga belas tahun,” jelasnya.
Bart menyerahkan semuanya pada gadis itu. Setelah mengukur dan disetujui design dan bahan yang aman untuk semua bayi. Sabina dan para pekerja pulang dan akan kembali esok pagi.
“Selama dua hari saya janji akan menyelesaikan semua pekerjaan!” ujar gadis itu pada Bart.
“Baik lah!” angguk pria gaek itu.
Semua pekerja termasuk Sabina diperiksa kembali. Walau tidak ada yang mencurigakan. Tetapi, semua harus melalui protokoler ketat dari pengawalan SaveLived.
Anak-anak kembali pulang cepat dari sekolah, tak ada lagi drama kabur-kaburan karena kini salah satu pengawal menjemput mereka dengan masuk ke sekolah.
Rion turun bersama Azizah, keduanya akan masuk siang. Mereka memang menginap di mansion Bart. Besok baru mereka akan menginap di mansion Herman.
“Kalian mau berangkat?” tanya Terra.
Rion memeluk kakak sekaligus ibu yang telah membesarkannya itu. Pria muda itu manja dengan Terra. Azizah tak mau ketinggalan juga mau dimanja.
“Kamu juga mu kerja sayang?” tanya Terra pada menantunya.
“Nggak ma, kan ada Adiba,” jawab Azizah.
“Izah mau gangguin mama,” lanjutnya.
Terra memijit hidung kecil wanita yang telah memberinya cucu paling aktif itu. Rion duduk dan memakan sarapannya. Baru satu suap ia memasukkan nasi dalam mulutnya.
“Babies!” teriak delapan penawal. Semua orang dewasa berlarian keluar mansion termasuk Rion yang masih mengunyah makanannya.
Di halaman depan beberapa pengawal mengejar bayi yang menggunakan dengkul mereka berjalan. Lutut mereka dialasi sendal jadi tak langsung bergesekkan dengan conblok.
“Siapa pemilik ide memasang alas di lutut mereka?” tanya Maria heran.
“Telapak tangan mereka apa tidak melepuh? Jalanan panas sekali?” ujar Layla khawatir.
Semua ibu memanggil bayi-bayi mereka tentu saja disogok dengan makanan. Barulah para bayi dapat ditangkap oleh semua pengawal. Bart bingung kenapa hanya Ryo dan bayi seusianya yang kabur tapi tidak kakak-kakaknya.
“Ah ... teulnyata meuleta sulan!” decak Al Bara protes.
“Ladhian teunapa budah seutali pisodot matanan!” ketus maryam.
“Memang kalian nggak mau babies. Mama masak panada isi ikan tuna dan abon sapi loh,” ujar Maria.
“Ah ... teunapa Mama peslalu masat-masatan yan nenat!” protes Aaima.
“Pita tan pidat pisa beunolat!” lanjutnya mencibir.
Semua bayi masuk, rion bertanya siapa pemilik ide memberi alas pada dengkul mereka ketika kabur. Duo Stralight ditunjuk oleh semua bayi.
Dinar menghela nafas panjang. Ia tak tau harus bangga atau apa. Dua cucunya itu memang luar biasa jika ingin mengerjai semua orang tua.
“Pesot pita soba sala walin ladhi!” ujar El Bara diangguki semua adik dan paman serta bibik kecil mereka.
“Babies!” peringat Layla dan rahma berbarengan.
“Pa’a syih Mumi!” sahut semua bayi ketus.
Bersambung.
Hadeuh ... babies.
Next?
semoga berjalan lancar ya baby cal...