"Untukmu Haikal Mahendra, lelaki hebat yang tertawa tanpa harus merasa bahagia." - Rumah Tanpa Jendela.
"Gue nggak boleh nyerah sebelum denger kata sayang dari mama papa." - Haikal Mahendra.
Instagram : @wp.definasyafa
@haikal.mhdr
TikTok : @wp.definasyafa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon definasyafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
⋆˚𝜗 Devan? 𝜚˚⋆
... “Bukan takdir yang salah, cuma gue nya aja yang kurang bersyukur.” - Haikal Mahendra....
Jarum jam pendek menunjuk pada angka 11 sedangkan jarum panjang berdiri kokoh di angka 12, itu artinya malam ini sudah pukul 23.00 dan anggota Peaceable baru keluar dari gerbang mansion keluarga Diningrat. Sebenarnya Daddy Cakra menyuruh mereka semua untuk menginap sekalian di mansion-nya, tapi Arkan menolaknya.
Dia tidak mau merepotkan keluarga Cakra lebih banyak lagi. Anggota geng motornya itu tidak sedikit, mereka bahkan juga tidak punya rasa malu dan sungkan sedikitpun yang ada nanti anggotanya itu akan merepotkan orang-orang yang ada di mansion itu. Oleh sebabnya dia lebih memilih untuk menyuruh anggotanya pulang.
Haikal mengendarai motor barunya dengan gaya sok coll-nya, kalian pasti tidak lupa kan kalau Haikal Mahendra itu lelaki tertengil se antariksa. Bayangin aja motor baru woy, Kawasaki Ninja dengan kisaran harga 35,9 juta, yakalik Haikal tidak merasa dirinya keren. Jalan kaki saja dia merasa menjadi lelaki paling tampan se muka bumi ini, apalagi sekarang saat dirinya menaiki motor baru kadar ketampanannya akan bertambah ribuan kali lipat.
Lelaki berkulit tan dengan senyuman semanis brownis coklat yang atasnya di baluri oleh coklat lumer itu menancap gas motornya dengan kecepatan sedang, hingga tak terasa kini dia sudah berada di jalan raya dekat apartemen-nya. Jangan harap perjalanan Haikal akan se-sunyi hidup kalian, nyatanya lelaki itu bergumam menyanyikan lagu korea way back home dengan bahasanya sendiri.
Mau cuci kasur
Santan nurul tak jaga
Kami nerima kado
Kangkung dan ikan cendol
Ku bukan nyuri lagune
Ijin dora kah
Murahan si terong
Jin kentang sewa baskom
Lihatlah, ternyata bukan hanya hidup Haikal saja yang ambrul adul, otaknya nyatanya juga ikut tercemar. Ck, miris sekali. Entah dapat inisiatif dari mana dia lagu way back home dengan bahasa korea meleset jauh menjadi seperti itu. Memang ya, otak lelaki tengil selalu di luar nalar.
Di tengah ke asik kan nya bernyanyi pandangannya tak sengaja jatuh pada bocah laki-laki yang sedang duduk di pinggir trotoar seorang diri. Karena merasa penasaran Haikal pun segera menepikan motornya tepat di depan bocah laki-laki itu. Jiwa parno Haikal jelas sudah meronta-ronta takutnya nanti bocah jadi-jadian lagi, pasal nya sekarang sudah hampir tengah malam. Haikal melepas helm full face-nya kemudian turun dari atas motornya, sedikit melangkahkan kakinya ke arah bocah laki-laki yang sepertinya baru berusia 4/5 tahunan.
Haikal berjongkok di depan bocah itu, senyuman terbit di kedua sudut bibirnya, “hai, adek kenapa di sini sendiri hmm?”
Bocah itu mendongak, dia sedikit memundurkan duduknya menatap takut-takut lelaki di depannya.
Haikal tersenyum tipis, “hei jangan takut, abang nggak jahat kok, suer.” Haikal mengangkat jarinya membentuk huruf V di iringi dengan anggukan meyakinkan.
Bocah itu tetap diam, kedua tangannya memeluk lututnya, sungguh malam ini terasa begitu dingin apalagi dia hanya memakai kaos dan celana pendek.
Haikal yang melihat itupun dengan segera mepas jaketnya memakaikan jaket itu pada badan kecil bocah di depannya, “nih biar nggak dingin.”
Haikal ingin tertawa melihat bocah itu yang tenggelam menggunakan jaketnya, tapi sebisa mungkin Haikal menahanya. Jangan sampai nanti bocah ini takut padanya, lebih parahnya lagi kalau dia menganggapnya seorang penculik anak kecil. Bisa-bisa dia berteriak meminta tolong dan berakhir Haikal digebuk masa. Gawat, bisa babak belur wajah tampannya.
Haikal mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis, “nama abang Haikal, kalau nama kamu siapa?”
Bocah itu menatap ragu uluran tangan Haikal tapi tanganya dengan perlahan terulur menerima jabatan tangan besar di depannya, “Devan.”
Senyum Haikal semakin mengembang dengan kepala yang mengangguk pelan,”Devan kenapa di sini sendiri malem-malem bahaya loh, Mama sama Papa-nya mana?”
“Mama sama Papa ninggalin Devan di tempat yang banyak anak kecilnya, merema bilang mau jemput Devan tapi Devan tungguin mereka nggak jemput-jemput.” Lirih bocah yang di ketahui bernama Devan itu dengan kepala yang menunduk sendu. Dia jadi mengingat kembali momen pagi itu, dimana orang tuanya yang membawanya dengan terburu-buru dan meninggalkannya seorang diri dengan menitipkannya pada wanita asing baginya.
Haikal sedari tadi diam menyimak cerita bocah di depannya, namun dia belum faham apa maksudnya. Tempat yang banyak anak kecilnya, tempat ala itu? Lantas mengapa Devan bisa berada di sini sekarang, tengah malam lagi.
“Terus kenapa Devan bisa ada disini?” Haikal sedikit memiringkan kepalanya agar bisa menatap wajah Devan.
Devan terdiam sebentar sebelum kemudian menjawab pertanyaan Haikal, “Devan mau pulang, tapi Devan nggak tau dimana rumah Devan.”
“Alamat rumah Devan mana? Biar nanti abang anterin Devan pulang.” Haikal terlihat begitu antusias.
Devan sedikit mendongak menatap lelaki di depannya, kedua matanya mengerjap-ngerjap pelan. “alamat itu apa?”
Haikal mengerjakan dengan mulut yang sedikit menganga, kemudian satu tangannya menepuk jidatnya sendiri. Dia lupa, Devan masih sangat kecil maklum jika bocah itu tidak tau apa itu alamat.
Haikal menatap Devan lama, memikirkan bagaimana cara agar dia bisa mengantar bocah ini pulang. Sedangkan bocah ini saja tidak tau alamat rumahnya, apalagi Haikal yang tak mengenalnya.
Kruyukkk
Suaranya nyaring yang berasal dari perut kecil Devan berhasil membuyarkan lamunan Haikal. Lelaki itu menatap bocah yang saat ini tengah memegangi perutnya dengan tatapan polos ke arahnya.
Haikal terkekeh pelan, “Devan laper ya?”
Devan mengangguk pelan, sementara Haikal menatap gemas kepolosan bochil di depannya. Bolehkah jika dia mencubit gemas pipi gembul itu, atau mungkin menguyel-uyel wajah polosnya itu.
“Gimana kalau Devan ikut ke rumah abang, nanti abang masakin Devan makanan, gimana mau?”
Devan menatap lekat wajah Haikal yang sepertinya memang benar-benar orang baik.
“Besok pagi abang temenin Devan buat cari rumah Devan, karena sekarang udah malem jadi Devan tinggal sama abang dulu. Bahaya kalau Devan disini sendirian, abang orang baik kok, Devan tenang aja. Gini deh, kalau abang jahatin Devan, Devan boleh pukul abang yang kenceng banget gimana, mau?” Haikal kembali berucap berusaha meyakinkannya Devan.
Devan diam sebelum kepala itu mengangguk samar, “Devan mau, tapi nanti abang bakal kasih Devan makan kan?”
Haikal tertawa pelan mendengar pertanyaan polos bocah itu, “iya, nanti abang masakin Devan makanan yang eeeeenak banget.”
Mendengar itu Devan segera mengangguk dengan antusias, sementara Haikal segera mengangkat badan kecil di depan menundukkan nya di jok motor besarnya, Haikal memakai helm nya sebelum menancap gasnya.
“Pegangan hang kenceng biar nggak jatuh, oke boy.” peringat Haikal dengan sedikit berteriak, takut Devan tidak mendengarnya.
Devan dengan cepat melingkarkan tangan kecilnya di perut Haikal sebelum motor itu melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan malam.
...᭝ ᨳ☀ଓ ՟...
Lelaki yang saat ini sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih santai itu menatap bocah di depannya yang tengah fokus melahap nasi goreng buatannya. Sesekali lelaki itu akan terkekeh pelan melihat pipi gembul yang akan semakin gembul bila memakan nasi gorengnya.
“Gimana, masakan abang enak kan?” Tanya Haikal sedikit menyombongkan keahlian masaknya pada bocah kecil di depannya.
Devan mengangguk dengan mulut yang masih penuh suapan nasi goreng miliknya, “iywa bwang enwak.”
Haikal terkekeh, “telen dulu baru ngomong.”
Tanganya terulur menepuk pucuk kepala Devan pelan.
Devan hanya mengangguk singkat, kemudian kembali fokus pada piring di depannya. Dia sangat lapar sebab seharian ini hanya makan saat sarapan sebelum orang tuanya membawanya paksa dan meninggalkannya begitu saja.
Haikal sedari tadi menatap lekat Devan dengan senyuman yang tak pernah luntur dari kedua sudut bibirnya. Entahlah dia merasa sangat bahagia bisa bertemu dengan bocah ini, memang baru beberapa jam yang lalu dia menemukan Devan, tapi entah kenapa dia sudah menganggap Devan ini sebagai adiknya.
“Andai gue punya adik, pasti sebahagia ini rasanya.”