"Neng, mau ya nikah sama anaknya Pak Atmadja.? Bapak sudah terlanjur janji mau jodohkan kamu sama Erik."
Tatapan memelas Pak Abdul tak mampu membuat Bulan menolak, gadis 25 tahun itu tak tega melihat gurat penuh harap dari wajah pria baruh baya yang mulai keriput.
Bulan mengangguk lemah, dia terpaksa.
Jaman sudah modern, tapi masih saja ada orang tua yang berfikiran menjodohkan anak mereka.
Yang berpacaran lama saja bisa cerai di tengah jalan, apa lagi dengan Bulan dan Erik yang tak saling kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Aku sudah menyiapkan alasan yang tepat dan menyampaikannya dengan cara halus agar diijinkan pulang, tapi Mama perkataan malah membuatku merasa bersalah dan kasihan. Aku jadi merasa menjadi menantu yang buruk meski semua yang aku lakukan terpaksa karna keadaan. Aku tidak pernah berpikir ternyata pernikahan ini akan melukai dan menyinggung banyak orang. Terutama kedua orang tua kami.
"Bulan tidak betah di rumah Mama? Mama harus bagaimana supaya Bulan nyaman disini? Bulan itu sudah Mama anggap anak sendiri, sama seperti Erik dan Erina. Jadi rumah ini juga rumah kamu, tidak usah merasa sungkan menginap disini."
Aku membuang pandangan ke arah alain, rasanya tidak tega melihat raut kesedihan di wajah Mama. Aku menolak menginap disini, tapi Mama masih bisa merangkul ku dengan perkataan yang baik, alih-alih melontarkan kata-kata kasar. Aku yakin Mama sebenarnya kecewa dan berfikir negatif tentang ku karna tidak mau menginap di rumah ini.
"Bukan seperti itu Mah. Maaf kalau sikap Bulan menyinggung Mama. Bulan janji lain kali akan menginap kalau tidak sibuk." Aku menjelaskan sambil menundukkan pandangan agar tidak bertatapan dengan mata Mama yang tampak sendu.
"Sudah Mah jangan memaksa, nanti Kak Bulan malah tidak nyaman. Lagipula tempat kerja Kak Bulan memang jauh, nanti terlambat kalau harus berangkat dari sini. Kenapa tidak Mama saja yang menginap di rumah Kak Bulan dan Kak Erik? Mama kan lebih banyak waktu luangnya dibanding mereka." Ujar Erina mengusulkan.
Niat hati ingin menghindari agar tidak menginap di rumah ini, sekarang malah di hadapkan dengan masalah yang lebih besar karna usul dari Erin. Aku sampai tidak bisa berkata-kata saat Mama setuju dengan usul Erina dan begitu semangat ingin ikut pulang bersama kami.
"Ekheem!!"
Deheman Mas Erik membuat semua orang menoleh padanya. Aku menatap Mas Erik dengan perasaan lega. Aku yakin Mas Erik tidak akan membiarkan Mama menginap di rumahnya. Atau permasalahan dalam rumah tangga kami akan terbongkar jika Mama mengetahui kami pisah kamar.
"Kepalaku sedikit pusing. Aku istirahat sebentar ya sebelum pulang." Lirih Mas Erik sembari memijat pelipisnya dengan ekspresi wajah yang lesu.
Awalnya aku terkejut karna berfikir Mas Erik benar-benar sakit. Tapi kedipan matanya membuat aku sadar kalau Mas Erik hanya pura-pura.
"Kamu sakit?" Tanya Mama cemas. "Kalau begitu menginap disini saja ya, jangan sampai nanti terjadi sesuatu di jalan kalau memaksakan pulang." Mama melirik ke arahku. Aku paham apa yang ada dalam pikiran Mama, dia pasti ingin menunggu jawabanku karna tadi sempat menolak untuk menginap.
"Iya Mah, kita menginap saja supaya Mas Erik bisa istirahat lebih awal. Sebentar aku ambilkan obat dan air hangat dulu." Aku beranjak dari sana. Mas Erik ikut pamit pada mereka dan bilang akan pergi ke kamar.
"Tidak usah ambil obat, aku baik-baik saja." Ujar Mas Erik ketika aku akan berbelok ke dapur.
"Memangnya aku terlihat sebodoh itu sampai tidak bisa membedakan akting." Aku tetap melenggang ke dapur untuk mengambil air mineral dingin. Hati dan kepalaku terasa panas, ada saja hal yang membuatku harus menahan emosi. Makin lama, kesabaran ku bisa semakin tipis. Menginap disini memang lebih baik daripada Mama yang menginap di rumah kami. Tapi keduanya tetap saja membuatku tidak nyaman.
Saat kembali dari dapur, ternyata Mas Erik masih berdiri di dekat tangga. Dia memimpin langkah menaiki tangga ke lantai 2 dan berhenti di depan salah ruangan paling ujung, cukup jauh dari jangkauan mata. Aku tau ruangan itu pasti kamar Mas Erik.
Sudah hampir 3 bulan, aku bahkan tidak pernah masuk ke kamar Mas Erik di rumah ini. Mungkin saja keluarga Mas Erik sebenernya menaruh curiga, tapi karna selama ini aku dan Mas Erik tidak pernah bercerita apapun dan memainkan peran dengan baik, kecurigaan itu bisa ditepis.
"Nanti pinjam baju tidurnya Erina saja.k." Ujar Mas Erik sembari menutup pintu kamar.
Aku mengangguk, netraku sibuk mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar. Kamar yang didominasi warna putih dan abu-abu ini memiliki ukuran yang cukup luas. Setiap sudutnya tertata rapi dan tidak begitu banyak furnitur. Pandanganku berakhir pada sofa panjang yang terletak di dekat pintu balkon. Walaupun masih kesal karna berujung harus menginap, setidak aku masih bisa tidur di sofa agar tidak satu ranjang dengan Mas Erik.
"Kamu tidur ranjang, biar aku yang tidur di sofa." Kata Mas Erik sembari berjalan melewati ku dan menghilang di balik pintu kamar mandi.
Aku tergelak, bagaimana bisa Mas Erik tau aku sedang merencanakan tidur di sofa. Aku menatap pintu kamar mandi dengan penuh rasa penasaran. Tidak mungkin kan Mas Erik bisa membaca pikiran orang?
"Tidak mungkin, pria tidak punya hati seperti itu mana bisa membaca pikiran orang." Aku berusaha menepis tebakan yang tidak masuk akal itu sangat memilih duduk di tepi ranjang sambil menunggu Mas Erik ke luar dari kamar mandi karna aku juga harus membersihkan diri.
Tokk,, tokk,, tokk,,
Aku beranjak dari ranjang untuk membukakan pintu karna seseorang datang. Erina menyodorkan baju setelah aku membukakan pintu kamar.
"Kak, ini baju tidurnya."
Aku menerimanya. Pasti Mas Erik menyuruh Erina membawakan baju tidur untukku.
"Makasih Er." Aku membuka baju tidur milik Erina yang ternyata setelah baju dan celana pendek.
"Er, baju tidurnya tidak ada yang panjang? Celana panjang sama baju lengan panjang."
Tidak mungkin aku tidur dengan pakaian pendek seperti ini, sedangkan di dalam ada Mas Erik juga. Sampai sekarang aku belum pernah menunjukkan aurat ku di depan Mas Erik, dan aku bertekad tidak akan membuka aurat di depannya. Mas Erik menikah denganku dan berencana akan mengakhiri pernikahan kami, kau tidak mau dirugikan dengan memperlihatkan aurat pada Mas Erik yang jelas-jelas sudah menolak ku.
"Tidak ada Kak, baju tidurku semuanya pendek. Memangnya kenapa Kak? Tidak kuat dingin yah?" Erina menatapku bingung.
"Ii-iya Er." Jawabku terpaksa berbohong.
"Kan ada Kak Erik, minta dipeluk Kak Erik saja." Sahut Erina sembari terkekeh. Aku hanya tersenyum datar dan tidak bicara lagi.
"Ya sudah, aku pinjam dulu ya."
Erina mengangguk dan pamit kembali ke kamarnya.
"Yang benar saja, masa aku harus tidur pakai baju pendek!" Aku menggerutu sembari menggoyang sebal satu set baju tidur di tanganku. Saking fokusnya pada baju tidur, aku sampai menabrak Mas Erik. Hampir saja aku tersungkur kalau Mas Erik tidak menahan lenganku. Aku buru-buru menarik diri dan menyeimbangkan tubuh.
"Kalau jalan lihat-lihat." Tegurnya.
"Maaf."
Aku meletakkan baju tidur di atas ranjang lalu pergi kamar mandi. Hanya membersihkan muka dan menggosok gigi, aku keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sama tanpa berniat menggantinya.
"Jangan mempersulit diri. Kamu tidak akan nyaman tidur menggunakan baju seperti itu. Pakai saja baju tidur yang ada, aku janji tidak akan menoleh ke ranjang." Mas Erik menegur ku saat melihat Aku melipat kembali baju tidur milik Erina.
"Tidak ada orang yang ingin mempersulit diri sendiri. Sejak dulu hidupku lancar dan baik-baik saja, tidak ada yang sulit. Semua berubah menjadi sulit setelah aku menikah." Sahutku sembari naik ke atas ranjang dan membalut tubuh dengan selimut.
tiada pernah lelah ngajak.kamu bercinta 😆