Gadis cantik selesai mandi, pulang ke gubugnya di tepi sungai. Tubuh mulus putih ramping dan berdada padat, hanya berbalut kain jarik, membuat mata Rangga melotot lebar. Dari tempatnya berada, Rangga bergerak cepat.
Mendorong tubuh gadis itu ke dalam gubug lalu mengunci pintu.
"Tolong, jangan!"
Sret, sret, kain jarik terlepas, mulut gadis itu dibekap, lalu selesai! Mahkota terengut sudah dengan tetesan darah perawan.
Namun gadis itu adalah seorang petugas kesehatan, dengan cepat tangannya meraih alat suntik yang berisikan cairan obat, entah apa.
Cross! Ia tusuk alat vital milik pria bejad itu.
"Seumur hidup kau akan mandul dan loyo!" sumpahnya penuh dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syarifah Hanum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
"Pak, bagaimana ini? Kasihan Nadira, hu hu hu...!"
Tangis bu Lilis menyayat hati, betapa ia merasa hancur akan kemalangan nasib Nadira, keponakan suaminya itu.
Sedangkan Bardi cuma bisa linglung melihat istrinya menangis.Hatinya yang dibelit rasa bersalah ditambah tangisan istrinya, makin membuat pikirannya kosong.
"Pak, jemput Nadira ke asramanya! Paksa dia agar pulang ke sini!", ucap Lilis mendesak suaminya.
Tak ada pilihan, walau hari sudah menjelang sore, Bardi pergi ke kota, tempat Nadira berkuliah.
Ia menaiki motor matik besarnya. Memakai helm pelindung kepala dan jaket tebal untuk membungkus tubuhnya dari serangan udara dingin.
" Hati hati pak!", kata Lilis mengiringi kepergian suaminya.
Sebaliknya dengan Masitha, ia lebih memilih untuk menyuruh Tejo ke gubug Nadira.
Hatinya benar benar nelangsa melihat keadaan gubug itu.
"Apakah benar Nadira tinggal di sini?", cicitnya sedih lalu melihat Tejo, guna memastikan apa yang ia lihat itu benar adanya.
Adik iparnya itu membuang muka, menghindari tatapan Masitha.
Ragu, Masitha mendorong pintu gubuk. Terdengar bunyi berderit menyedihkan dari engsel pintu yang sudah lama berkarat.
Bola mata Masitha membesar dan penuh kabut, ia makin nelangsa melihat keadaan di dalam ruangan pengap itu.
Berantakan tak karuan dan hanya berisikan barang barang kusam yang bahkan jika di rumahnya semua benda itu dianggap hanya sampah dan layak di bakar.
" Benarkah ini tempat tinggalnya? Mengapa dia semiskin ini? Tapi mengapa dia bisa kuliah di Akademi Perawat yang biayanya cukup mahal". Masitha bertanya pada Tejo sambil menggeleng bingung.
"Orang tuanya tidak miskin, bahkan saat hidup ayahnya mewarisi tanah yang sangat luas.
Namun, beliau kelewat malas, hanya mengandalkan uang hasil menjual tanah warisan sepetak demi sepetak.
Bahkan rumah mewah, warisan turun temurun itu pun dijual oleh ayah Nadira, untuk biaya hidup dan foya foya.
Beruntung, kebun singkong, miliknya sudah disewa sepuluh tahun oleh pak Bardi, sehingga ayah Nadira tidak bisa seenaknya menjual, sebelum masa kontraknya habis!
Beruntung juga, ibunya Nadira perempuan cerdik, setiap kali suaminya menjual tanah warisan, ia mengambil setengah untuk biaya pendidikkan Nadira dan disimpan di bank", ucap Tejo panjang lebar.
"Mengapa gadis itu lebih memilih tinggal di gubug ini dari pada tinggal bersama Bardi dan istrinya", tanya Masitha tak habis pikir.
"Yang ku dengar, ia tidak ingin merepotkan paman dan bibinya!", jawab Bardi.
Mata Masitha tertuju pada meja kayu yang dilapisi dengan plastik yang warnanya juga sudah kekuningan, kusam.
Di atas meja itu tertinggal sebuah foto Nadira sedang berdiri di depan gedung kampusnya.
" Aku dapat alamatnya, ayo kita ke sana!", ucap Masitha dengan selarik senyum di bibirnya.
Perempuan modis itu lalu mengambil ponselnya dan mengambil gambar yang ada di atas meja itu.
Sebaliknya, Bardi terduduk lemas di depan kamar kontrakan Nadira. Keponakannya itu sudah pergi entah kemana.
"Nadira sudah lama tidak masuk kampus pak".
Ucapan teman Nadira itu seakan menghantam benaknya. Rasa bersalah pada almarhum ayah Nadira makin menggigit.
" Ya Allah, kemana perginya anak itu?", keluhnya sambil meremas dadanya.
"Pak, maaf, saya harus menyampaikan sesuatu yang penting.
Sebentar lagi ujian akhir, jika Nadira tidak mengikuti dia terancam di do!
Jika Nadira tidak menempati kamarnya, sebaiknya dikosongkan saja, agar bisa ditempati yang lain".
Sebenarnya ucapan teman Nadira itu sangat wajar, namun mampu membuat tubuh Bardi kian bergetar.
" Apa saya bisa masuk.ke kamarnya dik? Saya mau mengambil barang barang Nadira".
"Ayo pak! Biar saya temani".
Keduanya lantas masuk ke dalam kamar Nadira, kebetulan sebelum pergi, Nadira sempat menitipkan kunci kamarnya pada temannya itu.
Nyaris tak ada benda berharga di kamar Nadira, kecuali sebuah laptop dan album foto yang berisikan kenangan dengan kedua orang tuanya.
Setelah selesai mengemas barang Nadira, Bardi keluar dan bermaksud pamit pulang.
" Siapa pemilik kamar ini dik? Saya ingin pamit!", ucap Bardi.
"Gedung ini milik yayasan pak! Nanti saya akan bicara dengan dewan pengurus yayasan dan mengatakan jika Nadira tidak lagi tinggal di kamar ini!", ujar Fifi ramah.
Hatinya sebenarnya sangat sedih, kehilangan teman sebaik Nadira.
" Dek, apa kamu ada kontak dengan Nadira?", tanya Bardi penasaran. Ia menduga mungkin Nadira bisa lebih terbuka jika dengan temannya.
"Tidak ada pak!", sahut Fifi.
" Ya sudah, saya pamit dek! Jika ada berita tentang Nadira, tolong hubungi saya ya! Ini nomor ponsel saya!" Bardi lalu menyebutkan sederet angka pada Fifi, lalu cepat cepat ia menuju motornya.
Ia harus segera bergerak pulang sebelum malam semakin pekat.
Dengan kecepatan sedikit tinggi, Bardi menerjang jalanan yang mulai sepi.
Angin dingin memagut tulangnya, walau jaket tebal telah membungkus rapat tubuh tuanya.
Whuss....!
Terpaan angin kencang menyambar motornya dari samping, sebuah bus besar melintas kencang dari sisi kanan Bardi.
Motor Bardi sedikit oleh, dan ia sedikit meleng, turun ke bahu jalan.
"Astaga..!" Mulut Bardi berucap, ia tentu saja kaget setengah mati, membayangkan andai ia tergilas di bawah roda bus besar itu.
Rasa kantuk berbarengan dengan rasa kalut karena Nadira, tentu saja mengacaukan pikiran Bardi.
Akhirnya pria itu memilih istirahat di warung kopi sejenak. Memedan segelas kopi dan camilan, untuk mengusir rasa kantuknya yang sudah memberati pelupuk matanya.
"Kemana kau pergi nak?", tanya Bardi pada dirinya sendiri. Pertanyaan yang tak terjawab dan menguar di udara begitu saja.
" Bismillah..!"
Bardi bangkit dari duduknya, membayar pesanannya dan melanjutkan perjalanannya menuju pulang ke rumahnya.
Rasa kantuknya mungkin sudah bisa ia atasi dengan secangkir kopi, tapi tidak dengan bayangan Nadira yang terus mengganggu benaknya.
"Mana Nadira pak?", tanya Lilis begitu ia membukakan pintu untuk suaminya.
Perempuan itu tidak bisa tidur sebelum suaminya pulang dan memastikan keberadaan Nadira.
Jadi saat dia mulai mendengar suara motor suaminya memasuki halaman, dengan cepat Lilis menyambut kedatangan suaminya.
" Sebentar ceritanya bu! Bapak masuk dulu!"
Lilis menyadari kesalahannya, ia melebarkan daun pintu, lalu menepikan tubuhnya untuk memberi jalan suaminya memasukkan motor ke dalam rumah.
"Buatin bapak teh hangat bu!", pinta Bardi pada istrinya.
Lilis menuju ke dapur, membuat teh hangat seperti permintaan suaminya.
" Nadira pergi bu! Entah kemana. Dia keluar dari kampusnya tanpa pamit pada pihak kampus dan meninggalkan asramanya.
Teman temannya juga tidak tahu kemana perginya Nadira.Mereka sangat menyayangkan keputusan Nadira karena sebentar lagi ujian akhir", ucap Bardi mengeluh.
Jangan tanya bagaimana hancurnya hati Lilis, perempuan itu menangis tersedu sedu memikirkan nasib keponakan suaminya itu.
"Bu, Nadira sudah dewasa, lagi pula dia punya banyak uang di tabungannya, bapak yakin dia baik baik saja.
Tak usah sedih bu! Lebih baik kita doakan saja agar dia selamat sejahtera", ucap Bardi bijak, padahal hatinya sendiri pun cemas tak karuan.
" Bagaimana jika Nadira hamil pak?"
Deg..!
Jantung Bardi seakan berhenti berdetak mendengar pertanyaan istrinya itu.