Di balik kehidupan mereka yang penuh bahaya dan ketegangan sebagai anggota organisasi rahasia, Alya, Alyss, Akira, dan Asahi terjebak dalam hubungan rumit yang dibalut dengan rahasia masa lalu. Alya, si kembar yang pendiam namun tajam, dan Alyss, yang ceria serta spontan, tak pernah menyangka bahwa kehidupan mereka akan berubah drastis setelah bertemu Akira dan Asahi, sepupu yang memimpin di tengah kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azky Lyss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Kehidupan Kampus
Pagi hari di kampus selalu menghadirkan pemandangan yang kontras dengan kehidupan penuh ketegangan yang biasanya mereka jalani di organisasi. Di kampus, mereka berempat menjalani kehidupan seperti mahasiswa pada umumnya, meskipun dengan latar belakang yang jauh lebih kompleks. Di tempat ini, mereka adalah anak-anak muda yang berusaha menyelesaikan kuliah sambil menutupi sisi gelap kehidupan mereka yang lain.
“Ayo cepat, kita terlambat!” seru Alyss sambil berlari menuju gedung kuliah dengan semangat, meskipun kelas mereka baru akan dimulai beberapa menit lagi.
Alya hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia berjalan di samping Akira yang tenang, memandang Alyss yang energik dengan tatapan penuh kasih sayang. “Kau tahu, dia tidak akan pernah berubah. Selalu tergesa-gesa, bahkan saat kita tidak benar-benar terlambat,” kata Alya pelan, membuat Akira terkekeh.
“Asahi di mana?” tanya Alya sambil memandangi jalan di belakang mereka, berharap melihat sosok yang suka berbuat sesuka hati itu.
“Dia bilang akan menyusul. Katanya ada urusan penting, tapi aku yakin dia hanya ingin menikmati waktu dengan motornya lebih lama,” jawab Akira sambil memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya.
Sesampainya di gedung perkuliahan, mereka bertemu dengan beberapa teman sekelas yang sudah menunggu di luar ruang kelas. Teman-teman mereka tidak tahu apa yang terjadi di balik kehidupan keempatnya, tetapi di kampus ini, Akira, Alyss, Alya, dan Asahi selalu berusaha menjalani hidup biasa—seperti mahasiswa lain.
“Kalian terlambat lagi, ya?” tanya Hana, salah satu teman dekat Alyss. Ia selalu memiliki selera humor yang ceria dan suka menggoda.
Alyss tertawa dan melingkarkan lengannya ke pundak Hana. “Kami bukan terlambat, hanya... datang tepat di saat yang mendebarkan!”
Hana terkikik, menggelengkan kepala melihat gaya Alyss yang selalu optimis.
Di kampus, mereka memiliki beberapa kelompok teman yang tidak terlibat dalam organisasi. Di sinilah mereka bisa sedikit melupakan siapa mereka sebenarnya di luar, mencoba menjadi bagian dari kehidupan normal meski untuk sementara. Bahkan Akira, yang biasanya tegas dan serius, terlihat lebih santai ketika berada di lingkungan kampus. Di sini, dia tidak perlu selalu memikirkan strategi atau merencanakan langkah selanjutnya untuk melindungi timnya.
Setelah kelas dimulai, mereka mengambil tempat duduk masing-masing. Alya dan Akira duduk di barisan tengah, sementara Alyss dan Hana, seperti biasa, duduk di barisan depan, siap untuk memperhatikan dengan penuh semangat.
“Bagaimana soal tugas kelompok?” tanya Hana kepada Alyss saat mereka menyiapkan catatan.
“Oh, ya! Aku sudah diskusi dengan Akira dan Alya. Sepertinya kita akan membahas topik sistem keamanan siber. Akira punya banyak pengetahuan tentang itu,” jawab Alyss sambil memandang Akira dari kejauhan.
Akira, yang mendengar pembicaraan itu, hanya mengangkat alis dan tersenyum tipis. “Alyss selalu mengandalkan aku dalam urusan teknologi,” gumamnya pelan.
“Dia memang percaya padamu,” jawab Alya tanpa melihat ke arah Akira, pandangannya tetap tertuju pada buku catatannya.
Akira menatap Alya sejenak, ingin mengatakan sesuatu, tetapi memilih untuk menahannya. Di dalam kelas, mereka berusaha menjaga hubungan mereka tetap profesional dan tidak mencolok, tetapi selalu ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka berdua.
Sementara itu, Asahi akhirnya tiba, masuk dengan gaya santainya yang khas, meski terlambat. Dia melemparkan senyum kepada semua orang di dalam kelas, seolah-olah kehadirannya adalah acara utama hari itu.
“Maaf, maaf! Ketinggalan waktu sedikit,” katanya sambil berjalan ke tempat duduk di samping Akira.
Akira hanya mendesah pelan, menatap sepupunya dengan tatapan yang mengatakan bahwa ia sudah terbiasa dengan kebiasaan buruk Asahi. “Kau benar-benar tak bisa mengatur waktumu, ya?”
“Yah, yang penting aku ada di sini, kan?” jawab Asahi santai sambil duduk.
Setelah beberapa jam kuliah berlalu, mereka berempat berkumpul di kafetaria kampus. Suasana di sini jauh lebih rileks dibandingkan saat di kelas, dan mereka bisa berbincang-bincang tanpa formalitas.
“Kapan terakhir kali kita makan di sini?” tanya Alya sambil memandang ke sekeliling, mengingat bahwa mereka jarang punya waktu untuk menikmati makan siang bersama seperti ini.
“Rasanya sudah lama sekali. Aku hampir lupa rasanya makanan kafetaria,” jawab Asahi sambil memasukkan satu sendok besar nasi ke mulutnya.
Alyss menatap Asahi dengan geli. “Kau memang lebih sering makan di luar, kan? Selalu mencari tempat makan yang lebih keren dan mahal.”
“Ya, tentu saja. Kalau punya kesempatan, kenapa tidak?” balas Asahi, melanjutkan makannya dengan semangat.
Mereka semua tertawa kecil. Di sini, di kampus, mereka tidak berbicara soal organisasi, misi, atau bahaya yang selalu mengintai. Mereka hanya teman-teman yang sedang menikmati waktu bersama, berusaha sejenak melupakan dunia di luar yang penuh tekanan.
Namun, meskipun mereka terlihat santai, ada sesuatu di balik tawa dan obrolan itu. Alya, sesekali, mencuri pandang ke arah Asahi, memperhatikan luka yang belum sepenuhnya sembuh di tangannya. Dia ingin menanyakan apakah Asahi sudah benar-benar pulih, tapi memilih untuk diam. Mungkin karena dia tahu Asahi akan menepis kekhawatirannya dengan senyuman.
Akira, di sisi lain, tetap tenang seperti biasa, tetapi sesekali matanya melirik ke arah Alyss. Ada kehangatan yang tersembunyi di sana, perasaan yang sulit dijelaskan, tetapi tidak bisa diabaikan begitu saja.
Setelah makan siang, mereka berpisah untuk menghadiri kelas masing-masing. Namun, meski hari itu mereka menjalani kehidupan yang terlihat biasa, ada perasaan bahwa di balik segala kebersamaan dan tawa, masing-masing dari mereka menyimpan sesuatu yang lebih dalam. Mereka tahu bahwa kampus adalah satu-satunya tempat di mana mereka bisa merasa sedikit normal—meskipun hanya untuk sementara.
Hari-hari seperti ini, di tengah kehidupan kampus, memberi mereka ruang untuk merasa seperti anak muda biasa. Tapi pada akhirnya, kehidupan mereka yang sebenarnya selalu menunggu di luar, dengan semua ketegangan dan tantangan yang tidak bisa dihindari.