Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
"Ayah...," bisik Amara, suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca. Telepon genggamnya masih menempel di telinganya, suara ibunya yang panik masih terngiang di kepalanya. "Ayahmu... dia tak sadarkan diri. Cepatlah, Amara!"
Jantung Amara berdebar kencang, setiap ketukannya seakan bergema dengan rasa takut yang merayap di dalam dirinya. Kritis. Kata itu bergema di kepalanya, menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa. Ayahnya, yang selalu kuat, yang selalu menjadi sandarannya, kini terbaring lemah, tak berdaya.
Dengan langkah terburu-buru, Amara beranjak dari tempat duduknya. Dewi dan Yuna, istri pertama dan kedua Mas Radit, suaminya, memperhatikannya dengan tatapan dingin. Dewi, dengan wajahnya yang selalu dihiasi senyum sinis, bersuara, "Mau kemana kau dengan pakaian itu, Amara?"
"Ayahku... dia sakit," jawab Amara, suaranya terengah-engah.
"Kau harus berpakaian yang pantas," timpal Yuna, nada bicaranya sarat dengan sarkasme. "Jangan sampai orang tuamu tahu kau hidup serba kekurangan di sini. Mereka pasti akan kecewa."
Amara menunduk, matanya berkaca-kaca. Dia ingin berteriak, ingin melepaskan amarah yang menggerogoti hatinya. Tapi, dia hanya bisa diam, tertekan oleh tatapan tajam kedua wanita itu. Mereka selalu begitu, mengontrol setiap gerak-geriknya, mencaci maki dan merendahkannya.
"Aku harus pergi," kata Amara, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku akan kembali nanti."
Dewi dan Yuna saling bertukar pandang, senyum sinis mereka mengejek. Amara bergegas menuju kamarnya, tangannya gemetar saat meraba lemari pakaiannya. Dia hanya memiliki beberapa pakaian sederhana, jauh berbeda dengan koleksi busana mewah yang dimiliki Dewi dan Yuna.
"Kau akan membuat malu keluarga," bisik Dewi pelan, suaranya menusuk seperti duri.
Amara mengabaikannya, matanya tertuju pada sebuah baju sederhana yang selalu dikenakannya. Dia tahu, ini bukan pakaian yang pantas untuk mengunjungi orang sakit, tapi dia tak punya pilihan lain.
"Aku harus pergi," ulang Amara, tekadnya bulat. "Ayahku... dia membutuhkan aku."
Dia beranjak dari kamar, langkahnya berat, hatinya dipenuhi kesedihan dan amarah. Dia harus pergi, harus menemui ayahnya, harus memberikan kekuatan padanya. Tapi, dia juga harus menghadapi kenyataan pahit, kenyataan bahwa dia tak lagi memiliki kebebasan, tak lagi memiliki hak untuk memilih, tak lagi memiliki dirinya sendiri.
******
Dewi dan Yuna saling berbisik, tatapan mereka penuh kebencian dan kelicikan. Amara, dengan pakaian sederhananya, telah memicu amarah mereka. Mereka tak akan membiarkan Amara lolos begitu saja.
"Dia harus dihancurkan," desis Dewi, suaranya dingin dan penuh dendam. "Kita harus membuatnya jatuh di mata Mas Radit."
Yuna mengangguk setuju, matanya berkilat licik. "Kita akan menyewa seorang laki-laki muda, tampan dan menarik. Dia akan merayu Amara, membuat Mas Radit cemburu, dan mengusirnya dari rumah ini."
Kebencian mereka terhadap Amara telah membara selama bertahun-tahun. Amara, dengan sikapnya yang sederhana dan polos, telah menjadi duri dalam daging mereka. Mereka iri dengan kecantikan alami Amara, dengan sikapnya yang lembut dan perhatian, dengan kasih sayang yang diberikan Mas Radit padanya.
Dewi, istri pertama Mas Radit, merasa posisinya terancam. Dia selalu berusaha untuk mengendalikan Mas Radit, untuk menjadi satu-satunya wanita dalam hidupnya. Tapi, kehadiran Amara telah mengacaukan rencananya.
Yuna, istri kedua Mas Radit, juga tak kalah dendamnya. Dia merasa terhina karena Amara, yang dianggapnya "hanya seorang pelayan", mendapatkan perhatian lebih dari Mas Radit.
"Kita akan membuatnya menderita," kata Yuna, senyum licik mengembang di bibirnya. "Dia akan merasakan bagaimana rasanya dihina, diabaikan, dan dibuang."
Mereka berdua merencanakan dengan detail, membayangkan Amara terpuruk dalam kesedihan dan keputusasaan. Mereka akan membuat Mas Radit membenci Amara, membuat Amara kehilangan segalanya. Kebencian mereka telah menjadi racun, menggerogoti hati mereka, membuat mereka buta akan rasa kemanusiaan.
*****
Pintu ruang rawat terbuka, dan Amara melangkah masuk dengan langkah gontai. Matanya langsung tertuju pada ibunya yang duduk di tepi ranjang, tangannya menggenggam erat tangan ayahnya yang terbaring lemah. Wajah ibunya pucat, matanya sembab, dan air mata mengalir di pipinya.
"Ibu...," lirih Amara, suaranya bergetar.
Ibunya langsung bangkit, memeluk Amara erat-erat. Tangisnya pecah, suara isak tangisnya menyayat hati Amara. "Amara... ayahmu... dia..."
Amara tak mampu berkata-kata, hanya bisa memeluk ibunya erat-erat, merasakan kepedihan yang sama. Dia melihat ayahnya, wajahnya pucat pasi, tubuhnya kurus, dan napasnya tersengal-sengal. Rasa takut dan cemas mencengkeram hatinya.
"Ibu... apa yang terjadi?" tanya Amara, suaranya terbata-bata.
"Dokter bilang... kondisinya semakin parah," jawab ibunya, suaranya bergetar. "Dia... dia..."
Amara menunduk, air mata mengalir di pipinya. Dia tak bisa membayangkan hidup tanpa ayahnya. Ayahnya adalah segalanya baginya, sumber kekuatan dan kasih sayang.
"Amara...," ibunya memanggilnya, suaranya penuh harap. "Kau... kau harus kuat. Ayahmu... dia butuh kau."
Amara mengangguk, berusaha menguatkan dirinya. Dia harus kuat untuk ayahnya, untuk ibunya.
"Aku... aku akan menelpon Mas Radit," kata Amara, suaranya bergetar. "Aku akan memberitahunya."
Amara mengambil ponselnya, jari-jarinya gemetar saat menekan nomor Mas Radit.
"Apa? Di mana kau?" tanya Mas Radit, suaranya terdengar sedikit khawatir. "Kondisinya parah? Sejak kapan?"
"Sejak tadi pagi, Mas. Dokter bilang kondisinya kritis," jawab Amara, suaranya bergetar.
"Kritis? Ya ampun, Amara. Ayahmu... Aku... Aku akan ke sana," kata Mas Radit, suaranya terdengar panik. "Kau jaga dirimu ya, Amara. Aku akan segera ke sana."
"Baiklah, Mas," jawab Amara, hatinya sedikit lega mendengar respon Mas Radit. Meskipun Mas Radit tidak selalu menunjukkan perhatian yang tulus, setidaknya dia peduli dengan kondisi ayahnya.
"Aku akan segera ke sana," ulang Mas Radit, suaranya terdengar lebih tegas. "Kau jaga dirimu ya, Amara."
"Iya, Mas," jawab Amara.
Mas Radit menutup telepon. Amara menunduk, matanya berkaca-kaca. Dia berharap Mas Radit benar-benar akan datang, dan menunjukkan perhatian pada ayahnya. Meskipun dia tahu, hubungan mereka tidak selalu harmonis, dia masih berharap Mas Radit akan menunjukkan rasa simpati dan empati.
Tapi, Amara tak boleh menyerah. Dia harus kuat, harus terus berjuang untuk ayahnya, untuk ibunya. Dia harus menunjukkan pada mereka bahwa dia tak akan menyerah, bahwa dia akan tetap tegar menghadapi cobaan hidup.
*****
"Ibu...," lirih Amara, matanya berkaca-kaca. "Ayah... Bagaimana keadaannya sejak tadi pagi? Aku sangat khawatir."
Ibunya mengusap air mata yang mengalir di pipinya, suaranya bergetar. "Sejak pagi, dia terus demam tinggi, Amara. Napasnya juga tersengal-sengal, dan dia tak sadarkan diri. Dokter bilang, kondisinya kritis."
"Kritis...? Maksudnya?" tanya Amara, suaranya bergetar. "Apa... Apa artinya ini, Ibu?"
"Maksudnya... Kondisinya sangat buruk, Amara. Dokter sudah melakukan yang terbaik, tapi..." Ibunya terdiam, tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Air matanya kembali mengalir deras.
Amara mendekat, menggenggam tangan ibunya. "Ibu... Apa yang harus kita lakukan? Aku sangat takut, Ibu. Aku tak ingin kehilangan Ayah."
"Kita hanya bisa berdoa, Amara," jawab ibunya, suaranya terisak. "Berdoa agar ayahmu bisa melewati ini semua."
Amara menunduk, matanya berkaca-kaca. Dia teringat pagi tadi, saat dia pamit pada ayahnya sebelum berangkat bekerja. Saat itu, ayahnya masih terlihat sehat, meskipun sedikit lemas. Dia tak menyangka, kondisi ayahnya akan memburuk secepat ini.
"Ibu... Apa ayah... Apa ayah... ," Amara tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Tangisnya pecah, air matanya mengalir deras.
"Ayahmu kuat, Amara," jawab ibunya, berusaha menguatkan Amara. "Dia akan melewati ini semua."
Amara mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi ketakutan. Dia berharap ibunya benar, dia berharap ayahnya bisa melewati masa kritis ini. Dia tak bisa membayangkan hidup tanpa ayahnya.
"Ibu... Apa yang terjadi pada ayah?" tanya Amara, suaranya bergetar. "Kenapa dia bisa sakit seperti ini?"
"Dokter bilang, dia mengalami serangan jantung," jawab ibunya, suaranya lirih. "Tapi, dia sudah lama mengeluh sakit kepala dan sesak napas. Mungkin, dia sudah lama sakit, tapi dia tak mau memberitahukan kita."
Amara terdiam, hatinya dipenuhi rasa sesal. Dia menyesal tak pernah memperhatikan kondisi ayahnya dengan lebih baik. Dia menyesal tak pernah bertanya tentang kesehatannya.
"Amara...," ibunya memanggilnya, suaranya penuh kasih sayang. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Kita semua sudah melakukan yang terbaik. Sekarang, kita hanya bisa berdoa."
Amara mengangguk, matanya tertuju pada ayahnya yang terbaring lemah. Dia berjanji pada dirinya sendiri, dia akan selalu menjaga ibunya, akan selalu menjadi tempat bergantung baginya. Dia akan terus berjuang, meskipun rintangan hidup menantinya.
*****
Pintu ruang rawat terbuka, dan Mas Radit melangkah masuk dengan wajah yang tampak khawatir. Matanya langsung tertuju pada Amara yang duduk di samping ranjang, tangannya menggenggam erat tangan ibunya.
"Amara...," panggil Mas Radit, suaranya terdengar sedikit panik. Dia langsung berlari menghampiri Amara, memeluknya erat-erat.
"Ayahmu... Bagaimana keadaannya?" tanya Mas Radit, suaranya bergetar.
Amara menunduk, air matanya kembali mengalir. "Kondisinya kritis, Mas. Dokter bilang... ," Amara tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
"Kritis? Ya ampun," desis Mas Radit, suaranya terdengar cemas. "Apa yang terjadi?"
"Dia mengalami serangan jantung, Mas," jawab Ibu Amara, suaranya bergetar. "Sejak pagi, dia terus demam tinggi dan tak sadarkan diri."
Mas Radit terdiam, matanya tertuju pada ayahnya yang terbaring lemah di ranjang. Dia terlihat sangat khawatir, wajahnya pucat pasi.
"Aku... Aku tak menyangka," kata Mas Radit, suaranya terdengar lirih. "Aku... Aku sangat menyesal."
"Mas... ," lirih Amara, "Jangan salahkan dirimu sendiri. Kita semua sudah melakukan yang terbaik."
"Tapi... Aku... Aku harus lebih perhatian," kata Mas Radit, suaranya bergetar. "Aku... Aku tak pernah tahu, kalau dia... Kalau dia..."
Mas Radit terdiam, tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dia menunduk, wajahnya dipenuhi rasa sesal.
Ibu Amara mengusap bahu Mas Radit, suaranya lembut. "Mas... Jangan sedih. Kita semua sudah melakukan yang terbaik. Sekarang, kita hanya bisa berdoa."
Mas Radit mengangguk, matanya tertuju pada ayahnya yang terbaring lemah. Dia terlihat sangat sedih, hatinya dipenuhi rasa bersalah. Dia menyesal tak pernah memperhatikan kondisi ayahnya dengan lebih baik. Dia menyesal tak pernah meluangkan waktu untuknya.
Amara melihat Mas Radit, hatinya dipenuhi rasa simpati. Meskipun Mas Radit tidak selalu menunjukkan perhatian yang tulus, dia tahu, Mas Radit juga mencintai ayahnya.
"Mas... ," kata Amara, suaranya lirih. "Kita harus kuat. Kita harus terus berdoa agar ayah bisa melewati ini semua."
Mas Radit mengangguk, matanya berkaca-kaca. Dia menggenggam tangan Amara, berusaha menguatkan dirinya. Dia tahu, dia harus kuat untuk Amara, untuk ibunya, dan untuk ayahnya.