Malam itu, kabut tebal menyelimuti sebuah desa terpencil di lereng gunung.
Suara angin berdesir membawa hawa dingin yang menusuk tulang.
Di tengah sunyi, langkah empat orang terlihat menuju sebuah bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan.
Nur, seorang editor sekaligus kameraman, mengangkat kameranya, siap menangkap setiap detik keangkeran yang tersembunyi di balik bayang-bayang.
Di sampingnya, Pujo, pria dengan kemampuan supranatural, merasakan getaran aneh sejak pertama kali mereka menjejakkan kaki di tempat itu.
"Ini bukan tempat biasa," gumamnya dengan nada serius.
Ustad Eddy, seorang religius dan spiritualis, melangkah mantap dengan tasbih di tangannya, siap mengusir kegelapan dengan doa-doanya.
Sementara Tri, yang dikenal sebagai mediator, berdiri di antara mereka, mempersiapkan dirinya untuk berhadapan dengan entitas dari dunia lain.
Mereka bukan sekadar pemburu tempat angker, tetapi penjelajah alam gaib yang menyuguhkan kisah-kisah misteri dan horor yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENCARI KEBENARAN DI KEGELAPAN
Setelah melewati ruangan besar yang dihiasi simbol-simbol kuno, Nur dan teman-temannya merasa seolah terjebak dalam labirin waktu. Dalam heningnya, ketegangan terasa menyesakkan. Mereka berjalan hati-hati, mencoba menyusuri dinding gua yang lembap. Suara tetesan air terdengar jelas, seakan mengiringi langkah mereka menuju kegelapan yang semakin dalam.
“Apakah kalian ingat apa yang tertulis di simbol itu?” Pujo bertanya, menghentikan langkahnya. “Ada sesuatu yang menyebutkan tentang ‘Penjaga Kegelapan’.”
“Penjaga Kegelapan?” Tri mengulang, wajahnya serius. “Apa itu artinya?”
“Mungkin makhluk yang kita hadapi,” Nur menanggapi, menekankan kata-kata yang diucapkannya. “Tetapi juga bisa jadi sesuatu yang lebih dari sekadar makhluk. Mungkin ada kekuatan yang lebih besar di balik semua ini.”
Ustad Eddy mengangguk setuju. “Kita harus tetap waspada. Sepertinya ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar makhluk yang menakutkan. Kita mungkin sedang terlibat dalam sesuatu yang lebih berbahaya.”
Mereka melanjutkan langkah, mencari jalan menuju inti gua. Namun, saat mereka mendekati tikungan, cahaya yang dihasilkan oleh lampu kamera Nur mulai meredup. “Apa ini?” Nur berbisik, kebingungan melanda.
“Jangan panik. Mungkin hanya baterainya,” kata Tri sambil memeriksa peralatannya. “Kita harus menjaga cahaya ini. Tanpa cahaya, kita akan kehilangan arah.”
“Mari kita terus berjalan,” Pujo menyarankan. “Kita harus menemukan sumber kegelapan ini dan menghadapi apa pun yang ada di depan.”
Ketika mereka melangkah lebih jauh, udara di sekeliling terasa semakin berat. Bau lembap bercampur dengan aroma aneh yang membuat mereka merasa mual. Nur mengerutkan dahi, merasakan ada yang tidak beres.
“Sepertinya kita tidak sendirian di sini,” Nur berbisik, saat mendengar suara berdesir dari dalam kegelapan.
Mereka saling menatap, kemudian Nur mengangkat kamera, bersiap merekam apa pun yang akan terjadi. Dan saat itu, dari kegelapan, sebuah bayangan besar melangkah keluar. Makhluk itu, berbulu gelap dengan mata merah menyala, mendekat dengan gerakan lambat.
“Penjaga Kegelapan,” Pujo bergumam, suaranya hampir tak terdengar.
“Siapa yang berani mengganggu ketenangan kami?” suara berat makhluk itu menggema, membuat dinding gua bergetar. “Kalian bukanlah orang yang seharusnya berada di sini.”
“Kami tidak berniat mengganggu,” Nur menjawab dengan berani, meskipun hatinya berdebar kencang. “Kami mencari kebenaran tentang tempat ini.”
“Banyak yang telah berusaha mencari kebenaran, tetapi hanya sedikit yang berhasil hidup untuk menceritakannya,” makhluk itu berkata, matanya menyorot Nur dan teman-temannya dengan tajam.
“Lalu, kenapa kami tidak bisa mencari tahu? Apa yang kau sembunyikan?” Tri menantang, berusaha menunjukkan keberanian meski jantungnya berdebar.
“Yang kau cari adalah kegelapan itu sendiri,” makhluk itu menyeringai, giginya tajam berkilau dalam cahaya redup. “Dan kegelapan tidak akan menunjukkan dirinya kepada mereka yang lemah.”
Ustad Eddy melangkah maju, suaranya tenang. “Kami bukan orang-orang lemah. Kami datang dengan tujuan, dan kami akan menghadapinya.”
Makhluk itu tampak terkejut, kemudian tertawa. “Keberanianmu adalah kelemahanmu. Kegelapan akan mengubahmu, mengujimu hingga kau tak berdaya.”
Nur merasa mual mendengar ancaman itu. “Kami tidak takut pada kegelapan. Kami tahu ada sesuatu yang lebih besar dari ini. Kami akan mencari kebenaran, tidak peduli apa pun yang terjadi!”
“Jadi, kalian memilih untuk melawan?” tanya makhluk itu, suara menakutkan dan penuh tantangan.
“Ya!” jawab Nur tegas. “Kami tidak akan mundur!”
Makhluk itu melangkah lebih dekat, dan gelombang energi mulai bergetar di udara. “Baiklah. Mari kita lihat seberapa jauh keberanianmu dapat membawamu.”
Dengan cepat, Nur mengangkat kamera, merekam saat makhluk itu mulai mengeluarkan energi gelap dari tubuhnya. Suara menggelegar terdengar, dan bayangan mulai berputar di sekitar mereka.
“Bersiaplah!” teriak Tri, mengangkat tangan untuk melindungi wajahnya dari debu dan kotoran yang beterbangan.
Makhluk itu mengangkat tangannya, dan energi gelap itu menyebar ke seluruh ruangan, menciptakan kegelapan yang hampir mematikan. Nur merasakan ketakutan melanda, tetapi dia juga merasakan sesuatu yang lebih—kekuatan dalam diri yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
“Bersatu!” Ustad Eddy berteriak. “Doa kita adalah perlindungan kita!”
Mereka merangkul satu sama lain, merasakan energi di antara mereka. Nur memejamkan mata, membiarkan kekuatan positif mengalir ke dalam dirinya. Dalam hitungan detik, cahaya lembut mulai memancar dari tangan mereka, melawan gelap yang menyelimuti.
“Lakukan! Kita bisa melawan ini!” Pujo berteriak, semangat membara di dalam dirinya.
Dengan kekuatan yang menyatu, mereka melepaskan cahaya, mengusir bayangan yang mendekat. Namun, makhluk itu semakin marah, matanya bersinar merah menyala. “Kau pikir ini akan mengalahkanku?” teriaknya, lalu meluncurkan energi gelap yang lebih kuat.
Cahaya dari Nur dan teman-temannya mulai meredup, terdesak oleh kekuatan makhluk. “Tidak! Kita tidak boleh menyerah!” Nur berteriak, berusaha menguatkan diri.
Mereka berusaha memperkuat cahaya, tetapi semakin mereka berjuang, semakin terasa beratnya. “Kita perlu menemukan cara lain!” Tri berteriak. “Ada sesuatu yang lebih dari sekadar cahaya ini!”
Nur berpikir cepat, mencari tahu apa yang bisa mereka lakukan. Di dalam benaknya, simbol-simbol yang mereka lihat sebelumnya berkilau, seolah memberi petunjuk. “Mungkin… mungkin simbol itu bisa membantu kita!” kata Nur, mengingat betapa simbol-simbol itu mengandung kekuatan.
“Bagaimana kita bisa menggunakan simbol itu?” Pujo bertanya, napasnya tersengal-sengal.
“Mungkin kita bisa menggambar simbol itu di tanah, atau bahkan di dinding!” Nur menyarankan, cepat-cepat meraih sisa-sisa arang dari peralatan mereka.
“Mari kita coba!” Ustad Eddy mengangguk, mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
Dengan cepat, mereka mulai menggambar simbol-simbol di dinding gua. Setiap simbol menggambarkan keberanian, harapan, dan kekuatan. Saat mereka melakukannya, cahaya dari setiap simbol bersinar lebih terang, mengusir kegelapan yang mengancam.
“Ya, itu berhasil!” Tri bersorak. “Kita bisa melawan!”
Makhluk itu merasakan kekuatan baru yang muncul dari cahaya simbol. “Tidak! Ini tidak mungkin!” teriaknya, berusaha menahan gelombang energi yang mendekat.
Dengan semangat baru, mereka bersatu, menggambar simbol-simbol dengan lebih cepat, setiap goresan menambah kekuatan cahaya mereka.
“Ini adalah kebenaran yang kau sembunyikan!” Nur meneriakkan, penuh keyakinan. “Kami akan menemukan jalan keluar dari kegelapan ini!”
Saat mereka menyelesaikan gambar simbol terakhir, cahaya dari simbol-simbol itu membentuk jalinan energi yang tak terputus. Kekuatan itu mulai mengalir melalui tubuh mereka, dan mereka merasa seolah tak terpisahkan dari satu sama lain.
“Mari kita bersatu dan hancurkan kegelapan!” Ustad Eddy berteriak, dan mereka semua mengangkat tangan ke udara, menyalurkan energi yang mengalir di antara mereka.
Cahaya yang luar biasa muncul, membanjiri ruangan, melawan gelap yang mendekat. Makhluk itu berteriak, terjebak dalam cengkeraman cahaya yang menyilaukan.
“Tidak! Kalian tidak bisa melakukan ini!” makhluk itu berteriak, saat cahaya semakin kuat.
“Ini adalah kebenaran! Kekuatan kami bersatu akan selalu menang!” Nur berteriak, suaranya penuh semangat.
Dan dengan satu ledakan cahaya, kegelapan itu hancur berkeping-keping. Nur dan teman-temannya terjatuh ke tanah, kelelahan tetapi penuh dengan rasa syukur. Mereka telah berhasil melawan kegelapan yang mengancam.
“Apakah kita berhasil?” Pujo bertanya, napasnya berat.
“Mungkin kita belum selesai. Kegelapan bisa kembali,” Tri menjawab, mencoba berdiri.
“Tapi kita telah menunjukkan bahwa kita bisa melawan,” Ustad Eddy menambahkan, membantu mereka bangkit. “Kita harus terus maju.”
Dengan hati-hati, mereka bangkit, mengamati
gua yang kini terlihat lebih terang. Mereka tahu perjalanan ini belum berakhir, tetapi mereka memiliki satu sama lain dan kekuatan yang telah terbentuk di antara mereka.
“Kita harus melanjutkan pencarian kita,” Nur berkata dengan tekad. “Kita tidak bisa berhenti di sini. Kita harus mencari tahu apa lagi yang tersembunyi di tempat ini.”
“Ya, kita harus lebih berhati-hati,” Pujo setuju. “Ada lebih banyak rahasia yang perlu kita ungkap.”
Mereka melanjutkan perjalanan, mengarahkan langkah ke dalam gua yang masih misterius, tetapi kali ini, mereka merasa lebih siap untuk menghadapi tantangan yang akan datang. Dengan kekuatan persahabatan dan tekad untuk mencari kebenaran, mereka melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan yang misterius, siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depan mereka.
Selama perjalanan, Nur terus berpikir tentang makhluk itu dan apa yang mungkin disembunyikannya. Apakah kegelapan hanya sekadar makhluk yang menakutkan, atau ada kekuatan yang lebih dalam yang mempengaruhi semuanya? Pertanyaan-pertanyaan itu bergema di dalam pikirannya, memberi semangat baru untuk terus mencari jawaban di balik misteri yang mengelilingi tempat itu.
Ketika mereka mencapai ujung gua, sebuah pintu besar terbuat dari batu menjulang di depan mereka. Simbol-simbol yang sama seperti yang mereka gambar sebelumnya terukir di permukaan pintu. Nur dan teman-temannya saling bertukar tatapan, merasakan ketegangan yang membara.
“Ini mungkin jalan keluar,” Tri berbisik, tangannya bergetar saat dia menyentuh pintu.
“Jadi, kita harus membukanya?” Pujo menambahkan, suaranya menunjukkan keraguan.
“Kita tidak bisa mundur sekarang,” Nur menjawab, berusaha menenangkan mereka. “Kita telah sampai sejauh ini. Kita harus mencari tahu apa yang ada di balik pintu ini.”
Dengan tekad bulat, mereka bersiap untuk mendorong pintu itu. Saat mereka mengumpulkan kekuatan untuk membuka pintu, Nur merasakan detak jantungnya semakin cepat.
“Bersiaplah!” dia berkata, dan dengan satu dorongan, mereka membuka pintu itu.
Pemandangan di balik pintu membuat mereka tertegun. Sebuah ruangan besar terbuka di depan mereka, dikelilingi oleh cahaya yang memancar dari permukaan dinding. Di tengah ruangan, ada altar besar dengan sebuah batu berbentuk bulat yang berkilauan.
“Itu… Apa itu?” Pujo bertanya, tatapannya terfokus pada batu itu.
“Sepertinya itu adalah pusat kekuatan tempat ini,” Ustad Eddy menambahkan, mendekat ke altar.
Nur merasa ada sesuatu yang menariknya untuk mendekat. “Kita harus memeriksanya,” katanya, melangkah maju dengan hati-hati.
Saat mereka mendekat, sebuah suara lembut terdengar dari dalam batu. “Selamat datang, pencari kebenaran,” suara itu berbicara, seolah mengisi ruangan. “Kau telah berhasil melewati ujian dan menemukan jalan ke sini.”
“Siapa kamu?” Nur bertanya, penuh rasa ingin tahu.
“Aku adalah penjaga dari kekuatan ini. Dan kau telah menunjukkan keberanian dan tekad yang diperlukan untuk mengetahui kebenaran,” suara itu menjawab.
“Kebenaran tentang apa?” Tri bertanya, suara penuh harap.
“Tentang tempat ini dan kekuatan yang mengalir di dalamnya. Kekuatan yang bisa menghancurkan atau menyelamatkan dunia,” suara itu menjelaskan. “Kau harus memilih dengan bijak.”
Nur dan teman-temannya saling berpandangan, kesadaran akan tanggung jawab yang besar mulai menyadari mereka. Ini adalah titik balik dalam pencarian mereka—sebuah pilihan yang akan menentukan nasib mereka dan mungkin banyak orang lain.
“Jika kita menerima kekuatan ini, apa yang harus kita lakukan?” Ustad Eddy bertanya, suara tenang tetapi penuh keseriusan.
“Kau harus berjuang untuk kebaikan. Kekuatan ini bukan untuk disalahgunakan,” suara itu memperingatkan. “Kau harus menjaga keseimbangan antara kegelapan dan cahaya.”
“Maka kami akan melakukannya,” Nur menjawab, suaranya mantap. “Kami tidak akan menyalahgunakan kekuatan ini. Kami akan berjuang untuk kebaikan.”
“Kau telah menunjukkan keberanian yang luar biasa,” suara itu menjawab, lalu cahaya dari batu itu bersinar lebih terang, mengalir ke arah mereka. “Terima kekuatan ini dan jadilah pelindung kebenaran.”
Mereka merasakan energi mengalir melalui tubuh mereka, memberi mereka kekuatan baru. Ketika cahaya mereda, mereka mendapati diri mereka berdiri lebih kuat, lebih berani, dan lebih terhubung dari sebelumnya.
“Sekarang, perjalananmu belum berakhir,” suara itu berkata. “Kau masih harus menghadapi tantangan yang lebih besar. Jangan pernah kehilangan harapan, dan ingatlah, kebenaran selalu ada di sisimu.”
Dengan itu, suara itu menghilang, meninggalkan Nur dan teman-temannya dalam keheningan. Mereka saling berpandangan, menyadari bahwa mereka telah diubah selamanya.
“Sekarang kita memiliki kekuatan,” Pujo berkata, suaranya penuh semangat. “Kita bisa melakukan hal-hal hebat!”
“Tapi kita harus bijaksana,” Nur menekankan. “Kekuatan ini bukanlah segalanya. Kita harus menggunakannya untuk melindungi mereka yang tidak bisa melindungi diri mereka sendiri.”
“Setuju,” Ustad Eddy menambahkan, senyumnya muncul. “Mari kita berjuang bersama dan gunakan kekuatan ini untuk kebaikan.”
Dengan semangat baru dan tujuan yang jelas, mereka bersiap untuk meninggalkan gua dan menghadapi dunia luar yang penuh tantangan. Mereka tahu bahwa mereka telah mengubah nasib mereka dan banyak orang lainnya. Dengan keberanian dan keyakinan di hati mereka, mereka melangkah ke luar, siap untuk menghadapi apa pun yang datang.
Perjalanan ini baru saja dimulai, tetapi Nur merasa yakin bahwa bersama-sama, mereka bisa mengatasi segala rintangan yang menghadang. Mereka adalah pencari kebenaran, pelindung kegelapan, dan pahlawan dalam kisah yang belum berakhir.