Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengumuman Cerita Baru
Ramaikan Yuk?
Aku membuat sebuah karya menarik di NovelToon, mohon dukungannya ya!
https://noveltoon.mobi/id/share/4357709
Bab 1
“Pertama, kamu dilarang jatuh cinta dengan suamiku. Yang kedua, kamu harus memberikan anak pada kami berdua dari rahimmu. Dan, yang ketiga, kamu tidak berhak atas anak itu nanti. Paham?”
Mendengar ucapan sinis wanita di depannya, Asyifa pun mengangguk. “I—iya, Mbak. Saya paham.”
“Bagus! Kalau kamu sudah paham, kamu bisa baca surat perjanjian kerja ini. Kontrak kerja kamu lebih tepatnya!”
Tanpa basa-basi, sebuah map diberikan pada Asyifa yang langsung membacanya dengan teliti.
Dia tidak mau nantinya kalau sudah menjalankan tugasnya, ada hal yang nantinya akan merugikan dirinya.
Hanya saja, hatinya ternyata tetap pedih saat kontrak itu menyatakan bahwa Riska tidak memiliki hak apapun atas anaknya nanti. Namun, Riska tak punya pilihan.
Tabungan dan pesangonnya sudah habis dan dia sudah di PHK sejak dua tahun lalu dari pabrik tempatnya bekerja. Padahal, dia memang membutuhkan biaya untuk sekolah kedua adiknya, yang sebentar lagi akan masuk SMA dan SMP.
Tak lama, Asyifa pun membubuhkan tanda tangan di sana.
Melihat itu, Naura melipat tangannya angkuh. “Baik, Ini uang DP dariku. Nanti malam, kamu siap-siap untuk dijemput orang, dan kamu harus meninggalkan dua adikmu.”
“Tidak masalah, kan? Toh, adik-adikmu itu harus mandiri,” ucap wanita itu lagi, meremehkan.
Tangan Asyifa mengepal. Namun, dia hanya bisa mengangguk. “Iya, Mbak. Saya sudah menjelaskan semuanya pada adik saya, kalau saya akan bekerja dengan Mbak sebagai Asisten Rumah Tangga. Saya tidak memberitahukan yang sebenarnya, supaya adik saya bisa belajar dengan tenang kalau saya tidak di rumah.”
“Ya sudah, kamu pergi cari baju yang lumayan bagus untuk nanti malam menemui suamiku,” ucap Asyifa
Setelah selesai dengan tujuannya, Naura pun pulang–meninggalkan Asyifa yang meremang.
Baru kali ini, ia melihat wanita yang terang-terangan mencarikan madu untuk melahirkan anak dari suaminya, hanya karena dia tidak ingin tubuhnya kendur.
Namun, itu bukanlah tempatnya untuk menilai. Bukankah dirinya kini lebih menjijikan?
Asyifa menghela napas panjang. “Tidak apa-apa. Ini untuk adik-adikmu,” lirihnya menahan pedih pada diri sendiri.
Di sisi lain, Adrian yang baru pulang dari kantor, tampak terkejut.
Entah ada setan apa yang merasuki Naura malam ini. Wanita itu tampak menyambutnya dengan mesra.
Padahal biasanya saat Adrian pulang, Naura belum ada di rumah.
Entah karena nongkrong di Cafe atau nge-mall dan bikin konten supaya semua orang tahu kalau dirinya hidup bahagia, bebas, dan banyak harta.
Apalagi, setelah perdebatan mereka beberapa waktu lalu saat Naura dengan gilanya meminta Aldi untuk menikah lagi karena meminta keturunan, keduanya makin terasa dingin.
“Kamu tumben sudah di rumah? Tidak keluyuran sama geng kamu itu?” tanya Adrian akhirnya sembari berjalan ke kamarnya.
“Cuma pengen menyambut suamiku, apa tidak boleh?” jawab wanita itu cepat.
“Benarkah?”
Setelah menikah, Naura bahkan tidak pernah masak untuknya. Wanita itu bahkan ke dapur hanya untuk ambil minum dan makan saja! Tapi, Adrian tak pernah mempermasalahkan karena dia memang mencintai Marta.
Kini, Naura tampak gelagapan. “I—iya, ya sudah buruan bersihkan badanmu, lalu makan malam bersama, aku sudah masak, aku tunggu di ruang makan.”
Aldi menghela napas.
Tanpa basa-basi, di pun segera membersihkan diri dan setelah selesai dia langsung menuju ruang makan.
Hanya saja, Adrian kembali terkejut saat menemukan sosok perempuan asing yang tampak sederhana dan anggun di sana bersama Naura
Meski demikian, pakaiannya terkesan pasaran dan seperti seorang ART yang biasa bekerja di rumahnya.
Tapi, bukankah pembantu mereka harusnya pulang setiap sore?
“Hai, Mas? Sini makan dulu,” sapa Naura, membuyarkan lamunan Adrian
“Dia siapa, Ra?” tanya Adrian tampak tak suka, “Apa dia pembantu baru kita?”
Perempuan yang Adrian kira pembantu hanya menunduk, sementara Naura tampak tersenyum. “Bukan, dia bukan pembantu. Dia calon istrimu, Mas. Namanya Asyifa,” jawabnya cepat.
“Maksudmu?”
“Kita semalam sudah bicara, bukan, Mas? Kamu minta anak, kan? Jadi, aku carikan calon istri yang bisa memberikanmu anak. Karena itu, jangan minta padaku lagi!” jawab Naura.
“Yang benar saja, Ra! Pikiran kamu di mana sih?” geram Adrian.
Asyifa terdiam. Mendadak, dia ragu dengan pekerjaan yang harus ia jalani nantinya sebagai seorang madu.
Hanya saja, wanita sosialita di sampingnya justru tampak yakin. “Aku serius, Mas. Lusa, kalian menikah siri!”
Rahang Adrian mengeras, tercetak jelas guratan kemarahan di wajahnya. “Kamu sebenarnya mikir gak sih, Ra?” marahnya, “aku memang mau anak, tapi dari kamu dan bukan yang lain!”
“Mas, kan aku sudah bilang dari awal kalau aku tidak mau hamil. Tapi, Mas terus maksa. Ya udah, ini jalan satu-satunya kalau Mas mau memiliki anak!” ucap Naura, “nikahi Asyifa!”
“Oh iya, aku sudah mengurus pernikahan kalian. Kalian menikah dengan siri, lusa pernikahan kalian!”
“Gak bisa, Ra! Aku gak mau!” ucap Adrian nyalang.
“Konsekuensinya, kamu gak bisa memiliki keturunan selamanya. Ingat Mas, ibumu sudah mendesak kamu untuk memiliki anak, dan aku tidak bisa!” tegas Naura.
Brak!
Adrian memukul meja, sampai Riska terjingkat.
“Benar-benar gila kamu, Ra!”
Tanpa kata, Adrian lalu masuk ke dalam kamarnya.
Meski kemarahan pria itu bukan padanya, tapi tetap saja Asyifa takut.
Rasanya, dia ingin kabur dari sana. Sayangnya, Naura sudah membayar penuh uang perjanjian yang sudah digunakannya untuk kedua adiknya.
Seolah tahu pikirannya, Naura tiba-tiba menatapnya tajam. “Kamu masuk kamar saja, Asyifa. Tenang saja, kamu tetap akan menjadi istri kedua Mas Adrian!”