Novel ini adalah sekuel dari Novel pertama ku yang berjudul Suami Penyembuh Luka.
Dimas yang akhirnya merelakan wanita yang sangat di cintainya menerima tawaran Ibunya untuk menikah lagi dengan wanita yang sudah di pilihkan untuknya.
Adalah Kasih Permata, seorang gadis yang ceria yang sedikit centil. Kasih yang awalnya menolak pun akhirnya menerima tawaran untuk menikah dengan laki-laki yang sejak awal sudah menyatakan tidak akan pernah memberikan dirinya pada Kasih.
Mampukah Kasih membalut luka yang masih basah di hati Dimas. bagaimana Kasih melindungi keluarga kecilnya saat keluarga mantan Istri Dimas ingin membalas dendam pada Dimas.
Bagaimana juga jika mantan istri Dimas kembali datang dan mengusik rumah tangganya?
Apakah ketulusan Kasih bisa menggerakkan hati Dimas dan membuka hatinya menerima kehadiran Kasih...?
Happy reading ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yunis WM, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Sepanjang perjalanan pulang Dimas terus menampakkan wajah dingin dan datarnya. Masih segar dalam ingatannya bagaimana dia dan kekasihnya harus terpisah karena keegoisan seorang Monika. Dan yang lebih parah, orang tuanya malah mendukung anaknya melakukan semua apa yang dia inginkan.
Harlan melirik melalui kaca spion, dia melihat tatapan Dimas di penuhi amarah dan kebencian. Mungkin kebenciannya pada Monika dan orang tuanya tidak akan pernah Dimas lupakan seumur hidupnya.
“Kita kemana, Pak?” tanya Harlan. Hari minggu biasanya hanya Dimas habiskan di dalam ruang kerjanya.
“Pulang saja,” jawab Dimas.
Sampai di rumah, Dimas sudah melihat mobil Kasih. Dia masuk ke dalam rumah, lama Dimas berdiri di depan pintu melihat ke dalam rumah yang sepi dan sunyi.
Apa yang sebenarnya membuatnya masih begitu kokoh melanjutkan hidupnya? Aurel? Dia sangat menyayangi gadis itu, sangat. Tapi kehadiran gadis itu nyatanya belum bisa menghapus semua luka dan dendam di dalam hatinya.
Masa remaja yang begitu bahagia, masa depan yang sudah di rangkai dengan sangat sempurna bersama wanita impiannya harus kandas dan hancur begitu saja. Mungkin bukan lagi cinta yang kandas yang membuatnya seperti itu, mungkin kekecewaan pada dirinya sendirilah yang membuatnya menjalani hidup dengan menutup mata dan hatinya untuk melihat dan menerima kalau hidup tidak hanya sekedar di masa lalu.
“Pak Dimas?” Bik Nurmi menyapanya yang masih berdiri memegang gagang pintu.
“Apa anda butuh sesuatu?” tanya Bik Nurmi.
“Tidak ada.” Dimas lalu melangkahkan kakinya masih ke dalam rumah. Bik Nurmi pun yang sudah hapal dengan sikap Dimas hanya mengendikkan bahunya dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Di dalam kamar Dimas melihat Kasih tidur dengan damai di atas tempat tidur besar miliknya. Dia memandangi gadis itu cukup lama. Entah apa yang ada di dalam pikirannya hingga dia mendekat dan duduk di sampingnya.
“Seandainya aku tidak menghadiri pesta itu, seandainya aku lebih bisa menguasai diriku saat itu, mungkin sekarang aku sudah melihatmu tertidur di atas tempat tidur ini.”
Dimas menghela nafas penuh sesal, dia lalu berdiri dan menghilang di ruang ganti.
Saat mendengar suara pintu tertutup, Kasih membuka matanya. Dia mendengar dengan jelas apa yang Dimas ucapkan tadi.
“Bagaimana caranya membuatnya melupakan wanita itu dan masa lalunya? Bagaimana caranya menyadarkannya kalau masih banyak keindahan di dunia ini yang bisa di nikmati dari pada terus menyesali masa lalu.” Kasih pun menghela nafas dan bangun dari tempat tidur.
Kasih masuk ke dalam kamar Aurel, dia melihat gadis itu masih tertidur. Mungkin karena kelelahan setelah latihan bersama Ayahnya tadi di rumah orang tuannya. Kasih menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur di samping Aurel. Matanya menerawang ke atas langit-langit kamar mengingat yang Dimas katakan di sampingnya tadi.
“Mau sampai kapan sih hidup dengan masa lalu.” Kasih kembali menghela nafas sangat berat. Sepertinya ucapan Dimas menjadi beban yang berat untuknya.
Sementara Dimas keluar ruang ganti dan sudah tidak mendapati Kasih di atas tempat tidur. Dimas berpikir apa mungkin Kasih mendengar apa yang tadi dia katakan. Tapi Dimas sepertinya tidak perduli jika istrinya itu mendengar yang tadi dia katakan.
Dimas lalu membaringkan tubuhnya yang lelah di atas sofa. Semenjak Kasih tidur di tempat tidurnya, Dimas tidak pernah lagi menyentuh tempat tidur itu meskipun Kasih lebih sering tidur bersama Aurel.
Pagi harinya setelah sarapan, Aurel pamit pada Papanya untuk berangkat sekolah. Meski belum melupakan kejadian tempo hari, tapi melihat Kasih yang selalu menjaganya membuatnya sedikit lebih berani.
“Ingat sayang, jangan pernah bicara dengan orang asing. Jika ada yang ingin membawamu pergi kau harus berteriak keras agar orang-orang datang menolongmu,” pesan Dimas kepada putrinya.
“Apa aku juga tidak boleh bicara dengan oma?”
“Tidak, tidak boleh.” Dimas berdiri dia sekarang sudah berada di depan Kasih.
“Ingat, aku tidak mau Aurel bicara dengan siapapun. Kau tidak boleh meninggalkannya!” perintah Dimas pada istrinya.
Kasih meliriknya, dia tidak menjawab perkataan Dimas. Dia menarik tangan Aurel dan membawa anak itu.
“Bu, kami pergi.” Pamitnya pada Muli.
“Kau tidak dengar apa yang aku katakan?” suara Dimas agak meninggi melihat Kasih mengacuhkannya. Kasih mengepalkan tangannya. Bahkan orang tuanya yang membesarkannya tidak pernah meneriakinya.
"Tante, aku sudah terlambat." Aurel merasa dia harus segera membawa Kasih pergi sebelum terjadi pertengkaran.
Kasih menarik nafas, menetralkan emosi yang hampir naik ke ubun-ubunnya.
“Ayok.” Aurel berbalik melihat Dimas yang menatap punggung Kasih dengan kesal.
Saat Kasih dan Aurel sudah melewati pintu, Muli yang menyaksikan semua itu di pagi hari mendekati Dimas. Dia mengelus punggung anaknya.
“Ibu tahu kau sangat menyayangi Aurel, tapi kau juga tidak boleh bicara seperti itu pada Kasih. Dia itu istrimu bukan pengasuh anakmu,” ujar Muli memperingatkan Dimas.
“Jangan sampai sikapmu yang kasar dan dingin membuatnya pergi, Dimas. Kau akan menyesal untuk yang kedua kalinya jika sampai kau membuat Kasih meninggalkan mu. Kau lihat Aurel. Dia sudah mulai membuka dirinya, dia sudah bisa sedikit tersenyum dan juga sepertinya dia menyayangi Kasih. Jangan sampai kau menyesal.” Muli pergi meninggalkan Dimas yang masih marah dan kesal pada Kasih.
Dimas pun sama sekali tidak memperdulikan apa yang Muli katakan padanya. Tidak ada yang penting dari Kasih, dia tidak pernah menganggapnya sebagai seorang istri. Baginya Kasih hanya teman untuk Aurel, tidak lebih. Dia pun lalu peri saat Harlan sudah menjemputnya.
Di mobil, Aurel melihat amarah di wajah Kasih yang belum juga reda. Dia menghela nafas, suara helaan nafasnya terdengar oleh Kasih. Kasih lalu menyadari bawah sejak tadi dia tidak memperdulikan Aurel yang berada di sampingnya.
“Sayang, maafkan tante yah. Tante lagi kesal banget sama papa kamu.” Ujar Kasih akhirnya bicara pada Aurel.
“Apa Tante akan pergi?” Kasih menoleh pada Aurel sambil memicingkan matanya.
“Pergi kemana?” tanya Kasih.
“Meninggalkan Papa?” Aurel merasa Kasih akan menyerah menghadapi Papanya dingin dan mulai kasar.
“Kenapa? Kamu takut kehilangan Tante?” goda Kasih. Tanpa dia sadari Aurel mengangguk membuat Kasih terkejut. Dia lalu meminggirkan mobilnya.
“Betulan kamu takut kehilangan Tante?” tanya Kasih ingin memperjelas pada Aurel.
“Tante, aku sudah terlambat. Sudah hampir jam tujuh. Aku tidak mau di hukum hanya karena pertanyaan tidak penting Tante.”
Kasih tersenyum bahagia, dia memeluk Aurel lalu kembali melajukan mobilnya. Tidak di sangka akhirnya dia bisa membuat bongkahan es di dalam hati Aurel akhirnya mencari sedikit demi sedikit. Padahal Kasih hanya melakukan tugasnya sebagai seorang Ibu dengan sepenuh hati, tapi ternyata hal itu sudah cukup mengetuk pintu hatinya.
Sejenak Kasih melupakan kekesalannya pada Dimas, amarah yang tadi sempat membuncah dan ingin dia keluarkan perlahan mereda. Perasaannya membaik mengetahui anak sambungnya sudah membuka hati dan menerima kehadirannya. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya tetap tinggal sementara ini.