Permainan Tak Terlihat adalah kisah penuh misteri, ketegangan, dan pengkhianatan, yang mengajak pembaca untuk mempertanyakan siapa yang benar-benar mengendalikan nasib kita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faila Shofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jejak yang tersisa
Setelah berlari sejauh mungkin dan menyembunyikan diri di tempat yang aman, Diana dan Adrian duduk terengah-engah di sebuah taman kecil yang terpencil di luar kota. Malam itu, langit gelap tanpa bintang, hanya ada suara angin malam yang berdesir lembut. Mereka tidak berbicara selama beberapa menit, masing-masing terperangkap dalam pikiran mereka sendiri, mencoba mengerti apa yang baru saja terjadi.
"Jadi, itu dia..." Adrian akhirnya bersuara dengan nada lelah. "Max... benar-benar pengkhianat."
Diana hanya mengangguk, matanya menatap kosong ke arah jalan sepi. "Aku tidak pernah berpikir dia akan terlibat. Selama ini aku... aku menganggapnya teman." Suaranya bergetar sedikit, mencerminkan rasa kecewa yang mendalam.
Adrian menatapnya, memberi isyarat agar Diana melihatnya. "Kita harus lanjutkan. Apa pun yang terjadi, kita nggak bisa mundur sekarang. Ini bukan cuma soal kita, tapi juga soal orang-orang yang mungkin jadi korban dari rencana mereka."
Diana menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu, Adrian. Tapi... apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita nggak punya bukti yang cukup, dan mereka tahu kalau kita tahu terlalu banyak."
"Jangan khawatir," jawab Adrian, "kita akan menemukan cara. Kita hanya butuh waktu dan... lebih banyak informasi. Mungkin ada orang lain yang tahu lebih banyak tentang mereka."
Pikirannya segera beralih ke Nanda. Apakah Nanda masih aman? Apakah mereka bisa mempercayainya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, karena jika kelompok itu benar-benar mengincar mereka, Nanda mungkin juga sudah dalam bahaya.
Diana menarik napas dalam-dalam, memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. "Kita harus pergi ke rumah Nanda. Aku merasa dia bisa membantu kita. Kita butuh rencana yang lebih matang."
Adrian mengangguk setuju. "Mari kita lakukan itu."
Mereka segera bangkit dari tempat duduk mereka dan melangkah dengan cepat menuju rumah Nanda. Selama perjalanan, mereka tetap waspada, takut jika ada seseorang yang mengawasi mereka. Namun, jalan menuju rumah Nanda relatif sepi, dan mereka akhirnya tiba tanpa ada gangguan.
Sesampainya di rumah Nanda, Diana dan Adrian mengetuk pintu dengan cemas. Beberapa detik kemudian, Nanda membuka pintu dengan wajah khawatir. "Ada apa? Kenapa kalian terlambat? Kalian terlihat buru-buru."
"Kami... ada hal yang harus dibicarakan," kata Diana dengan nada serius, dan tanpa banyak bicara, mereka segera masuk ke dalam rumah. "Kita dalam bahaya, Nanda."
Nanda menutup pintu dan mengangguk, ekspresinya kini lebih serius daripada sebelumnya. "Aku sudah tahu. Max—dia bagian dari mereka, kan?"
Diana dan Adrian saling pandang. "Kamu tahu?" tanya Adrian dengan terkejut.
Nanda menarik napas panjang. "Aku sudah menduga ada sesuatu yang aneh dengan Max. Dia bukan orang yang dia klaim. Aku coba cari informasi, tapi aku takut kalau itu akan membuat semuanya semakin buruk. Aku tidak bisa benar-benar percaya siapa pun sekarang."
Diana mengerti kekhawatiran Nanda. Mereka semua sekarang berada dalam posisi yang berbahaya. "Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanyanya dengan cemas. "Kita tidak bisa biarkan mereka menang."
Nanda menyeringai, meski ada kecemasan di matanya. "Kita harus menggali lebih dalam. Jika kita bisa mendapatkan lebih banyak bukti, kita bisa menghentikan mereka. Tapi kita harus lebih hati-hati sekarang. Mereka sudah tahu kita tahu tentang rencana mereka."
"Bagaimana dengan polisi?" tanya Adrian, masih berharap ada cara untuk membawa masalah ini ke pihak yang berwajib.
"Polisi tidak akan bisa menangani ini," jawab Nanda tegas. "Kelompok ini punya koneksi yang sangat kuat. Kalau kita laporkan ke polisi, mereka akan tahu dan bisa membuat kita semakin terperangkap."
Diana merasa semakin frustrasi. "Lalu apa yang bisa kita lakukan? Kita butuh rencana yang lebih jelas. Kalau tidak, kita akan terjebak."
Nanda menyandarkan tubuhnya di kursi, berfikir keras. "Kita harus menemukan bukti-bukti mereka. Kalian ingat file yang kalian temukan di ruang data?" Diana dan Adrian mengangguk. "Itu adalah langkah pertama. Tapi kita butuh lebih banyak informasi tentang orang-orang di balik kelompok itu. Aku akan mencoba menyelidiki lebih jauh. Kalian harus terus mencari cara untuk mendapatkan lebih banyak data."
"Tapi bagaimana kalau mereka menemukan kita dulu?" tanya Diana, khawatir.
Nanda tersenyum tipis. "Jangan khawatir. Aku punya beberapa kontak yang bisa membantu kita. Tapi kita harus bergerak cepat. Setiap langkah yang kita ambil akan sangat berisiko."
Mereka bertiga memutuskan untuk berpisah dan melanjutkan penyelidikan masing-masing. Mereka tahu bahwa waktu semakin sempit. Setiap detik yang berlalu, semakin banyak orang yang mungkin akan terpengaruh oleh rencana gelap kelompok itu.
Malam itu, Diana merasa lebih berat dari biasanya. Rencana besar yang mereka hadapi jauh lebih berbahaya daripada yang mereka bayangkan. Mereka harus bergerak lebih hati-hati, lebih cerdik, dan tidak boleh lengah.
Diana berdiri di balkon kamar tidurnya, menatap malam yang sunyi. Dia tahu satu hal pasti—perjuangannya baru saja dimulai. Dan kali ini, tidak ada jalan mundur.
Hari-hari setelah pertemuan di rumah Nanda terasa semakin tegang. Diana dan Adrian berusaha untuk tetap tenang, namun mereka tahu bahwa setiap langkah mereka kini diawasi. Setiap keputusan yang mereka buat bisa berakhir fatal. Mereka tidak bisa lagi menjalani kehidupan normal seperti sebelumnya. Kebenaran yang mereka temukan membawa mereka ke dalam dunia yang jauh lebih gelap dari yang mereka bayangkan.
Pada suatu pagi, Diana dan Adrian duduk di taman sekolah, mencoba merencanakan langkah berikutnya. Mereka sudah memutuskan untuk melibatkan Nanda lebih jauh, namun mereka tahu bahwa mereka juga harus berhati-hati. Segala sesuatu yang mereka lakukan harus dilakukan dengan sangat hati-hati, atau rahasia ini akan terbongkar lebih cepat dari yang mereka inginkan.
"Tapi Nanda... dia bisa bantu kita, kan?" tanya Diana dengan suara pelan, memastikan tak ada yang mendengarnya.
Adrian mengangguk pelan, meskipun wajahnya tampak tegang. "Ya, aku rasa Nanda punya lebih banyak informasi dari yang dia beri tahu kita. Tapi kita juga nggak bisa terlalu mengandalkan dia. Mereka pasti akan mulai mencurigai dia juga."
Diana menghela napas panjang. Mereka sudah berusaha keras untuk mengumpulkan bukti, tetapi mereka belum menemukan informasi yang cukup untuk mengungkapkan semuanya. Mereka tahu ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar Max, dan mereka harus memecahkan teka-teki ini.
"Tapi kalau kita hanya menunggu bukti, kita nggak akan maju," kata Diana. "Kita harus bergerak lebih cepat. Aku rasa ada sesuatu di dalam sekolah ini yang bisa memberi kita petunjuk."
Adrian memandangnya dengan ragu. "Apa maksudmu?"
"Sejak awal, ada banyak hal aneh yang terjadi di sini, kan? Orang-orang yang menghilang, kejadian-kejadian aneh di malam hari. Aku yakin semuanya terhubung. Mungkin kita bisa cari jejak di sekolah ini," jawab Diana dengan penuh keyakinan.
Mereka berdua pun memutuskan untuk kembali ke sekolah setelah jam pulang. Mereka perlu menyusuri tempat-tempat yang mungkin terabaikan, seperti ruang-ruang kosong atau tempat yang jarang dikunjungi siswa lain. Mungkin, di sanalah mereka bisa menemukan sesuatu yang terlewat.
Sesampainya di sekolah, mereka segera menyelinap ke ruang bawah tanah yang terbengkalai, tempat yang jarang ada siswa yang mengunjungi. "Kita mulai dari sini," kata Diana. "Aku merasa ada sesuatu di sini."
Mereka membuka pintu besar yang berderit, memasuki ruang bawah tanah yang gelap dan berdebu. Mereka hanya menggunakan senter kecil untuk menerangi jalan mereka. Udara di dalamnya terasa pengap, seolah-olah tempat ini sudah lama tidak digunakan.
Mereka berjalan menyusuri lorong yang sempit, memeriksa setiap sudut ruangan. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang mereka, membuat Diana dan Adrian terlonjak kaget. Mereka berpaling, dan yang mereka lihat membuat hati mereka berdebar kencang—Max, berdiri di ujung lorong, dengan tatapan dingin yang tajam.
"Kalian pikir bisa melarikan diri?" suara Max terdengar begitu tenang, namun mengancam.
Diana dan Adrian saling pandang, terperangah. Tidak ada jalan mundur lagi. Mereka terperangkap.
"Ternyata kalian cukup berani untuk mencari-cari rahasia ini," lanjut Max sambil melangkah maju, matanya tetap menatap tajam. "Tapi kalian salah kalau mengira aku tidak bisa menghentikan kalian."
Diana merasakan ketegangan yang semakin meningkat. "Kenapa kamu melakukan ini, Max? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu bekerja untuk mereka?" tanyanya dengan suara gemetar, meskipun dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan kelemahannya.
Max berhenti sejenak, seolah-olah sedang mempertimbangkan jawabannya. "Aku tidak punya pilihan, Diana," jawabnya dengan suara lebih rendah. "Mereka akan menghabisi hidupku jika aku menolak. Dan kalian... kalian hanya menghalangi jalanku. Aku tidak ingin berbuat jahat, tapi ini satu-satunya cara untuk bertahan hidup."
Adrian maju, berusaha untuk tetap tenang meskipun rasa takut mulai menghantui dirinya. "Jadi, ini tentang bertahan hidup?" tanyanya. "Kamu mengorbankan teman-temanmu hanya untuk itu?"
Max tersenyum sinis. "Kadang, teman hanyalah beban. Kalian tidak mengerti, tapi kalian akan segera mengerti apa yang terjadi ketika kalian terjebak dalam permainan yang lebih besar. Aku hanya bertindak sesuai perintah."
Diana merasa marah, namun dia tahu mereka tidak bisa bertindak gegabah. "Kami tidak akan berhenti. Kami akan mengungkap semuanya, Max. Entah bagaimana, kami akan menghentikan kalian."
Max tertawa pelan, seolah menganggapnya sebagai lelucon. "Kalian bisa mencoba, tapi kalian tidak akan menang. Sekarang... aku tidak punya pilihan selain mengakhiri percakapan ini."
Dengan gerakan cepat, Max berbalik dan memberi sinyal kepada seseorang di belakangnya. Tiba-tiba, dua orang lainnya muncul dari kegelapan, membawa senjata dan siap menghalangi mereka.
Adrian menggenggam tangan Diana dengan erat. "Kita harus pergi sekarang," bisiknya. "Jangan biarkan mereka menang."
Diana mengangguk, mencoba untuk tetap tenang. Mereka mulai berlari, memanfaatkan kegelapan untuk menghindari serangan. Suara langkah kaki yang terdengar keras di belakang mereka hanya mempercepat detak jantung mereka. Namun, mereka tahu bahwa untuk bisa mengungkapkan kebenaran, mereka harus bertahan hidup lebih lama lagi.
Setibanya di pintu keluar ruang bawah tanah, Diana dan Adrian melompat keluar, berlari menuju taman belakang sekolah, dan akhirnya bersembunyi di antara pepohonan besar yang mengelilingi area tersebut. Mereka saling menatap dengan napas yang masih terengah-engah.
"Kita masih belum aman," kata Diana, "Tapi setidaknya kita berhasil melarikan diri."
Adrian mengangguk. "Kita harus lebih hati-hati. Ini hanya permulaan."
Mereka tahu, pelarian ini baru saja dimulai, dan yang terburuk masih akan datang.