Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha untuk selalu bergandengan tangan menjalani kehidupan dan berjanji untuk selalu bersama. Namun, seiring berjalannya waktu trauma yang mereka coba untuk atasi bersama itu seolah menjadi bumerang tersendiri saat mereka mulai terlibat perasaan satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourlukey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Joano baru masuk kelas ketika teman-temannya sedang asyik menggerombol di tempat duduknya, tampak membicarakan sesuatu yang menarik perhatian.
"Tumben pada ngumpul. Ada apa, nih?" Joano membuka pertanyaan sambil meletakkan tasnya di atas meja.
"Nah, ini orangnya datang.” Kata Mike.
Alfian kemudian membalas perkataan Joano. “Bella nggak ngerti jawaban nomor delapan."
"Iya, nih. Kamu tahu caranya nggak?" Bella menggeser bukunya ke arah Joano untuk menanyakan materi pelajaran yang belum dia pahami.
"Oh! Itu,”
Belum sempat Joano menyelesaikan kalimatnya, Alfian sudah menyela, "Apa gue bilang, apa pun pertanyaannya Joano adalah jawabannya. Tuan peringkat dua ini nggak pernah mengecewakan."
"Yoi. Makanya dia beruntung punya teman kayak kita." Mike menambahi.
"Kebalik oncom." Alfian meralat.
"Oh, kamu peringkat dua." Nada bicara Bella terdengar antusias mendengar fakta yang baru saja dia ketahui.
"Bukan hanya peringkat dua di kelas ini tapi juga di sekolah. Pialanya di rumah banyak, kebanggaan sekolah pokoknya. Sayangnya dia nggak ikut program akselerasi. Padahal udah disaranin sama guru-guru.” Mike berkata seolah-olah dia paling tahu segalanya tentang Joano.
Joano berdeham. "Ini kapan gue ngejelasin materinya, ya? Bentar lagi masuk, loh."
Mike dan Bella kemudian berhenti membicarakan orang yang ada di hadapan mereka kemudian beralih pada materi pelajaran yang ingin mereka kerjakan.
Sementara Joano menjelaskan bagaimana langkah-langkah menjawab soal pelajaran, Bella justru tersenyum tersipu menatap laki-laki itu. Hanya sesekali dia melirik soal pelajaran yang sedang Joano jelaskan.
"Nah, begini caranya." Joano berkata sambil menyungging sudut bibirnya. Dia lalu mengembalikan buku Bella yang sebelumnya dia corat-coret untuk mengerjakan soal.
Bella tertegun melihat senyum tipis Joano. Dia lantas menyadarkan dirinya untuk tidak terlihat gugup. "Makasih, ya." Katanya.
"Luna, nanti setelah istirahat kamu ke ruangan saya, ya. Kita bicara masalah lomba selanjutnya."
Salah seorang guru yang entah sajak kapan masuk kelas tiba-tiba berkata dengan suara nyaring. Dia meletakkan tasnya di atas meja kemudian menyuruh anak-anak membuka buku. Jam pelajaran pun dimulai.
Sepanjang guru menjelaskan materi pelajaran di depan kelas, Joano justru memperhatikan Luna dari bangkunya dengan perasaan aneh. Menurut Joano, ini pertama kalinya Luna terdengar tidak antusias mendengar kata lomba. Padahal dia biasanya adalah orang yang paling bersemangat saat membahas sesuatu yang berhubungan dengan kompetisi, sesuatu yang berhubungan dengan penghargaan, apalagi prestasi akademik. Namun Kali ini berbeda, dia terlihat tidak semangat.
"Dia yang ikut lomba?" Pertanyaan Bella membuyarkan lamunan Joano.
"Oh, iya.” Joano menjawab singkat. Pandangannya masih tertuju ke arah Luna.
"Dia itu pacar kamu, ya?"
Pertanyaan itu membuat Joano menatap Bella seketika. Tidak mengerti mengapa gadis itu tiba-tiba berpikir demikian.
"Kemarin aku lihat kamu pulang bareng dia."
"Oh itu. Iya, soalnya kami tetanggaan." Joano menjawab. Dia sebenarnya sedikit bingung mengapa orang selalu menganggap dia dan Luna punya hubungan spesial hanya karena pulang bersama. Apakah dari banyaknya kemungkinan hanya merujuk pada satu kemungkinan? Sementara ada kemungkinan lainnya. Entahlah. Terkadang prasangka orang lain memang selalu di luar dugaan.
Bella menghela napas lega. Dia kemudian menyungging senyum di sudut bibirnya.
“Kenapa?” Joano menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung dengan reaksi Bella.
"Nggak. Kayaknya seru aja kalau tetanggaan sama orang pinter, juara satu sama juara dua.” Selain cantik, tutur kata Bella juga lembut dan sopan hingga membuat siapa saja yang mendengar ikut terkesima, tidak terkecuali dengan Joano.
"Datang aja kalau mau belajar bareng.” Joano menawari. Itu membuat bola mata Bella berbinar-binar.
“Serius, nih? Boleh datang?"
"Boleh, lah. Masa nggak boleh." Joano berkata yakin.
"Kalau gitu gue ikut." Mike tiba-tiba nimbrung.
"Gue juga." Alfian tak mau ketinggalan.
Joano dan Bella kontan menahan tawa melihat kelakuan teman-temannya.
"Ya udah. Nanti kabari kalau mau main.” Kata Joano.
Bella menganggukkan kepalanya semangat.