Nadia, seorang gadis desa, diperkosa oleh seorang pria misterius saat hendak membeli lilin. Hancur oleh kejadian itu, ia memutuskan untuk merantau ke kota dan mencoba melupakan trauma tersebut.
Namun, hidupnya berubah drastis ketika ia dituduh mencuri oleh seorang CEO terkenal dan ditawan di rumahnya. Tanpa disangka, CEO itu ternyata adalah pria yang memperkosanya dulu. Terobsesi dengan Karin, sang CEO tidak berniat melepaskannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enam
Dua tahun sudah berlalu sejak malam kelam yang mengubah hidup Nadia. Seperti serpihan kaca yang retak, kenangan itu terus membayanginya.
Demi mengubur masa lalunya, Nadia memutuskan merantau ke kota besar, meninggalkan desanya yang penuh luka. Kota menjadi tempatnya untuk menghindar, tempat di mana ia berharap dapat menyusun kembali potongan hidupnya yang tercerai-berai.
Kini, ia bekerja di sebuah butik rumahan yang cukup terkenal. Pemilik butik memperlakukannya seperti keluarga, memberi Nadia kepercayaan dan rasa hormat yang telah lama tidak ia rasakan. Butik itu menjadi pelarian dari gelombang emosi yang terus menerpanya. Di sana, Nadia berhasil menemukan sedikit ketenangan meski jauh dari kata bahagia.
Pada suatu sore yang sejuk, Nadia mendapat tugas untuk membeli kain dari toko langganan. Ia berjalan di jalanan kota yang sibuk, melangkah cepat dengan daftar belanjaan di tangannya.
Saat ia berjalan di antara keramaian, tiba-tiba perasaan tidak nyaman muncul. Seperti ada seseorang yang terus memandangnya dari kejauhan. Ketika ia menoleh, tidak ada yang tampak mencurigakan, hanya orang-orang yang lalu lalang, sibuk dengan urusan masing-masing.
Sesampainya di depan toko kain, ia berdiri sejenak, mencoba menenangkan diri. Tapi tiba-tiba suara teriakan terdengar dari kejauhan, suara yang keras dan mendesak.
“Berhenti! Tangkap dia!”
Nadia menoleh dengan cepat, dan melihat seorang pria kurus berlari kencang ke arahnya, menerobos kerumunan dengan panik. Pria itu mengenakan pakaian yang cukup lusuh, dengan wajah yang terlihat gelisah dan mata yang terus berlari ke sana-sini mencari jalan keluar.
Sebelum Nadia sempat berpikir, pria itu berlari melewatinya dengan cepat dan—secara tak terduga—meletakkan topi di kepalanya dengan gerakan kilat. Nadia tersentak, mencoba meraih topi itu, namun pria tersebut sudah hilang di tengah keramaian sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi.
Nadia masih bingung, memegang topi asing itu di kepalanya, ketika sekelompok pria berjas hitam tiba-tiba muncul di hadapannya. Mereka besar dan berwibawa, wajah mereka keras dan tidak ramah. Tanpa peringatan, salah satu dari mereka mencengkeram lengannya dengan kuat.
"Hei! Apa yang kalian lakukan?" Nadia berteriak kaget, berusaha menarik tangannya dari genggaman pria itu.
Pria yang memegangnya menatapnya dingin. “Kau mencuri dari Tuan Samuel,” ucapnya dengan nada tegas. “Ikut dengan kami!”
“Mencuri? Tidak! Kalian salah paham. Aku tidak mencuri apa pun!” Nadia berusaha menjelaskan, tetapi mereka tidak memedulikannya.
“Diam! Kau tertangkap basah. Jangan banyak bicara,” ujar pria itu kasar, sementara tangan lainnya tetap memegang erat lengan Nadia.
Saat para pria itu memaksanya berjalan, barulah Nadia sadar. Topi ini! Ia menunduk, memegang topi itu dengan kedua tangan. Ini bukan miliknya. Pria tadi meletakkannya di kepalanya dengan sengaja—tapi kenapa? Apakah ini berarti dia yang mencuri sesuatu dari Tuan Samuel dan mencoba menjebaknya?
“Lepaskan aku! Aku bukan pencuri! Seseorang memasang topi ini di kepalaku! Dia berlari ke arah lain, kalian seharusnya mengejarnya!” serunya, mencoba melepaskan genggaman mereka. Namun, usahanya sia-sia.
Mereka tidak mendengarkan, malah semakin kuat menahan lengannya. Para pria itu mengantarnya ke sebuah mobil hitam mengilap yang diparkir di tepi jalan. Salah satu dari mereka membuka pintu belakang, dan di dalam, Nadia dapat melihat seorang pria berwajah tajam yang tampak berwibawa sedang menunggu dengan sabar. Jendela mobil sedikit terbuka, cukup untuk menampakkan siluetnya.
“Tuan Samuel, kami sudah menangkapnya,” kata pria itu sambil menunduk hormat ke arah pria di dalam mobil.
Nadia berusaha membela diri sekali lagi. “Ini kesalahpahaman! Aku tidak mencuri apa pun!”
Namun, suara dingin dari dalam mobil menyela dengan tegas. “Bawa dia.”
Sebelum ia dapat melanjutkan protesnya, salah satu pria itu menutup matanya dengan kain hitam. Dalam hitungan detik, Nadia tak bisa melihat apa-apa selain kegelapan. Ia merasakan tubuhnya dipaksa masuk ke dalam mobil, lalu pintu ditutup dengan bunyi “klik” yang menggema di pikirannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan hiruk-pikuk kota yang bising.
Perjalanan itu terasa begitu lama dan menegangkan. Jantung Nadia berdetak kencang, sementara pikirannya terus berputar memikirkan cara untuk menjelaskan kesalahpahaman ini. Namun, ketakutan semakin menyelimuti ketika mobil akhirnya berhenti.
Mereka menuntunnya keluar, dan saat kain penutup matanya dilepas, Nadia harus menyesuaikan matanya dengan cahaya terang di sekitarnya. Ia berdiri di depan sebuah vila besar dan mewah.
Bangunan megah itu menjulang tinggi, dengan desain yang elegan dan halaman luas yang dipenuhi tanaman hias. Pilar-pilar marmer yang menjulang di sisi pintu masuk mempertegas aura kekuasaan tempat itu. Vila ini benar-benar mencerminkan kekayaan dan kemewahan yang sulit ia bayangkan.
Ia didorong masuk ke dalam vila, lalu diantarkan ke sebuah ruangan besar. Ruangan itu dipenuhi perabotan mahal; sofa kulit berwarna gelap dengan jahitan halus, lukisan-lukisan besar yang tergantung di dinding, dan lampu gantung kristal yang berkilauan memantulkan cahaya di seluruh ruangan.
Di tengah-tengahnya, seorang pria duduk dengan santai di sofa besar, menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin.
Pria itu adalah sosok yang tak bisa diabaikan. Tingginya mengesankan, dengan tubuh atletis yang tampak kuat di balik setelan hitam yang dipakainya. Rambutnya tertata rapi, menyisakan sedikit helaian yang jatuh di dahinya.
Wajahnya tampak tegas dengan rahang yang kokoh, hidung lurus, dan sepasang mata gelap yang begitu dalam hingga hampir sulit untuk ditatap lama-lama. Aura dingin dan dominan menyelimuti pria ini, seakan memberi peringatan bagi siapa pun yang berani mendekat.
Nadia menahan napas, menyadari bahwa inilah Tuan Samuel, pria yang ia dengar dari para pengawalnya.
Pria itu mengamati Nadia dari ujung kepala hingga kaki, matanya yang tajam seperti sedang menelusuri setiap detail dirinya. Ketika akhirnya ia berbicara, suaranya terdengar rendah dan dingin, menciptakan getaran yang membuat tubuh Nadia menegang.
“Di mana barangnya?”
Nadia mengerutkan alis, merasa bingung. “Barang apa? Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan!”
Tuan Samuel mengangkat alis, senyum tipis dan mencemooh tersungging di bibirnya. “Jangan mencoba berbohong. Aku tidak suka menunggu, dan aku lebih tidak suka dipermainkan. Jadi, untuk terakhir kalinya, di mana barangnya?”
Nadia merasa darahnya berdesir ketakutan. Pria ini menatapnya dengan begitu tajam dan penuh kecurigaan. “Tolong, dengarkan aku. Ini hanya kesalahpahaman. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Seseorang meletakkan topi itu di kepalaku dan lari,” katanya dengan suara bergetar, berusaha terdengar meyakinkan meskipun tubuhnya gemetar.
Namun, Tuan Samuel hanya memandangnya dingin, tak terpengaruh. Ia berdiri dari sofanya, berjalan mendekati Nadia dengan langkah lambat namun penuh ketegasan. Setiap langkahnya membuat napas Nadia tertahan. Pria itu berdiri tepat di hadapannya, menatapnya dengan intensitas yang membuatnya ingin melarikan diri.
“Jika kau memilih bermain-main denganku,” ucapnya dingin, “maka bersiaplah menerima akibatnya.”