Kamala Jayanti, gadis malang yang terlahir dengan tanda lahir merah menyala di kulit pipinya dan bekas luka di bawah mata, selalu menyembunyikan wajahnya di balik syal putih. Syal itu menjadi tembok penghalang antara dirinya dan dunia luar, membentengi dirinya dari tatapan penuh rasa iba dan cibiran.
Namun, takdir menghantarkan Kamala pada perjuangan yang lebih berat. Ia menjadi taruhan dalam permainan kartu yang brutal, dipertaruhkan oleh geng The Fornax, kelompok pria kaya raya yang haus akan kekuasaan dan kesenangan. Kalingga, anggota geng yang penuh teka-teki, menyatakan bahwa siapa yang kalah dalam permainan itu, dialah yang harus menikahi Kamala.
Nasib sial menimpa Ganesha, sang ketua geng yang bersikap dingin dan tak berperasaan. Ganesha yang kalah dalam permainan itu, terpaksa menikahi Kamala. Ia terpaksa menghadapi kenyataan bahwa ia harus menikahi gadis yang tak pernah ia kenal.
Titkok : Amaryllis zee
IG & FB : Amaryllis zee
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amaryllis zee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendatangi Rumah Orang Tua
Ganesha dan Sandiga tiba di lapangan golf, aura kemewahan terpancar dari mereka. Setelan pakaian golf yang mereka kenakan terlihat begitu keren dan mahal, menunjukkan status sosial mereka. Mereka melangkah dengan percaya diri, mendekati seorang laki-laki muda yang sedang berdiri memegang stick golf. Laki-laki muda itu tampak sedang fokus menunggu giliran untuk bermain, raut wajahnya serius, matanya tertuju pada bola golf yang berada di depannya.
"Selamat siang Pak Arga," sapa Sandiga ramah, senyum tipis terukir di bibirnya.
Arga menghentikan kegiatannya, lalu menoleh mengahadap pada Ganesha dan Sandiga. "Selamat siang juga Pak Sandiga dan Pak Ganesha," balas Arga, suaranya terdengar sopan. Ia menatap kedua pria itu dengan tatapan yang penuh hormat.
Arga sengaja memilih perusahaan Ganesha untuk membangun rumah singgah yang akan ia bangun. Ia percaya bahwa perusahaan Ganesha adalah perusahaan yang tepat untuk membangun rumah singgah yang berkualitas dan sesuai dengan keinginannya.
"Maaf kami terlambat," ucap Ganesha ramah, senyumnya menunjukkan sikap profesionalnya. Ia selalu bersikap ramah pada kliennya, kecuali jika kliennya bersikap kurang ajar, ia akan membalas dengan sikap yang lebih kurang ajar.
"Tidak masalah, Pak. Santai aja," sambung Arga, mencoba mencairkan suasana. Ia tahu bahwa Ganesha adalah orang yang sibuk, dan ia menghargai waktu yang diberikan Ganesha untuk bertemu dengannya.
"Justru saya sangat berterima kasih, Pak Ganesha sudah menyempatkan waktu datang kesini dan saya juga berterima kasih, karena Pak Ganesha, mau membantu saya untuk membangun rumah singgah," ucap Arga, suaranya penuh rasa syukur. Ia sangat menghargai kesediaan Ganesha untuk membantu mewujudkan mimpi baiknya dalam membangun rumah singgah tersebut.
"Tidak perlu berterima kasih. Itu sudah kewajiban saya untuk membantu memberikan yang terbaik untuk rumah singgah yang bapak inginkan," balas Ganesha, suaranya menunjukkan kepercayaan diri. Beberapa hari ini ia baru selesai mendesain rumah singgah yang sesuai keinginan Arga. Ia menantikan rumah singgah itu selesai dibangun. Rumah singgah yang sederhana tapi tetap modern, sebuah wujud nyata dari kepedulian Ganesha pada sesama.
"Saya yakin rumah singgah ini akan menjadi tempat yang nyaman dan bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan," tambah Ganesha, matanya memancarkan kehangatan.
Arga menanggapi dengan senyum yang tulus. "Terima kasih, Pak Ganesha. Saya percaya pada kemampuan perusahaan bapak."
Ganesha mengangguk, "Sama-sama, Pak Arga. Semoga rumah singgah ini bisa bermanfaat bagi banyak orang."
Mereka bertiga kemudian berbincang tentang detail pembangunan rumah singgah. Ganesha menjelaskan rencana pembangunan yang sudah ia siapkan. Arga menanggapi dengan antusias, sesekali memberikan masukan dan pertanyaan.
Sandiga mengamati percakapan mereka dengan senyum puas. Ia tahu bahwa Ganesha adalah orang yang baik hati dan peduli pada sesama. Ia bangga menjadi sahabat Ganesha, sekaligus menjadi asisten pribadinya
*****
Kamala berdiri di depan pintu rumah orang tuanya, yang sekarang menjadi milik ibu angkatnya, Renata. Rumah itu merupakan rumah yang pernah memberikan kenangan indah dan pahit bagi Kamala. Ia terpaksa datang ke rumah ini lagi, walaupun sebelumnya Renata berkata untuk tidak lagi datang ke rumah ini. Namun, ada barang berharga yang tertinggal di rumah ini. Waktu itu ia terburu-buru meninggalkan rumah itu, sampai melupakan barang berharga peninggalan orang tuanya dan ayah angkatnya.
Kamala menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia mengingat perkataan Renata yang terakhir kali, "Jangan datang lagi ke rumah ini, Kamu sudah bukan siapa-siapa di rumah ini." Kata-kata itu masih bergema di telinganya, membuat hatinya sedih.
Namun, ia harus kuat. Ia harus mendapatkan barang berharga itu. Ia memencet bel, lalu menunggu seseorang membuka pintunya. Jantungnya berdebar kencang, menunggu reaksi Renata ketika melihatnya.
"Semoga Mama Renata tidak marah," gumam Kamala, suaranya terdengar gemetar.
Bi Lastri, yang menjadi pembantu di rumah itu sekaligus yang dulu menjadi pengasuh Kamala, berlari ke depan untuk membuka pintu. Ia mengintip melalui jendela terlebih dahulu, ingin melihat siapa yang datang. Namun, ia mengehela napas sedih dan kebingungan ketika melihat Kamala yang berdiri di depan pintu.
Walaupun ia merindukan Kamala, ia tak bisa membantah majikannya, Renata, yang melarang Kamala ke rumah lagi. Renata berkata, "Jangan biarkan dia masuk lagi ke rumah ini. Dia sudah bukan siapa-siapa di rumah ini."
Bi Lastri menatap Kamala yang berdiri di depan pintu, matanya berkaca-kaca. Ia ingin membuka pintu dan memeluk Kamala, menanyakan kabar dan menceritakan kerinduannya. Namun, ia tak berani. Ia tak ingin melanggar perintah Renata.
"Maaf, Non Kamala," gumam Bi Lastri, suaranya terdengar gemetar. "Nyonya melarang Non Kamala masuk ke rumah ini."
Kamala menatap Bi Lastri dari bali jendela dengan tatapan yang sedih. Ia tahu bahwa Bi Lastri tak bermaksud menolaknya. Ia hanya mematuhi perintah Renata.
"Bi, aku cuma ingin mengambil barang ku yang tertinggal," kata Kamala, suaranya terdengar sedih. "Aku janji tak akan lama-lama."
Bi Lastri menatap Kamala dengan tatapan yang bimbang. Ia ingin membantu Kamala, tapi ia tak berani melanggar perintah Renata.
"Nyonya sudah melarang," balas Bi Lastri, suaranya terdengar gemetar. "Maafkan aku, Non Kamala."
Kamala menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air matanya. Ia tahu bahwa ia tak akan bisa masuk ke rumah itu tanpa izin Renata.
"Baiklah, Bi," seru Kamala, suaranya terdengar sedih.
Tiba-tiba, Renata muncul membuka pintu rumah, membawa seember air. Wajahnya merah padam, matanya memancarkan kemarahan. Dengan gerak cepat, lalu tanpa aba-aba menyiramkan air pada Kamala. Air itu bukan air bersih, melainkan air kolam ikan yang kotor dan berbau busuk.
Kamala tersentak kaget karena tiba-tiba Renata menyiramnya dengan air yang bau ikan. Air itu membasahi pakaiannya, membuatnya merasa jijik dan marah.
"Anak busuk, ngapain datang kemari hah!" pekik Renata, suaranya bergetar karena marah. Ia melempar ember ke luar rumah sampai rusak, seolah ingin meluapkan emosinya yang memuncak melihat kedatangan Kamala.
"Kamu sudah bukan siapa-siapa di rumah ini! Pergi dari sini!" teriak Renata, suaranya keras dan menakutkan.
Kamala menatap Renata dengan tatapan yang terluka. Ia tak menyangka bahwa Renata yang ia anggap sebagai orang tua sendiri, akan sekejam itu padanya. Ia hanya ingin mengambil barang berharganya, tapi Renata malah menyiramnya dengan air kotor.
“Izinkan aku untuk masuk sebentar saja, karena ada barangku yang ketinggalan!” mohon Kamala tidak akan menyerah sebelum barang yang ia inginkan sudah ada di tangannya.
“Barang apa hah! Semua barangmu sudah saya buang!” bentak Renata.
Kamala menduga jika barang-barangnya sudah dibuang, tapi barang yang ia maksud masih ada di dalam rumah, karena Papanya menyimpannya di tempat rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain.
"Barang yang mau aku ambil pasti masih ada, Mama tidak mungkin membuangnya!" timpal Kamala, suaranya bergetar menahan amarah. Ia menatap Renata dengan tatapan yang teguh, seolah ingin meyakinkan Renata bahwa ia tahu di mana barang itu tersembunyi.
"Omong kosong!" seru Renata sinis, suaranya tajam seperti pisau. Ia menatap Kamala dengan tatapan yang penuh kebencian, seolah ingin menghancurkan Kamala dengan kata-katanya.
Terimakasih sudah suka dengan cerita ini
kalo bisa 2 atau 3🙏
jangan lama lama up nya dan banyakin up nya pls😭