Hati siapa yang tak bahagia bila bisa menikah dengan laki-laki yang ia cintai? Begitulah yang Tatiana rasakan. Namun sayang, berbeda dengan Samudera. Dia menikahi Tatiana hanya karena perempuan itu begitu dekat dengan putri semata wayangnya. Ibarat kata, Tatiana adalah sosok ibu pengganti bagi sang putri yang memang telah ditinggal ibunya sejak lahir.
Awalnya Tatiana tetap bersabar. Ia pikir, cinta akan tumbuh seiring bergantinya waktu dan banyaknya kebersamaan. Namun, setelah pernikahannya menginjak tahun kedua, Tatiana mulai kehilangan kesabaran. Apalagi setiap menyentuhnya, Samudera selalu saja menyebutkan nama mendiang istrinya.
Hingga suatu hari, saudari kembar mendiang istri Samudera hadir di antara carut-marut hubungan mereka. Obsesi Samudera pada mendiang istrinya membuatnya mereka menjalin hubungan di belakang Tatiana.
"Aku bisa sabar bersaing dengan orang yang telah tiada, tapi tidak dengan perempuan yang jelas ada di hadapanku. Maaf, aku memilih menyerah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Sebuah jawaban
Samudera
Sepanjang operasi berlangsung, pikiran Samudera tidak bisa tenang. Bahkan jantungnya terus berdebar kencang. Namun sebagai seorang dokter, ia harus berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran dan masalah pribadi. Apalagi kini ia sedang berkutat dengan fisik seorang pasien yang membutuhkan penanganannya segera.
Selesai melakukan operasi, Samudera kembali ke ruangannya. Tanpa melepas jubah operasinya, ia langsung menyambar ponsel untuk menghubungi Tatiana. Tapi ponselnya ternyata tidak aktif. Bahkan hingga panggilan ke lima, ponsel wanita yang masih bergelar sebagai istrinya itu masih saja tak aktif.
Samudera meraup wajahnya frustasi. Ia melepas kasar jubah operasinya dan meletakkannya di tempat biasanya. Lalu ia berjalan mondar-mandir di dalam ruangannya. Ingin rasanya ia segera pulang dan menemui Tatiana, tapi sayangnya ia belum bisa. Meskipun ia sudah menyelesaikan operasinya, tapi setelah ini ia harus kembali mengikuti pertemuan dengan para dokter yang tadi terlibat dalam kegiatan operasi untuk membahas hasil operasi agar bisa ditulis dalam sebuah laporan.
Melihat rantang berisi makan siang yang Tatiana bawakan, Samudera pun gegas membukanya. Kebetulan memang ia belum makan sejak tadi. Setelah menyelesaikan makan siang yang tertundanya itu, Samudera langsung membereskan peralatan makan dan bersiap menuju ruang pertemuan para dokter.
...***...
Samudera akhirnya bisa bernafas lega. Ia sudah benar-benar lelah. Tak sabar lagi rasanya ia ingin pulang ke rumah dan bertemu dengan anak dan istrinya.
Samudera tersentak. Ia ingat, sejak tadi ponsel Tatiana tidak aktif. Sebelum pulang, ia ingin menghubungi Tatiana terlebih dahulu. Namun saat ia melirik kue spikoe kuno Surabaya dan lapis kukus Surabaya pesanan Tatiana membuatnya mengurungkan niatnya. Ia ingin memberikan kejutan pada Tatiana. Ia yakin, Tatiana akan senang melihat apa yang ia inginkan tak lupa ia belikan.
Samudera pun mengendarai mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi menuju rumahnya. Setelah memasuki pekarangan rumah, ia langsung memasukkan mobilnya ke garasi. Karena jarum jam masih menunjukkan pukul 7, pintu rumahnya belum dikunci. Samudera pun membuka pintu sambil menenteng paper bag berisi kue pesanan Tatiana.
Namun saat masuk ke dalam rumah, ia sudah disambut tangis memilukan Ariana. Samudera pun meletakkan paper bag pesanan Tatiana dan rantang makan siangnya tadi di atas meja tamu dan gegas berlari menuju Ariana.
"Bik, Ana kenapa nangis kejer kayak gini?" tanya Samudera panik. Ia ingin menyambut Ariana ke dalam gendongannya, tapi Samudera ingat, ia belum bersih-bersih. Tidak bagus langsung mendekati sang anak sebelum membersihkan diri dan berganti pakaian. Rumah sakit memang rumah tempat merawat orang sakit agar bisa sembuh, tapi bukan berarti pulang dari sana kita dalam keadaan bersih. Tak ada yang tahu bagaimana udara di sana. Apa yang Samudera sentuh juga, bisa jadi ada kuman dan bakteri serta virus yang tanpa sadar menempel di tubuhnya.
"Ayah, huhuhu, ayah, bunda mana? Bunda mana, Ayah? Huhuhu ... Kenapa bunda tidak ada? Bunda mana, Ayah? Bunda kemana?" Raung Ariana membuat mata Samudera terbelalak.
"Bik, sebenarnya ada apa? Memangnya bundanya kemana?" tanya Samudera penasaran.
Bik Una menimang-nimang Ariana seraya berusaha meredakan tangisnya. Namun bukannya mereda, tangis Ariana justru kian menjadi.
"Anu, den, Mbak Tiana, Mbak Tiana nggak tau kemana. Mbak Tiana tiba-tiba aja menghilang," ujar Bik Una gugup.
"Menghilang? Bagaimana bisa? Tadi siang, dari rumah sakit dia pulang ke rumah kan?" cecar Samudera.
Bik Una mengangguk, "siang tadi mbak Tiana memang pulang, Den. Bahkan mbak Tiana sempat minta saya setrikain kemeja kesayangan den Sam, tapi pas bibik selesai setrika dan mau ngasiin kemeja Aden, ternyata mbak Tiana udah nggak ada. Bibik ketuk-ketuk pintu tapi nggak dibuka juga. Terus neng Ana bangun dan nyariin mbak Tiana ke kamar, tapi neng Ana nggak nemuin mbak Tiana. Ditelepon juga nggak bisa, makanya neng Ana jadi nangis terus dari tadi soalnya Mbak Tiana nya nggak tau kemana,' aku bik Una membuat Samudera terhenyak.
"Apa dia nggak ada bilang apa-apa gitu, bik?"
"Nggak ada, Den. Pulang dari anter makan siang Aden tadi, mbak Tiana juga nggak ada bilang apa-apa. Cuma ... "
"Cuma apa?" tanya Samudera penasaran.
"Tadi bibik mergokin mbak Tiana liatin foto pernikahannya di belakang. Matanya kayak berkaca-kaca gitu. Sembab. Kayak habis nangis," ucap bik Una mengingat bagaimana raut muka Tatiana tadi.
Samudera membelalakkan matanya. Jakunnya naik turun.
"Ana tenang dulu ya, Sayang. Mungkin bunda ada kerjaan sebentar. Pasti sebentar lagi pulang. Ayah mandi dulu ya." Samudera yang tidak bisa mengusap kepala Ariana pun bergegas ke kamar. Ia ingin segera mandi agar bisa mengambil alih Ariana. Kasihan bik Una, ia pasti kerepotan berusaha mendiamkan Ariana sejak tadi.
Sambil berjalan menuju kamar, Samudera kembali melakukan panggilan ke nomor Tatiana, tapi nomornya belum juga aktif.
Masuk ke kamar, Samudera merasakan nuansa kamar terasa berbeda. Entah apa yang salah, namun Samudera merasa ada sesuatu yang salah di sana. Namun Samudera tidak tahu apa itu.
Samudera pun gegas masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Ia mengguyur kepalanya yang berdenyut agar terasa dingin dan menyegarkan. Namun biarpun air sudah mengguyur, pikirannya tetap berkecamuk. Rasa khawatir juga penasaran mendominasi isi kepalanya.
"Kamu dimana, Tiana? Kenapa kamu pergi nggak bilang-bilang?" Samudera menyugar rambut basahnya frustasi. Padahal ia sudah ingin menjelaskan apa yang akhir-akhir ini terjadi. Anggap saja ia ingin membuat sebuah pengakuan, termasuk apa yang ia lihat tadi.
Selesai mandi, Samudera bergegas keluar dan memandang ke atas ranjang lalu kursi meja rias. Biasanya Tatiana meletakkan pakaiannya di antara kedua tempat itu. Tatiana memang melakukan tugasnya sebagai seorang istri maupun ibu dengan sangat baik. Meskipun ia selalu memperlakukannya dengan dingin, tapi Tatiana tetap melakukan tugasnya dengan sebaik mungkin.
Samudera menghela nafas berat. Entah mengapa sejak di rumah sakit tadi dadanya terasa sesak. Seakan ada balok besar yang menghimpitnya. Bahkan jantungnya berdegup dengan kencang. Seakan ada firasat buruk yang siap menerjang hari-harinya.
Samudera yang tidak menemukan pakaian gantinya di tempat biasa lantas membuka lemari besar di kamar itu. Lalu ia mengambil pakaian secara asal dan mengenakannya. Entah kenapa tiba-tiba tangannya seakan dituntun untuk membuka pintu lemari di sebelahnya. Lemari super besar itu memiliki 4 buah pintu. Dua pintu khusus pakaiannya lalu dua pintu lagi untuk pakaian Tatiana.
Mata Samudera membulat dengan jantung yang kian terpompa bertalu-talu. Tampak sebelah dari lemari itu kosong. Hanya menyisakan kebaya dan songket yang Tatiana kenakan saat akad nikah mereka. Kemudian selimut dan seprei yang kerap mereka pakai. Lalu pintu sebelahnya semua masih sama seperti yang tersusun dua tahun yang lalu. Pakaian dan segala aksesoris Triana. Tak ada yang berubah ataupun bergeser sama sekali.
Degupan jantungnya makin keras. Jantungnya seakan ingin direnggut paksa dari rongganya. Samudera terhuyung ke belakang. Ditatapnya nanar lemari itu. Bahkan satupun pakaian Tatiana tidak bersisa sama sekali. Pikirannya linglung. Kepalanya berputar ke sana ke mari, memerhatikan semua sisi di dalam kamar itu. Tak ada yang berubah. Semua masih sama seperti dua tahun yang lalu. Bahkan bingkai-bingkai foto di kamarnya pun tak ada yang bertambah maupun berubah. Semua sama. Termasuk ... meja rias.
Samudera tertegun. Ia seakan de javu dengan apa yang ia lihat ini. Suasananya sama seperti dia tahun lalu saat Triana pergi meninggalkannya untuk selamanya.
"Tiana ... Nggak, nggak mungkin kan kalau kamu pergi dariku? Nggak. Kamu pasti sedang pergi saja kan? Dan pasti akan kembali. Ya, kamu mungkin sedang berbelanja atau kamu sedang ke rumah sahabat kamu itu kan? Siapa? Siapa namanya?" Bahkan Samudera pun tidak mengetahui siapa sahabat Tatiana.
Samudera menjambak rambutnya frustasi. Ia kembali mencoba menghubungi Tatiana, tapi tetap saja tidak bisa.
"Aaargh ... " pekiknya frustasi.
Padahal malam kian larut, tapi tak ada tanda-tanda kepulangan Tatiana. Bahkan Ariana pun sudah tertidur karena kelelahan menangis.
Samudera mondar-mandir di teras rumah. Berharap tiba-tiba Tatiana pulang, tapi hingga jarum jam sudah menunjukkan hampir tengah malam, Tatiana tetap tak muncul juga.
Rasa takut mulai menyergap. Mengingat semua pakaian Tatiana sudah tidak ada di tempatnya membuatnya ketakutan luar biasa.
"Nggak, nggak mungkin kamu pergi Itu nggak mungkin."
Dengan raut putus asa bercampur kelelahan, Samudera pun kembali ke kamarnya. Sekali lagi ia memandangi ke sekeliling, ia harap ia menemukan jejak Tatiana di sana, tapi tak ada sama sekali. Seakan Tatiana tidak pernah ada di sana. Tidak pernah berada di kamar itu. Tidak pernah tidur di kamar itu.
Kepala Samudera makin berdenyut nyeri. Ia menghenyakkan bokongnya di tepi ranjang. Hingga matanya akhirnya menangkap selembar kertas terlipat di atas nakas. Samudera pun segera mengambil kertas itu dan membukanya. Tulang belulang Samudera seketika melemas tak berdaya. Apa yang tertulis di sana akhirnya menjadi jawaban atas kegelisahannya.
"Selamat tinggal, Mas. Mohon maaf atas kehadiranku yang tak pernah kau inginkan ini."
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...