Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Belas - Terpaksa Memasak
Pagi harinya, Amara lebih dulu turun dari kamarnya. Sarapan sudah tertata rapi di meja makan, karena sebelumnya Amara sudah meminta Bi Asih untuk menyiapkan sarapan dan bekal untuk dibawa kerja. Amara sarapan lebih dulu, dia tidak menunggu suaminya yang masih di kamar, karena hari ini ia harus memakai bus, supaya lebih hemat daripada ojek online yang biasa ia gunakan. Jadi dia harus pagi-pagi sekali berangkat, karena harus berjalan dulu ke halte bus yang cukup jauh dari perumahannya. Maklum saja Amara tinggal di perumahan Elite, jadi tidak ada kendaraan umum yang masuk, kecuali ojek online dan taksi online.
“Bi, aku berangkat, ya?” pamit Amara.
“Sepagi ini, Bu? Belum ada ojek yang jemput kok?” ucap Bi Asih.
“Aku mau naik bus saja, Bi. Biar hemat,” jawab Amara.
Bi Asih hanya menggelengkan kepalanya saja. Seorang istri pengusaha kaya raya, malah bekerja dan berangkat kerjanya naik bus.
Tidak memedulikan ekspresi asistennya itu, Amara langsung pergi. Ia tidak mau keduluan suaminya, yang ada nanti suaminya pasti minta mengantar dirinya.
Setelah Amara pergi berangkat kerja, Alvaro baru keluar dari kamarnya. Dia sudah tidak mendapati istrinya di meja makan. Alvaro kira istrinya masih berada di ruang makan, ternyata sudah tidak ada.
“Bi, ibu sudah berangkat?” tanya Varo pada Bi Asih yang sedang mengambil piring kosong dan gelas kosong bekas Amara makan tadi.
“Sudah sepuluh menit yang lalu, Pak,” jawab Bi Asih.
“Oh ya sudah,” ucap singkat.
“Oh iya, Bi. Nanti malam bikinkan aku tongseng kambing lagi yang seperti kemarin ya, Bi?” pinta Alvaro.
“Aduh, maaf, Pak, bibi kok belum bisa masak tongseng, ya? Kemarin itu yang masak ibu, Pak. Kalau masalah tongseng, dan masak perdagingan, ibu ahlinya, bibi mah masak sayur-sayuran saja sama ayam bisanya. Kalau daging-daging takut gak enak,” jawab Bi Asih.
Alvaro mengangguk paham. Jangankan masak tongseng, masak sayur asam atau nasi goreng saja rasanya jauh sekali dengan masakannya Amara. Yang ada nantinya kalau masak tongseng rasanya jadi gak karuan.
Alvaro rindu rasa masakan Amara. Sudah hampir satu bulan Amara sudah jarang memasak, paling kalau ada mood saja, itu pun bukan masak untuk makan, dia malah sukanya bikin cemilan, atau kue kering saja.
“Kalau bapak mau, nanti saya coba tanyakan resepnya ke ibu, pas ibu pulang kerja,” ucap Bi Asih.
“Nanti suruh Amara saja yang masak, Bi. Sudah lama juga kan dia gak masak, aku pengin makan masakannya,” ucap Alvaro.
“Baik, Pak. Nanti bibi sampaikan,” jawabnya.
Alvaro pamit pergi ke kantor. Ia benar-benar merindukan masakan Amara, apalagi tongseng kambingnya, dan sambal cumi buatan Amara, yang pasti menggugah selera makannya.
“Sudah ketagihan masakan istri, kan? Pakai sok bersikap dingin sama istrinya! Giliran urusan perut saja, cari istrinya!” gerutu Bi Asih setelah Alvaro pergi.
^^^
Amara baru sampai rumah. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang berada di ruang tamu. Tubuhnya terasa lelah, apalagi dia harus berjalan dari halte ke rumahnya yang jaraknya cukup jauh.
“Bu, sudah pulang?” tanya Bi Asih.
“Baru saja, Bi,” jawabnya.
“Ibu mau saya buatkan minum?”
“Boleh deh, buatkan saya teh panas, gulanya jangan banyak-banyak, Bi,” pinta Amara.
“Baik, Bu,” jawab Bi Asih.
Amara merebahkan tubuhnya di sofa, dengan bebantal tangan-tangan sofa, dan memejamkan matanya. Amara merasa kelelahan, setelah berjalan cukup jauh. Amara harus membiasakan itu, ia harus menghemat, karena tidak tahu bagaimana hidup ke depannya.
Tak lama Bi Asih mengantarkan secangkir teh panas untuk Amara. “Ini teh panasnya, Bu.”
Amara membuka matanya, ia duduk lalu menerima secangkir teh dari Bi Asih. “Terima kasih, Bi,”
Ia menyesap tehnya. Benar-benar nikmat sekali meminum teh panas yang tidak terlalu manis, rasa sepat dan wangi tehnya benar-benar merelaksasi otot-otot Amara yang kaku, juga membuatnya fresh.
“Bu, kelihatannya ibu sangat kelelahan? Apa mau bibi pijat?” tanya Bi Asih.
“Apa bibi bisa memijat?” Amara meletakkan cangkirnya di atas meja.
“Itu sih jangan diragukan lagi, Bu? Saya ahlinya pijat,” ucap Bi Asih dengan bangga.
“Baiklah, kalau begitu boleh dicoba nih? Badanku memang sedang pegal sekali, Bi, dari ujung kaki sampai ujung kepala, pegal sekali,” ucap Amara.
“Kalau begitu, di kamar saja pijatnya ya, Bu? Biar sekalian sebadan dipijit semua, kan bisa enak?” saran Bi Asih.
“Boleh, saya ke kamar, dan toling bawakan teh saya juga ya, Bi?” ucap Amara.
“Siap, Bu!” ucap Bi Asih semangat.
Amara merebahkan tubuhnya dengan tengkurap di atas karpet yang ada di kamarnya. Bi Asih sudah menyiapkan minyak zaitun untuk memijatnya.
“Permisi ya, Bu? Saya pijat sekarang,” ucap Asih.
“Iya, Bi. Silakan,” jawab Amara.
Amara memejamkan matanya, merasakan dan menikmati pijatan dari Bi Asih yang begitu memanjakan tubuhnya. Rasanya lelah dan pegal langsung hilang karena pijatan Bi Asih. Sampai Amara ketiduran karena begitu menikmati pijatan Bi Asih.
“Bu, bisa balik badan, tinggal bagian kepala dan lengan, biar sedikit enteng saya pijat kepalanya,” ucap Bi Asih pelan karena Amara tertidur.
“Ah iya, Bi. Aku sampai ketiduran, enak banget pijatan Bibi,” puji Amara.
Bi Asih kembali memijat Amara, sungguh pijatan yang nikmat, sekelas spa di salon.
“Bi kalau tahu begini aku gak usah spa di salon, ya? Sama bibi saja di rumah, hemat waktu jadinya,” ucap Amara.
“Boleh, Bu. Tinggal bilang saja sama Bibi, nanti Bibi pijat, mau sekalian dilulur juga bisa?”
“Cocok itu, Bi. Nanti deh lulurnya kapan-kapan saja, ini sudah sore banget,” ucap Amara.
“Oh iya, Bu. Tadi pagi bapak minta dimasakin bibi tongseng kambing. Bibi bilang gak bisa masak itu, itu hanya ibu yang bisa,” ucap Bi Asih.
Amara terdiam, ia sebetulnya tidak keberatan memasakkan suaminya. Akan tetapi, sejak kedatangan Cindi ke rumah, membuat apa yang Amara lakukan itu sia-sia belaka. Alvaro sama sekali tidak menghargai usahanya saat itu.
Selesai pijat, Amara langsung ke dapur, rasanya badan Amara enteng sekali dipijat oleh Bi Asih. Amara langsung menyiapkan bahan-bahan untuk memasak apa yang suaminya ingin. Untung saja semua bahan sudah ada di dalam kulkas, bumbunya juga sudah Amara sediakan, jadi tinggal eksekusi saja.
“Bi titip masakan, ya? Ini sebentar lagi matang, kurang lebih lima belas menitan lagi, biar dagingnya agak empuk. Aku mandi dulu ya, Bi? Sudah aku cicipi sudah pas semua kok rasanya, tinggal nunggu empuk saja dagingnya,” ucap Amara.
“Baik, Nyonya,” ucapnya.
“Ih bibi ini sukanya bercanda? Aku gak suka dipanggil begitu!” ucap Amara kesal.
“Cocok kok ibu dipanggil Nyonya, kan Nyonya di sini ibu? Nyonya Alvaro Pramudya,” ucap Bi Asih dengan terkekeh.
“Bibi bisa saja ih?” ucap Amara.
Amara naik ke atas, ia belum mandi dari sehabis pulang kerja. Badannya lengket, apalagi tadi habis terkena minyak pijat. Dia harus mandi lebih dulu, sebelum menata masakan, dan menunggu suaminya pulang.