Gubee, Pangeran Lebah yang ingin merubah takdirnya. Namun semua tidaklah mudah, kepolosannya tentang alam membuatnya sering terjebak, dan sampai akhirnya menghancurkan koloninya sendiri dalam pertualangan ini.
Sang pangeran kembali bangkit, mencoba membangun kembali koloninya, dengan menculik telur calon Ratu lebah koloni lain. Namun, Ratu itu terlahir cacat. Apa yang terjadi pada Gubee dan Ratu selanjutnya?
Terus ikuti ceritanya hingga Gubee terlahir kembali di dunia peri, dan peperangan besar yang akan terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malaikat Bawah Tanah
Setelah sangat lama mengudara, sayap Gubee akhirnya lelah. Sayap yang tipis dan bening itu tak mampu lagi bergerak. Ia mulai terombang-ambing terbawa angin yang tiba-tiba berhembus kuat saat itu. Cukup lama mengambang tak tentu arah, akhirnya perlahan-lahan ia jatuh ke tanah. Ia sudah tak sadarkan diri, dan tubuhnya terhempas ke gundukan tanah merah.
Puluhan semut merah penjaga datang menghampiri, mengerumuni lebah kecil yang telah kelelahan itu. Gubee jatuh tepat di depan pintu gerbang kerajaan semut merah. Angin sore itu kembali membawanya menemui sahabatnya.
“Beri tahu komandan!” seru seekor Semut merah penjaga kepada temannya.
Teman semut penjaga itupun segera berlari ke dalam sarangnya. Dan tak lama komandan mereka datang ke tempat itu.
“Apa yang terjadi?” Komandan semut penjaga itu masuk menerobos kerumunan.
“Gubee!” Komandan itu memeriksa tubuh lebah yang dikenalnya itu.
“Dia masih hidup. Bawa dia ke dalam!” perintahnya kemudian.
Para semut merah penjaga membawa Gubee ke dalam sarangnya. Mereka mengangkat tubuh Gubee bersama-sama, memasuki lorong bawah tanah.
“Bawakan aku nektar! Cepat!
Seekor semut merah penjaga segera datang membawakan nektar, dan memberikannya kepada komadan itu. Tampak jelas, perintah komandan semut merah penjaga itu sangat dipatuhi oleh koloninya.
Sedikit demi sedikit, nektar diteteskan ke mulut Gubee. Tubuh gubee memberikan respon, ia mulai tampak meneguk cairan bunga itu.
“Dia sangat kehausan dan kelaparan,” ucapnya terus meneteskan nektar dari mangkuk tanah merah di tangannya.
“Uhuk..!uhuk!” Gubee tersedak. Ia perlahan membuka matanya. “Dimana aku?
“Kau ada di sarangku,” jawab komandan semut merah penjaga, tersenyum.
“Semut penjaga, kau kah itu?” Gubee mengusap-usap matanya, pandangannya terasa kabur di lorong bawah tanah yang agak gelap itu.
“Ya, ini aku. Temanmu.
Gubee mencoba untuk duduk, namun tenaganya yang masih lemah membuatnya kesulitan.
“Beristirahatlah Gubee. Tubuhmu masih lemah.” Semut merah itu mencegah Gubee, dan membantu Gubee kembali berbaring di atas tanah merah yang beralaskan daun cemara.
“Apa yang terjadi padamu Gubee?” tanyanya kemudian.
“Semua telah berakhir.” Wajah itu kembali singgah. Wajah kesedihan yang membungkus rona Gubee di hari itu.
“Koloniku telah punah. Tidak yang bisa ku harapkan lagi di alam ini. Ratuku telah mati tanpa meninggalkan sebutir telur apapun! Cerita lebah madu di pucuk pohon Willow telah usai,” sambung Gubee lirih.
“Apa yang terjadi Gubee? Kenapa Ratumu bisa mati?
“Aku telah membunuhnya!
“Ini tidak mungkin! Apa yang kau bicarakan Gubee? Kau berbohongkan?
“Aku tidak berbohong. Itulah yang terjadi.
“Aku tidak percaya dengan apa yang kau katakan. Mana mungkin lebah baik sepertimu akan membunuh Ratunya sendiri? itu tidak mungkin!” Semut merah itu menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan tak percaya sedikitpun dengan kabar itu.
“Keegoisan yang ada dalam diriku telah membuat Ratuku terbunuh. Aku yang ingin hidup lebih lama, telah mengambil nyawa Ratuku sendiri. Aku telah menghancurkan koloniku!” Gubee menghapus air mata yang kembali mengalir dari sudut matanya.
“Demi menginginkan hidup yang lebih panjang, aku meminum nektar bunga Edelweis. Aku tidak tahu kalau nektar bunga itu akan membentuk racun di dalam tubuhku, sehingga saat aku mengawini Ratuku, racun itu membunuhnya!
“Kau meminum nektar bunga Edelweis?” Komandan semut merah penjaga itu mulai mengerti dengan apa yang Gubee maksud.
“Ya. Aku bodoh!” rintih Gubee.
“Mengapa aku terlahir menjadi lebah yang bodoh? Lebah yang ego! Lebah yang tidak bisa menerima kenyataan di dalam hidupnya!
“Sudahlah Gubee. Jangan menyalahkan dirimu seperti itu. Aku yakin! Kau tidak sengaja melakukan itu. Kaupun tidak mengetahui kalau apa yang kau lakukan itu akan membunuh Ratumu. Ini semua ketidaksengajaan.” Semut merah itu mencoba menenangkan Gubee yang tampak gelisah di pembaringannya.
“Walaupun hanya ketidaksengajaan, tetapi Ratuku telah mati. Koloniku telah berakhir! ratap Gubee penuh emosi.
“Komandan, Ratu memanggilmu.” Seekor semut pekerja datang ke tempat itu.
“Baiklah. Katakan pada Ratu, aku akan datang,” ujar komandan semut merah penjaga.
“Aku segera kembali Gubee. Beristirahatlah. Aku akan membicarakan permasalahanmu dengan Ratuku. Mungkin dia punya solusinya,” ucapnya kemudian pada Gubee.
“Aku telah menemukan solusinya,” jawab Gubee.
Komandan semut merah penjaga menghentikan langkahnya yang ingin meninggalkan Gubee.
“Apa itu? katakan?” tanyanya.
“Itu sangat sulit. Aku telah mencobanya, tapi tidak berhasil.
“Katakan apa solusinya, aku akan membantumu Gubee! koloni ini sangat berhutang banyak padamu. Berkat nektar bunga Edelweis yang kau bawakan dulu, Ratuku telah melahirkan telur calon ratu. Dan berkat jasamu itu, akupun telah diangkat menjadi komandan semut merah penjaga di koloni ini.
Komandan semut itu mendekati Gubee. Ia menggenggam tangan Gubee yang lemah. “Ayo kawan, katakan! Bagaimana caranya?” desaknya tak sabar.
“Meminta telur calon ratu ke koloni lain. Hanya itu cara satu-satunya,” ungkap Gubee.
Komandan semut merah terdiam mendengar kata-kata itu. Ia seperti merasakan ketidakmungkinan dalam solusi itu.
“Nanti kita bicarakan lagi. Aku harus menemui Ratuku dulu. Beristirahatlah!” Komandan itu melepaskan genggamannya, lalu pergi meninggalkan Gubee.
Di tengah kesendiriannya, Gubee mencoba memejamkan matanya yang lelah menguras air mata. Bayangan akan koloninya kembali merasuki pikirannya. Penggalan-penggalan kisah masa lalu, mengaduk-aduk perasaannya, seolah-olah meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah terjadi. Dan Waktu pun terus berlalu di ruang yang agak gelap itu.
Esok hari, Gubee terbangun dari tidurnya. Hari baru telah dimulai kembali di bawah tanah tempat Gubee berada. Kegaduhan yang ditimbulkan oleh semut-semur pekerja yang sedang memperluas sarang mereka, menggema di lorong-lorong tanah itu.
Gubee memandangi sekelilingnya. Pandangannya telah normal kembali. Walau ruang bawah tanah itu tidak begitu terang, namun Gubee telah bisa melihat dengan jelas apa yang ada di sekitarnya.
Di sampingnya, mangkuk-mangkuk yang berisi nektar telah menunggunya. Aromanya tercium jelas, semerbak di udara yang lembab.
Gubee bangkit dari pembaringannya. Tenaganya sudah mulai pulih. Ia mengambil salah satu mangkuk yang terbuat dari tanah merah itu, dan menghirup nektar yang ada di dalamnya.
“Bagaimana kabarmu pagi ini Gubee?” Komandan semut merah penjaga datang ke ruangan itu.
“Baik, komandan,” sahut Gubee, kembali meminum nektar di dalam mangkuk yang masih pegangnya.
“Jangan panggil aku komandan. Panggil saja aku seperti dulu.
“Semut penjaga?
Komandan semut itu tersenyum, duduk di samping Gubee.
“Kau sudah naik pangkat kawan! Sebutan itu tidak cocok lagi buatmu. Oh iya, aku lupa mengucapkan selamat!” Gubee meletakkan mangkuk di tangannya, lalu merangkul tubuh semut merah yang duduk di sampinya itu. “Selamat komandan!” ucapnya.
Semut merah penjaga itu tersenyum membalas rangkulan Gubee. “Jangan panggil aku komandan,” pintanya lagi.
“Baiklah, kalau itu maumu. Tapi kau punya nama kan? Aku sampai lupa bertanya namamu. Padahal kita sudah sering bertemu.” keluh Gubee menggaruk-garuk kepalanya.
“Namaku Antber.
“Okee! Aku akan memanggil namamu saja. Selamat Antber!
Gubee menyudahi pelukkannya, dan tersenyum manis pada sahabatnya itu. Wajahnya mulai tampak ceria dari biasanya.
“Aku telah menceritakan masalahmu kepada Ratuku.
Komandan semut merah penjaga yang bernama Antber itu, kembali mengungkit peristiwa lalu. Senyum di wajah Gubee sekejab hilang mendengar ucapan temannya itu.
“Kami siap membantumu Gubee. Ratuku juga mengatakan hal yang sama seperti solusi yang kau katakan kemarin. Karena memang itulah jalan satu-satunya.
“Aku telah mencobanya Antber, tapi tidak berhasil. Ratu itu, tidak mau memberikan telurnya padaku. Sedangkan, hanya itu satu-satunya koloni lebah yang ku ketahui di hutan ini,” terang Gubee lesu, seakan tak tertarik lagi dengan semua itu.
“Kita akan mencobanya kembali, tapi dengan cara lain.
“Cara lain?
Antber menceritakan rencana yang ada di pikirannya kepada Gubee.
Lanjut Bab 17