Di masa lalu... orang tua Sherli pernah berurusan dengan yang namanya polisi hingga harus berada di pengadilan. Sejak saat itu Sherli antipati dengan polisi tetapi di masa sekarang Sherli harus berhadapan dan ditolong seorang polisi yang bernama Kres Wijaya di kantor polisi. Apakah dengan adanya peristiwa tersebut penilaian Sherli tentang seorang polisi berubah atau justru gigih dengan penilaian sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phine Femelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Adik Polisi
Akhirnya Sherli duduk dengan pelan. Untung saja di depan toko ada bangunan berbentuk tempat duduk sehingga Sherli bisa menunggu di sana. Pukul 20.15. Sherli melihat Kres.
"Andai gak demi hutang gue..." pikir Sherli.
Seketika Sherli berhenti bicara dalam hati karena heran mendengar perkataan Kres.
"Ikut saya"
Sherli merasa malas menanggapi Kres sehingga langsung menolak.
"Langsung intinya saja. Setelah itu saya akan pulang"
"Kamu mau di sini? Nanti kalau kelihatan orang gimana?"
"Dia khawatir dengan seragamnya. Wajar, sih. Makanya ganti baju dulu, Pak" pikir Sherli.
Akhirnya Sherli menurut dan Kres memberikan helm kepada Sherli.
"Saya mau diajak ke mana, Pak?"
"Ke kantor"
"Apa? Maksudnya? Kenapa di sana?" tanya Sherli melotot.
Kres merasa lucu Sherli langsung shock.
"Saya tidak mau ikut Bapak" kata Sherli langsung menyodorkan helm.
"Kamu juga yang lucu. Kenapa saya harus mengajak kamu ke kantor kalau tidak ada hubungannya?" tanya Kres dengan mengangkat salah satu alisnya.
"Dasar menyebalkan ya? Astaga. Kenapa gue harus berhubungan lagi dengan polisi?" pikir Sherli.
Sherli mendengus kesal dan naik ke sepeda motor.
"Sudah bisa naik. Baguslah" pikir Kres.
Sherli memakai helm dan memilih melipat kedua tangannya lalu seketika Sherli dibuat jantungnya hampir keluar karena Kres menyetir dengan kecepatan tinggi dan spontan Sherli mencengkeram seragam Kres.
"Pak, plis!" teriak Sherli.
Kres sengaja tidak menghiraukan karena sudah biasa menyetir dengan kecepatan tinggi.
"Ah...astaga. Pak ini" pikir Sherli sebal.
***
Sherli segera turun dari sepeda motor dan mulai tidak bisa sabar lalu mengambil uang dari dalam kreseknya dan memberikan kepada Kres.
"Ini, Pak. Sementara saya cicil segitu. Bulan depan akan saya lunasi. Sudah. Saya langsung pulang saja" kata Sherli dengan mau berjalan pergi.
"Dik"
Sherli tidak jadi berjalan dan berusaha sabar.
"Mau ke mana?"
Sherli melihat Kres turun dari sepeda motor.
"Tidak perlu tahu"
"Yakin mau pergi? Kamu ada yang lupa"
Sherli merasa tidak mengerti.
"Helmnya lupa?"
Seketika Sherli memegang kepalanya dan merasa memegang benda keras. Sungguh Sherli merasa malu dan tidak enak lalu segera melepaskan helm dan mengembalikan kepada Kres.
"Maaf" kata Sherli pelan.
Kres menatap Sherli dan akhirnya mengambil lalu bersandar di badan sepeda motor dan melihat sebentar uang seratus ribu yang ada di telapak tangannya.
"Maksud kamu apa? Tidak ada angin tidak ada hujan kasih saya uang" tanya Kres dengan mengangkat salah satu alisnya.
Sherli merasa heran dan melihat Kres.
"Itu hutang saya yang kemarin diungkit. Ingat ya? Diungkit Bapak tapi memang harus diungkit, sih. Hutang memang harus dilunasi" kata Sherli menekan suara.
"Hutang diungkit? Maksud kamu?"
Sherli hampir menghentakkan kedua kakinya karena terlalu sebal Kres sok lupa.
"Apa gue dipermainkan?" pikir Sherli.
"Pak, saya ada hutang waktu awal kita bertemu. Bapak yang menolong saya mengantarkan ke terminal memberikan uang itu kepada saya. Saya tahu uang itu punya Bapak jadi saya ada hutang dan kemarin Bapak mengungkit"
"Oh...jadi Bapak itu memberikan uang yang gue kasih kepada dia?" pikir Kres.
"No"
Sherli merasa tidak mengerti.
"Saya tidak tahu tentang itu dan maksud saya kamu ada hutang itu...hutang cerita. Kemarin saya ada tanya. Gimana ceritanya kamu bisa kerja di toko A?"
Sherli jadi tertegun.
"Apa jadi semuanya...? Astaga. Berapa kali sudah gue malu di hadapan Pak ini?" pikir Sherli.
Kres memegang tangan Sherli dan meletakkan uang itu di telapak tangan Sherli.
"Kalau saya berniat mengungkit hutang kamu. Baiklah. Bukan cuma ini hutang kamu tapi biaya penginapan juga termasuk, bukan?"
Sherli melihat Kres dan Kres menatap Sherli lalu akhirnya mengangkat bahu dan melepaskan tangan Sherli.
"Artinya Pak ini gak mengungkit apapun dari gue?" pikir Sherli.
***
Setelah sekian lama hening di antara keduanya akhirnya terdengar suara Kres memulai pembicaraan. Jujur Sherli merasa tidak enak banyak salah paham bahkan ternyata di awal pertemuan mereka. Maksud Kres menyuruhnya pulang bukan karena terpaksa menolong tapi kepikiran apalagi setelah kejadian di mall. Akhirnya Sherli menemukan fakta yang sebenarnya. Kres tidak mengatakan semuanya tapi dari situasi hari ini yang terjadi. Kres dan Sherli duduk bersebelahan di kursi taman. Ya...mereka ada di taman. Sherli juga sudah menceritakan awal mulanya bisa kerja di toko A.
"Jadi benar dia teman kamu?"
"Teman SMA, Pak. Bapak tahu dari mana?"
"Sebenarnya waktu itu saya mendengar suara teriakan dan ternyata yang teriak kamu karena dikejar preman. Saya mau menghampiri tapi teman kamu sudah lebih dulu datang menolong"
"Kenapa bisa kebetulan?"
"Mau tahu artinya apa?"
"Apa?"
"Tugas saya untuk menolong kamu belum selesai" kata Kres pelan.
"Memang seorang polisi merasa begitu ya, Pak?"
"Maksud kamu?"
"Tidak apa-apa"
Kres melihat terus Sherli dengan merasa ingin tahu.
"Tidak apa-apa, Pak"
Kres berhenti melihat Sherli.
"...tapi sekarang saya baik saja" lanjut Sherli.
Seketika Sherli tidak menyangka Kres tersenyum. Jarang Kres bisa tersenyum.
"Jangan panggil 'Pak'. Masa dari awal dipanggil 'Pak'? Memangnya saya setua itu?"
"Benar juga. Bapak umur 23 tahun ya?"
"Tidak perlu sampai menyebut umur" kata Kres pelan.
"Kenyataannya. Kemarin Bapak bilang 'saya belum pernah..."
"Ssstt..."
Sherli tertawa pelan hanya sebentar. Baru sekarang Kres melihat Sherli tertawa lepas di hadapannya.
"Mana mungkin saya bisa panggil tanpa bilang 'Bapak'"
"Saya belum tua"
"Sama. Bapak panggil saya 'adik'"
"Kamu memang masih adik"
"...tapi saya bukan adik Bapak Polisi. Saya tidak mau jadi adik Bapak"
"Apa begitu? Kalau begitu mau jadi apanya saya?"
Sherli merasa heran Kres mulai memancingnya.
"Pokoknya saya bukan adik Bapak"
Kres merasa geli mendengar penuturan Sherli.
"Panggil saya nama tidak apa-apa"
"Begitu? Umur kita beda jauh, lho"
"Daripada dipanggil Bapak"
Sherli cuma tersenyum.
"Masih ingat Irfan?"
"Bapak Irfan temannya Bapak?"
"Hmmm...Bapak lagi"
"Benar juga. Saya sudah terbiasa, sih" kata Sherli dengan menutup sebentar mulutnya.
"Sebagai seorang polisi dia apresiasi ditolong rakyat jadi banyak mengucapkan terima kasih dan sebenarnya mau bertemu kamu. Kalau kamu ada waktu mau saya ajak ke kantor untuk bertemu Irfan?"
Sherli berpikir.
"Saya ada waktu pasti setelah tutup toko"
"Boleh"
"Jadi maksudnya boleh apa?"
"Besok saya datang lagi ke toko untuk jemput kamu"
"Apa tidak masalah? Lebih baik saya yang datang ke sana" kata Sherli segan.
"Sudah paham jalan?"
"Sedikit"
"Jangan. Nanti tersesat apalagi saya yang berniat mau ajak kamu jadi biarkan saya yang jemput"
"Ada syaratnya"
Kres mengangkat salah satu alisnya tapi Sherli tahu Kres tidak sebal justru mempersilahkan untuk bicara.
"Pulang tidak perlu diantar"
"Kita pulang sepertinya sudah malam"
"Baiklah di depan gang saja"
"Kenapa begitu?"
"Pokoknya begitu. Kalau tidak..."
"Hmmm...ternyata kamu senang mengancam" potong Kres.
"Saya tidak berani mengancam kamu"
Kres mengangkat bahu.
"Sesuai perkataan kamu" lanjut Kres.
Sherli cukup lega.