Dimas, seorang Mahasiswa miskin yang kuliah di kota semi modern secara tidak sengaja terpilih oleh sistem game penghasil uang. sejak saat itu Dimas mulai mendapat misi harian
misi khusus
misi kejutan
yang memberikan Dimas reward uang IDR yang melimpah saat misi terselesaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon slamet sahid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flash back (bag.3)
Ingin rasanya membantah kesombongan Saudarinya ini.
Namun, ia mencoba untuk tetap tenang, mengingat pesan ayahnya untuk selalu menjaga sopan santun.
Malam semakin larut, dan akhirnya keluarga Pak Kartono memutuskan untuk pamit. Pak Surya mengantar mereka sampai ke pintu, sementara Bu Lilis dan Vina hanya berdiri di ambang pintu dengan tatapan dingin.
"Terima kasih, Surya. Kami harus segera pulang. Kalau Kamu sekeluarga ada waktu, main- mainlah ke desa. " kata Pak Kartono sambil menjabat tangan adiknya.
"Sama-sama, Mas. nanti Kami rundingan dulu. Sebaliknya, Jangan sungkan untuk mampir lagi, bila ke Kota Mas. " balas Pak Surya dengan senyum.
Setelah mereka kembali ke mobil, suasana hening menyelimuti perjalanan pulang. Astrid bisa melihat raut wajah ayahnya yang tampak kecewa dan lelah."Pak, maaf kalau tadi Astrid tidak bisa menjawab mereka dengan baik," kata Astrid pelan.Pak Kartono menggeleng.
"Bukan salahmu, Nak. Mereka memang begitu, Alhamdulillah sifat Surya tidak berubah.Yang penting kita tetap rendah hati dan tidak terpengaruh oleh sikap Bilikmu dan Vina."
Astrid mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia merasa lega telah keluar dari situasi yang tidak menyenangkan itu. Namun, ia juga merasa prihatin melihat betapa besar perbedaan kehidupan antara keluarganya dengan keluarga Pak Surya. Karena sudah larut malam,akhirnya mereka menyewa kamar di hotel syar'iah Saat memasuki wilayah Karang Baru.
Pagi itu, mentari mulai menyinari kota Karang Baru dengan sinar lembut yang perlahan-lahan membangunkan seisi kota dari tidurnya.
Keluarga Kartono yang tadi malam menginap di Hotel Syariah ini yang terletak di pinggir kota, tempat yang nyaman dan bersahaja.
Bu Kartono, yang akrab disapa Bu Ningsih, sudah bangun lebih dulu, menyiapkan segala sesuatunya untuk perjalanan mereka ke rumah Kakak perempuannya.
Sementara itu di dalam kamar hotel, Pak Kartono baru saja selesai mandi dan sedang mengenakan kemeja yang telah disiapkan istrinya. Astrid yang masih terlihat mengantuk, duduk di sofa melihat hape sambil sesekali mengucek matanya. “ Habis Bapakmu, segera mandi Ti ! " Kita harus segera berangkat agar tidak terlalu siang sampai di rumah Bu Dhe mu,” kata Bu Ningsih sambil mengikat kerudungnya.
“Iya, Bu,” jawab Astrid sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Akhirnya pak Kartono selesai mandi, dengan sedikit malas, Astrid segera menuju kamar mandi untuk bersiap-siap.
Beberapa saat kemudian semua sudah siap, mereka segera turun ke restoran hotel untuk sarapan.
Restoran yang sederhana namun nyaman itu menawarkan berbagai hidangan khas daerah. Sambil menikmati nasi pecel Madiyun dan gorengan, mereka berbincang ringan tentang rencana hari itu.
“ Kira-kira, bagaimana ya kabar Bu Dhe Ningrum?” tanya Astrid sambil mengunyah makanan.
“Sudah lama kita tidak berkunjung ke sana, Semoga Mbak Ningrum sekeluarga baik -baik saja” jawab Pak Kartono.
“Yang penting, kita tetap tunjukkan kepedulian dan kasih sayang kita kepada mereka.”
Tak lama kemudian, mereka menyelesaikan sarapan dan kembali ke kamar untuk mengambil barang-barang mereka. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, mereka pun check-out dari hotel dan memulai perjalanan menuju rumah Kakak perempuan Bu Ningsih.
Perjalanan menuju tempat Bu Dhe Ningrum tinggal memakan waktu sekitar satu jam dari hotel.
Sepanjang perjalanan, Bu Ningsih menceritakan kepada Astrid dan Suaminya tentang masa kecilnya bersama Kakaknya, mengingatkan mereka tentang pentingnya keluarga dan persaudaraan.
Ketika mereka tiba di rumah Bu Dhe Ningrum, suasana rumah itu tampak lusuh dan kurang terawat. Bu Dhe, yang bernama lengkap Bu Ningrum Sri Utami, menyambut mereka dengan senyuman hangat, meskipun wajahnya tampak lelah.
Sementara Suami Bu Ningrum, Pak Roni, terlihat duduk di teras rumah dengan ekspresi dingin, sementara anak mereka, Toni, tampak acuh tak acuh dan malah sibuk dengan ponselnya.
" Assalamu'alaikum, Mbak,” sapa Bu Ningsih sambil memeluk Kakaknya.
“Wa'alaikumussalam, Ningsih. Senang sekali kalian bisa datang,” jawab Bu Ningrum dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Pak Kartono mengangguk hormat kepada Pak Roni, namun hanya mendapat anggukan singkat sebagai balasan. Suasana di rumah Budhe Ningrum tampak tegang dan tidak sehangat rumah mereka.
Bu Ningsih dan Bu Ningrum masuk ke dalam rumah, meninggalkan suami-suami mereka di teras.
Di dalam, mereka berbincang dari hati ke hati, membicarakan kehidupan yang semakin sulit bagi keluarga Bu Ningrum. Bu Ningsih bisa merasakan kepedihan Kakaknya, terutama ketika Bu Ningrum bercerita tentang perilaku suaminya yang kasar dan anaknya yang mulai terpengaruh pergaulan buruk.
“Kak, mengapa tidak mencoba berbicara baik-baik dengan Pak Roni?” tanya Bu Ningsih dengan suara lembut.
Bu Ningrum menghela napas panjang.
“Aku sudah mencoba, Ningsih. Tapi dia selalu marah dan tidak mau mendengar, bahkan pasti ngajak ribut.”
Bu Ningsih meraih tangan Kakaknya, mencoba memberikan dukungan. “Jangan menyerah, Mbak.
Kami ada di sini untuk mendukungmu. Mungkin kita bisa mencari solusi bersama.”
Di teras, Pak Kartono mencoba membuka percakapan dengan Pak Roni, namun hanya mendapatkan jawaban-jawaban pendek. Astrid asik bermain hape di halaman, merasa canggung dengan situasi di rumah Bu Dhe Ningrum.Hari itu seakan berjalan lambat, dengan suasana yang campur aduk antara kebahagiaan bertemu keluarga dan kesedihan melihat keadaan mereka.
Namun, Keluarga Kartono tetap berusaha menunjukkan kasih sayang dan kepedulian, berharap kunjungan mereka bisa membawa sedikit kebahagiaan dan semangat baru bagi Bu dhe Ningrum dan keluarganya.
.