Baron adalah mimpi buruk di mata Evelyn sejak pertama kali mereka bertemu. Berharap tidak bertemu lagi dengan Baron, namun takdir berkata tidak. Bagaimana mungkin Evelyn tidak trauma, dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Baron bercinta dengan pacarnya. Lalu bagaimana jadinya Evelyn malah terikat dengan Baron seumur hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IamLovelyvi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16
Baron meletakkan cahaya ponselnya ke arah Evelyn yang tengah meringkuk di samping tempat tidurnya. Gadis itu menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya sehingga ia tidak menyadari kehadiran Baron.
Baron berlutut tepat di depan Evelyn seraya menyentuh bahu gadis itu. Baron merasakan tubuh Evelyn gemetar hebat. Seketika Evelyn terkesiap saat mendapat sentuhan itu. Ia menegakkan kepalanya. Matanya yang dipenuhi rasa takut bertemu pandang dengan Baron.
"Berdiri." ucap Baron dengan wajah teduhnya. Pria itu seolah memberikan perlindungan kepada Evelyn, sehingga gadis itu dengan mudah terhipnotis di tengah ketakutannya.
Baron mengulurkan tangannya yang disambut oleh Evelyn. Baron mengambil ponselnya tanpa melepaskan genggaman tangan gadis itu. Ia menuntun Evelyn keluar dari kamar menuju kamarnya.
Tanpa melepaskan Evelyn, pria itu mengambil lilin yang selalu tersedia di kamarnya dan menyalakannya. Ruangan kamar yang tadinya gelap semakin terang berkat cahaya ponsel Baron dan sebuah lilin.
"Sepertinya badai akan cukup lama. Untuk sementara kau di sini dulu." ucap Baron.
"Besok aku akan meminta pelayan mengganti lampu kamar menjadi lampu darurat." sambung pria itu seraya menyalakan sebuah lilin dan meletakkannya di nakas dekat ranjang.
Evelyn duduk di tepi tempat tidur dan menenangkan dirinya, sementara Baron masih sibuk menyalakan dua lilin lainnya. Gadis itu sudah mulai tenang.
"Sejak kapan?" tanya Baron, mengalihkan Evelyn yang memandangi lukisan di dinding kamar Baron. Evelyn bergumam, "Sejak kapan kau takut gelap?" Baron memperjelas pertanyaannya.
Evelyn menggeleng, "Aku tidak mengingat kejadian itu dengan jelas, karena aku masih sangat kecil dan Mama Alea juga masih ada waktu itu. Yang kuingat aku pernah di kurung di sebuah gudang gelap oleh seseorang. Aku berteriak tetapi tidak tidak ada yang mendengarku. Aku pingsan dan ketika bangun, aku sudah ada di kamarku. Sejak saat itu aku takut berada di ruangan gelap." tutur Evelyn sambil menelisik ke masa lalu.
Baron mengangguk sambil menggeser sofa menghadap Evelyn setelah selesai menyalakan lilin sehingga membuat ruangan terang. Meski cahayanya temaram, setidaknya Evelyn tidak membuat Evelyn ketakutan.
Evelyn merasa was-was berada satu kamar dengan Baron yang notabenenya adalah pria yang ia takuti dan hindari. Tetapi Baron yang memahami dirinya memilih menjaga jarak dengannya. Malam semakin larut, Evelyn tidak sadar ketiduran di ranjang milik Baron, sementara pria itu ketiduran dengan posisi duduk di sofa.
Ketika pagi menjelang, Evelyn terbangun dan mendapati Baron masih di posisi yang sama. Ia beranjak dari tempat tidur membuat Baron terbangun.
"Terima kasih sudah menemaniku Kak Baron." hal yang pertama Evelyn katakan untuk mengurai suasana canggung yang tercipta dengan sendirinya.
Baron mengangguk sambil merenggangkan badannya yang terasa pegal akibat tidur di sofa. "Tidak apa-apa, yang penting kau bisa tidur dengan nyaman." balas Baron dengan senyum manisnya.
"Kau akan keluar?" tanya Baron kemudian.
Evelyn mengangguk, "Hari ini ada kelas jam sembilan."
"Duduklah sebentar, kau bisa bersantai sebelum siap-siap." Baron mengisyaratkan agar Evelyn duduk di sofa yang ada di depannya.
Melihat Evelyn ragu Baron menipiskan bibirnya, "Aku akan mengantarmu hari ini agar kau tidak terlambat." Pada akhirnya Evelyn duduk di depan Baron.
"Aku perlu menyelesaikan masa lalu kita yang membuatmu memiliki ketakutan tersendiri kepadaku. Aku menyadari kau membatasi diri terhadapku setelah kejadian empat tahun yang lalu, ketika aku berbuat hal yang tidak pantas padamu." tidak disangka-sangka Baron membahas hal itu. Evelyn tentu tahu kejadian mana Baron maksud.
Baron menatap Evelyn lekat serta mempelajari setiap perubahan di wajah gadis itu. Sesuai dugaannya tubuh Evelyn terlihat menegang.
"Evelyn, bisakah kita melupakan kejadian itu? Aku sadar kau menjadi takut padaku setelah kejadian itu. Kau menghilang dari pandanganku selama empat tahun lamanya. Aku ingin mengakhiri ketakutanmu itu." ucap Baron.
Gadis itu membalas tatapan Baron, "Aku tidak takut denganmu." balas Evelyn membuat Baron menyeringai.
"Kalau memang kau tidak takut kepadaku, lalu kenapa tidak pernah datang lagi ke rumah ini dengan Bibi Ellen. Padahal sebelumnya kau selalu ikut."
Evelyn memutar bola matanya setelah memikirkan sebuah alasan, "Kakak tahu aku sudah masuk SMA saat itu dan kegiatanku semakin padat. Mama Ellen tidak mau aku terlalu lelah, jadi dia menyuruhku istirahat di rumah."
Baron terkekeh dalam hati, "Jadi apakah ciuman itu tidak ada artinya bagimu?" pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu membuat Evelyn salah tingkah.
Dia terlalu malu mengakui hal itu, bagaimana mungkin first kiss nya tidak memiliki arti. "Aku..."
"Aku meyakini itu adalah ciuman pertamamu, sebab kau sangat kaget dan sampai menangis waktu itu." Baron tidak membiarkan Evelyn malu terlalu lama. "Jujur aku merasa bersalah telah melakukannya. Harusnya kau melakukan pengalaman berharga itu dengan laki-laki yang kau cintai. Tapi aku malah mencurinya." Baron mengatakan dengan wajah yang membuat Evelyn yakin bahwa dia memang benar-benar menyesal. Padahal dalam benaknya Baron merasa bangga menjadi yang pertama bagi Evelyn.
Semakin mengenal Evelyn lebih dalam membuat keinginan Baron semakin besar untuk memilikinya. Mungkin cinta belum tumbuh dalam hatinya, tetapi berada dekat Evelyn terasa menyenangkan baginya. Dulu ia bahkan tidak pernah peduli akan kehadirannya, bahkan ia selalu kesal karena Evelyn selalu dibanding-bandingkan dengan Laura. Baron tidak tahu kenapa begitu. Mungkin karena Evelyn membangun tembok yang tinggi terhadapnya membuat Baron merasa tertantang untuk menghancurkan tembok itu.
"Aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Tidak penting sama sekali." Evelyn selalu bertingkah seolah hal semacam itu tidak ada artinya.
"Benarkah? Jadi mulai sekarang bisakah kau bersikap normal dan tidak membatasi diri padaku?" mata Baron menyipit.
Evelyn mengangguk samar, "Aku akan melakukannya. Kalau memang kau merasa aku membatasi diri, itu karena kita tidak pernah bicara sebelumnya. Itu membuatku canggung untuk bersikap akrab denganmu. Kakak tahu sendiri, Mama Ellen selalu membatasi pergaulanku membuatku sulit berinteraksi dengan baru."
"Baiklah, kalau begitu jangan segan-segan lagi kepadaku. Aku akan sangat senang jika kita menjadi kau akrab padaku." balas Baron.
Evelyn jelas merasakan kecurigaan kepada Baron. Perubahan sikap pria itu sangat tidak wajar terhadapnya. Baron tiba-tiba bersikap lembut padanya membuatnya merasakan sesuatu yang tidak beres. Evelyn perlu mengetahui alasan Baron tiba-tiba ingin menjadi sahabatnya.
"Tapi aku perlu tahu alasan dibalik perubahan sikap Kakak kepadaku. Dulu aku bisa merasakan bahwa kau sangat membenciku. Setiap bertemu kau bahkan tidak menganggapku ada meski orang tua kita selalu mendekatkan kita. Aku merasa aneh dengan perubahanmu. Bisakah aku mengetahui alasan Kakak yang tiba-tiba bersikap baik padaku?" tutur Evelyn tanpa melepas pandangan dari Baron.
"Itu, aku..."