"Pokoknya aku mau Mama kembali!"
"Mau dibawa kemana anakku?!"
"Karena kau sudah membohongi puteriku, maka kau harus menjadi Mamanya!"
Tiba-tiba menjadi mama dari seorang gadis kecil yang lucu.
"Tapi, mengapa aku merasa begitu dekat dengan anak ini ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linieva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Bab Dua
Semua pegawai staf di mall itu habis dimarahi Sadewa. Perkara CCTV yang tidak layak digunakan, rusak, atau ada yang beberapa tempat tidak memiliki CCTV. Dari jabatan tinggi hingga jabatan paling bawah, tidak ada yang luput kena omelannya.
“Ba-baik, Pak. Kami akan menggantinya dengan baru.”
“Pak, di sana, ternyata ada CCTV yang masih menyala. Mungkin, rekamannya bisa memberikan anda jawaban dari yang anda cari.” Kata karyawan lain.
Sadewa pun buru-buru untuk mengeceknya. Dan benar saja, memang tampak terlihat sekelompok pria dewasa sedang menggendong puterinya yang hendak dibawa pergi. Dan terlihat juga, perempuan yang dia temui, menolong anak satu-satunya itu. Hanya gambar yang bergerak, tapi tidak bisa menangkap suara yang sedang mereka bicarakan. Tapi, video itu sudah menjadi bukti, bahwa wanita yang dia temui, memang tidak bersalah.
Apakah Sadewa menyesali kekasarannya? Tidak sama sekali. Dia anggap itu hanya kesalah pahaman yang bisa saja terjadi.
Sadewa ingin kembali ke parkiran mobil, menemui anaknya yang dititipkan pada pengasuhnya.
Belum sampai di mobil, dari jauh, sudah terdengar suara tangisan dari Anisha, menjerit disana.
“Sshhtt, Nona Anisha, berhenti menangis ya. Sebentar lagi papanya datang kok.”
‘Akh, menyebalkan sekali. Aku paling benci dengan anak-anak, salah satunya ya ini. Menangis terus kerjanya.’
‘Kalau bukan karena Nona Miranda, sudah aku tinggalkan saja anak manja ini.’
“Ada apa? Kenapa kamu menangis, Anisha?” tiba-tiba Sadewa sudah membuka pintu mobil.
“Papa! Papa, Mama mana?” Anisha mencari sosok wanita yang dia panggil ‘Mama’ yang menolongnya tadi.
“Itu… mama kamu…”
“Papa memayahi mama lagi??”
“Bukan, Nak.”
“Teyus, mana Mama?!”
“Sayang, kamu tenang dulu, jangan menangis dan marah-marah.” Sadewa berusaha menenangkan puterinya dalam pelukannya, tapi Anisha malah semakin menjadi-jadi menangisnya.
“Gak mau! Aku mau mama! Aku mau mama! Papa jahat, papa ngusiyl mama!”
“Anisha, tenangkan dirimu dulu. Kalau kamu menangis seperti ini, kamu bisa sakit, Nak.”
Anisha menangis keras. Dia berkeringat, dan batuk-batuk. Sadewa sangat panik, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Dan apa yang membuatnya khawatir, terjadi.
“Anisha! Nak, Anisha, buka matamu, Nak.” Anisha pun pingsan dalam pelukannya. Sadewa berusaha memanggil nama puterinya agar bangun, tapi tetap saja.
“Kita ke rumah sakit sekarang!”
*
“Yeyy… Tante sudah pulang.” Mira, anak perempuan berusia lima tahun, sangat senang ketika melihat Alisha pulang. Apalagi ketika melihat bungkusan yang Alisha bawa.
Alisha memeluk keponakannya yang lucu itu.
“Tante, itu apa?”
“Ini?”
“Iya.” Mira mengangguk penasaran.
“Besok kamu tahu sendiri. Kalau sekarang, ini masih rahasia.”
“Akh… Mira mau tahu sekarang.”
“Jangan dong. Kan jadi gak kejutan lagi namanya.”
“Oh, itu hadiah ulang tahun untuk Mira ya, Tante?”
“Mmm… enggak tuh.”
“Akh, Tante bohong.” Tapi Mira tidak marah, dia malah memeluk Alisha.
“Mira, jangan ganggu tante kamu.” Fabian, pria berusia 28 tahun, kakak kandung Alisha sekaligus ayah dari Mira.
“Aku gak ganggu Tante kok Yah.”
“Itu kamu malah mencekiknya.”
“Akh… enggak kok.” Mira segera melepas tangannya dari leher Alisha, bukan bermaksud untuk menyakiti tantenya. Tapi, Fabian hanya bercanda, dia suka sekali menjahili puterinya.
“Akh… Ayah dan Tante senang banget ngusilin Mira.”
“Ini, kamu harus makan dulu. Dari tadi siang, kamu belum makan, sekarang makan dulu.”
Mira mengambil piring yang berisi makanannya, dan memberikannya pada Alisha, “Loh, Mira? Kenapa kamu kasih sama tante kamu?” tanya Fabian.
“Ini buat Tante makan ya? Wah, Mira baik banget ya. Kebetulan sekali Tante belum makan nih.”
“Bu-bukan Tante. I-ini buat Mira. Mira mau, Tante suapin aku makan. Ta-tapi kalau Tante lapar, Tante makan saja.” Mira jadi tidak tega menyuruh Alisha, padahal Alisha hanya bercanda mengatakan dial apar.
“Hahaha, biar Tante suapin kamu dulu makannya ya. Sini.”
“Alis, kau kan baru pulang, lebih baik istirahat saja dulu. Biar aku yang suapin Mira.”
“Gak apa-apa, Kak. Aku juga belum capek kok.”
“Akh, terserah kamu sajalah. Habis nyuapin keponakanmu, kamu istirahat langsung, atau makan dulu. Kakak iparmu sudah menyiapkan makanan tadi.”
*
Sadewa terus berada di samping puterinya yang belum bangun dari pingsan. Di rumah sakit, dia menggenggam tangan kecil itu, dan menciumnya, memberikan rasa sayang dan harapan pada puterinya agar segera bangun.
“Anisha, bangunlah Nak. Apa kamu gak kasihan sama Papa?” Sadewa bicara sendiri. Dia mengusap kepala puterinya, memberikan sentuhan hangat menandakan kalau dia tidak meninggalkan puterinya sendiri.
‘Ya Tuhan, tolong sehatkan anakku. Aku tidak mau dia sakit seperti ini. Hatiku sangat sakit melihat tubuhnya yang tak berdaya.’
Anisha Dahayu Farraz, adalah puteri kandung dari Sadewa Sapta Farraz. Anisha, sering sakit-sakitan karena memiliki tubuh yang lemah. Sudah berobat kemana-mana bahkan sampai keluar negeri, penyakitnya belum sembuh juga. Breath Holding Spells, refleks tubuh ketika anak tidak dapat mengendalikan rasa marah, sedih, takut, kaget, ataupun frustrasi. Apalagi jika dia tak hentinya menangis, bisa juga terkena demam yang tinggi.
“Papa…” Anisha menggerakan ujung jarinya. Perlahan, dia menengok kesamping, tempat Sadewa berada.
“Iya Sayang, ini Papa Nak.” Sadewa berdiri dari kursinya. Dia ingin menunjukan wajahnya pada puterinya.
“Papa, Mama… mana Mama?” masih saja Anisha mencari mamanya, padahal tubuhnya sangat lemah dan suaranya pelan. Sejak lahir, Anisha memang belum pernah melihat orangtua perempuannya, dan Sadewa tidak pernah menjelaskannya dengan benar.
“Mama kamu…”
“Anis… Anis mau bertemu Mama, Pa.”
“Iya Nak, mama kamu…. Mama kamu sebentar lagi akan datang. Tapi, kamu harus sehat dulu ya.”
“Papa…. Gak bohong kan?”
“Enggak Sayang, Papa tidak berbohong padamu. Apa yang kamu rasakan sekarang, Anisha? Apa kamu masih merasa sesak?”
Anisha menggelengkan kepalanya, “Anisha cuma mau bertemu sama mama. Anisha kangen, Pa.”
“Iya, mama kamu juga bilang, dia kangen. Katanya, karena ada urusan sebentar, sambil membelikanmu hadiah, kalian akan bertemu lagi.”
“Janji, Pa?” Anisha menunjukan jari kelingkingnya untuk membuat janji.
“Iya Sayang. Papa tidak berbohong.
Dalam hati Sadewa, ‘Kemana aku harus mencari wanita itu?’
Ceklek!
Sadewa melihat seseorang yang baru masuk, “Sadewa, bagaimana keadaan Anisha sekarang?” dia adalah pacarnya Sadewa, Miranda Sari. Wanita yang cantik berambut pendek dan putih. Mereka sudah menjalin hubungan selama empat tahun.
“Sshh, dia baru saja bangun. Pelankan suaramu.”
“Maafkan aku.” Miranda berjalan lebih dekat, “Hallo Nak, apa kabar?” Miranda melambaikan tangannya menyapa Anisha, dia tersenyum padanya.
Tapi, bukan balasan sapaan yang diterima, Anisha malah buang muka, seakan tidak mau melihat calon ibu tirinya itu.
“Aku dengar dari pembantumu di rumah, kau ada di rumah sakit, makanya aku datang ke sini. Apa kata dokter tentang keadaan Anisha?” Miranda sengaja memegang bahu Sadewa, sebagai tanda ingin memberinya kesabaran.
“Dia terlalu banyak menangis. Dan itu yang membuat tubuhnya lemah. Dia, terus memanggil ‘Mama’.”
“Mama? Sadewa, dia menginginkan sosok ‘Mama’, kenapa kau masih ragu kita menikah?”