Seruni adalah seorang gadis tuna wicara yang harus menghadapi kerasnya hidup. Sejak lahir, keberadaannya sudah ditolak kedua orang tuanya. Ia dibuang ke panti asuhan sederhana. Tak ada yang mau mengadopsinya.
Seruni tumbuh menjadi gadis cantik namun akibat kelalaiannya, panti asuhan tempatnya tinggal terbakar. Seruni harus berjuang hidup meski hidup terus mengujinya. Akankah ada yang sungguh mencintai Seruni?
"Aku memang tak bisa bersuara, namun aku bisa membuat dunia bersuara untukku." - Seruni.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Nangis, Runi!
Seruni
Hari demi hari terus berlalu. Usia kehamilanku kini semakin bertambah. Perutku semakin besar setiap harinya. Lantas apakah beban hidupku semakin kecil? Tentu saja tidak.
Aku sadar kalau aku sudah menjadi bahan gunjingan tetanggaku. Aku tinggal seorang diri, menjadi buruh cuci dari rumah ke rumah dan kini perutku membesar. Tentu saja banyak bisik-bisik karena aku hamil tanpa ada suami. Tatapan-tatapan penuh rasa ingin tahu dengan hidupku terasa bak menusuk tajam setiap kali aku berjalan pulang dan pergi bekerja. Manusia yang terlalu mencampuri urusan manusia lain pun mulai bergunjing, bahkan sampai terdengar di telingaku. Kini, bukan hanya gunjingan, mereka tak segan bertanya langsung padaku.
"Runi! Kamu ... hamil?" tanya Bu Nunung, tetangga sebelah rumah kontrakanku yang terbiasa duduk di teras rumahnya sambil mengupas bawang. Teman-teman Bu Nunung menatapku lekat, mereka juga ingin tahu jawabanku.
Aku menganggukkan kepalaku pelan. Kuletakkan tanganku di dada lalu membentuk gerakan perut buncit di perutku. "Ya, aku hamil."*
Mereka semua terkejut. Ah, itu hanya pura-pura, aku tahu mereka semua hanya berakting. Mereka pasti tahu kalau aku hamil, bertanya langsung padaku hanya formalitas saja. Basa-basi, bahasa kerennya.
"Berapa bulan?" Bu Nunung kembali berbasa-basi. Perutku sudah besar, pasti ia sudah menduga kalau aku sudah mendekati bulannya.
"8."* Kutunjukkan 8 jariku.
"Sudah besar ya? Sebentar lagi lahiran dong? Suami kamu ... kemana ya? Kok tak pernah kelihatan? Siapa yang akan mendampingi kamu nanti saat melahirkan?" tanya Bu Nunung lagi. Inilah pertanyaan intinya.
Teman-teman Bu Nunung pasti menunggu jawabanku. Tatapan mereka terus tertuju padaku. Apa yang harus aku jawab? Tak mungkin aku mengatakan kalau aku diperkosa, nanti mereka menyuruhku lapor polisi, urusannya bisa makin panjang. Sudahlah, berbohong lebih baik.
Kukeluarkan kertas dan pulpen lalu menuliskan jawabanku. "Suamiku sudah tiada."
Ibu Nunung dan teman-temannya bergantian membaca tulisan tanganku. Mereka menutup mulutnya karena terkejut. Mata mereka nampak sedih dan mengasihaniku. "Ya Allah, Runi. Kasihan sekali nasib kamu. Kamu masih muda, kamu bahkan lebih muda dari anakku. Malang sekali nasibmu, Nak."
"Terima kasih."* Kusentuh daguku dengan telapak tangan lalu mengayunkannya ke depan.
"Jangan segan-segan meminta bantuan kami ya!"
"Iya, kalau perutmu mulas, cepat kasih tau. Kami akan datang dan menemanimu selama melahirkan."
"Kamu kuat ya, Runi. Kami akan selalu siap 24 jam kalau kamu butuh bantuan. Jangan sungkan-sungkan!" Bu Nunung dan ibu-ibu yang lain nampak simpati padaku. Aku tersenyum haru, masih ada yang peduli padaku rupanya. Setelah menuliskan terima kasih, aku pamit dan meninggalkan mereka untuk pergi bekerja.
****
Aku sengaja berangkat lebih pagi. Perutku sudah semakin besar. Untuk berjalan kaki jarak jauh sudah terasa pengap. Biasanya aku hanya butuh berjalan kaki setengah jam tapi kini bisa 45 menit. Aku kadang harus duduk dulu untuk memulihkan staminaku.
"Minum dulu. Jangan langsung mengurus cucian." Rose memberikan segelas air putih untukku. Rose sedang merapikan beberapa barang di tokonya sebelum pembeli datang.
"Terima kasih."* Kuteguk air putih banyak-banyak. Tak lama aku pamit ke toilet. Semakin besar perutku, semakin sering aku ke toilet. Mungkin karena janin di tubuhku sudah menekan kantung kemihku, membuatku sering buang air kecil.
"Kandunganmu sudah semakin besar, Runi. Apa kamu tak mau menelepon ayah anakmu? Siapa yang akan mendampingimu setelah melahirkan nanti? Bukannya aku tak peduli tapi aku harus menjaga toko. Tak bisa selalu menjagamu," kata Rose. Hubunganku dan Rose yang semakin dekat membuatku akhirnya mau menceritakan kisah kelam hidupku padanya. Hanya Rose yang kupercaya saat ini.
Kuambil cucian kotor dan merendamnya dengan air sabun. Untunglah cucian di rumah Rose tidak banyak hari ini. Aku bisa mengerjakan kerjaan di rumah sebelah. Uangnya lumayan untuk menambah tabungan. Sebulan lagi, aku tak akan bisa bekerja. Aku harus memulihkan kondisi tubuhku dulu sehabis melahirkan.
"Berikan nomornya padaku! Biar aku yang telepon!" desak Rose. Ia memaksaku menghubungi Mas Avian. Awalnya aku menolak namun Rose tak akan berhenti sampai aku memberikan nomor telepon rumah Mas Avian.
Rose menghubungi nomor telepon rumah Mas Avian dengan telepon di ruko. Kening Rose berkerut tajam. "Kamu yakin ini nomornya?"
Aku memeriksa nomor telepon yang kuberikan. Benar. Tak ada yang salah. Aku menganggukkan kepalaku.
"Tak bisa dihubungi. Sepertinya sudah diputus. Sial! Dasar laki-laki kurang ajar! Kalau aku bertemu dengannya, akan aku tampol dia!" maki Rose.
Tak bisa dihubungi? Apa ini maksudnya Mas Avian tak mau aku menghubunginya lagi?
"Tak perlu menangisi laki-laki seperti itu, Run! Tak pantas dia. Laki-laki pengecut macam dia tak layak dapat air mata kamu. Kamu berikan saja alamatnya, nanti aku datangi dan tampol dia!" Rose terlihat emosi. "Minggu depan aku ada rencana ke sana, ada acara keluarga. Aku akan datangi dia. Anaknya sudah mau lahir kok tak ada pedulinya sama sekali? Kucing saja masih peduli sama anaknya, kenapa manusia tidak sih?"
Aku menatap Rose dengan tatapan penuh harap. Mataku berkaca-kaca. Kuberikan alamat Mas Avian pada Rose dengan harapan Mas Avian tahu kalau aku sedang mengandung anaknya namun sepulang dari luar kota bukan kabar baik yang kudengar dari Rose ....
"Rumah itu sudah dijual, Runi. Aku tak bisa tahu dimana laki-laki itu tinggal. Oh iya, ini." Rose memberikan sebuah surat yang dulu kukirimkan untuk Mas Avian. Surat yang memberitahu dimana alamatku sekarang. Surat tersebut masih utuh belum ada yang membukanya. "Kutemukan di dalam kotak surat rumahnya bersama banyak surat lain. Sepertinya mereka sudah lama pindah."
Aku duduk di lantai dengan pandangan kosong. Mas Avian kabur. Ia lari dari tanggung jawab. Ia berbohong padaku. 1 persen harapanku hilang sudah. Laki-laki pengecut itu tak akan pernah mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.
"Jangan nangis, Runi. Jangan nangis. Tolong, aku mohon jangan nangis." Rose ikut duduk di sampingku. Rose memukul dadanya sambil menangis. "Ada aku! Aku akan selalu ada di sisi kamu. Aku yang akan menemani kamu. Jangan nangis aku mohon ... jangan tangisi laki-laki itu. Ada aku, Runi. Ada aku ...."
Air mataku menetes semakin deras. Dalam pelukan Rose kutumpahkan semua rasa putus asaku. Satu yang kusyukuri dalam hidup ini adalah bisa mengenal Rose.
"Jangan nangis, Runi! Jangan nangis!"
****
Fikiran mu Vi, terlalu menjurus....🤣
eh jd papa Dio dan mama Ayu...itu yg punya bisnis Ayu Furniture itu?...olala...😂😂😂