Rumah tangga Nada Almahira bersama sang suami Pandu Baskara yang harmonis berubah menjadi panas ketika ibu mertua Nada datang.
Semua yang dilakukan Nada selalu salah di mata sang mertua. Pandu selalu tutup mata, dia tidak pernah membela istrinya.
Setelah kelahiran putrinya, rumah tangga mereka semakin memanas. Hingga Nada ingin menyerah.
Akankah rumah tangga mereka langgeng? Atau justru akan berakhir di pengadilan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Budy alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
"Ke mana Nada sama Shanum?" tanya Pandu kepada dirinya sendiri saat tidak melihat anak dan istrinya tidak ada di kamarnya.
Pandu melepas jas kemudian keluar mencari anak istrinya ke luar. Siapa tahu menunggunya sampai ketiduran di luar.
Pandu sudah mengecek ke seluruh ruangan, tapi dia tidak menemukan anak dan istrinya. Dia mulai panik, mengecek ponselnya. Tidak ada pesan yang terkirim, hanya panggilan berkali-kali yang tadi dia abaikan.
Pandu mengetuk pintu kamar Minah, dia pasti tahu istri dan anaknya. Pandu sudah berdiri sekitar lima menit, tapi tak ada tanda-tanda Minah.
"Apa sudah tidur?" tanyanya sembari kembali mengetuk pintu.
Karena tak kunjung di buka, Pandu memaksa membuka pintu yang ternyata tidak terkunci.
"Minah," panggil Pandu diambang pintu.
Pandu menatap lekat ruangan Minah yang kosong. "Mereka ke mana?"
Pandu cemas, ia bergegas menghubungi Nada. Dia takut terjadi sesuatu dengan mereka.
Sampai larut malam ponsel Nada dan Minah tidak bisa yang ada dihubungi. Mau telepon ke rumah mertuanya dia takut.
Pandu memutuskan untuk tidur, dia akan mencari Nada dan putrinya besok pagi. Dia yakin pasti dia pulang.
Pagi-pagi buta Pandu berlari menyusuri lorong rumah sakit setelah mendapatkan telepon dari pembantunya.
Mata yang masih mengantuk pun tak dihiraukan, dia sangat cemas mendengar sang istri jatuh sakit.
"Bik, di mana Nada?" tanya Pandu dengan napas terengah-engah.
"Ada di dalam, Mas," kata Minah sembari menimang Shanum yang terbangun.
Pandu masuk ke ruangan perlahan melihat sang istri telihat sangat lemas.
"Sayang," lirih Pandu sembari duduk di kursi bekas Minah.
Perlahan Nada membuka matanya, menatap Pandu dengan sayu. Nada menarik tangan yang di genggam oleh Pandu.
"Maaf, sayang aku ... ,"
"Tidak usah minta maaf, kamu tidak salah kok. Kamu lebih baik pulang dan kerja." Nada menyela ucapan Pandu yang akan memberikan seribu alasan dengannya.
Nada tidak mau mengganggu suaminya, dia pikir suaminya lebih prioritaskan kerjaanya dibandingkan dirinya.
Nada sadar jika sejak awal dia memang menjadi nomor sekian dihidup Pandu. Dulu mertua dan iparnya sekarang pekerjaanya.
"Kamu kok ngomong seperti itu, aku kan tidak sengaja," katanya dengan sedikit kesal karena perhatiannya tidak disambut baik oleh istrinya.
"Mas, aku kan mau berubah lebih pengertian. Kamu senang kan istri yang perhatian," katanya dengan berusaha duduk agar lebih enak berbicang dengan suaminya.
Pandu ingin membantu tapi di tolak oleh Nada, "Aku bisa sendiri Mas, lagian aku cuma kelelahan saja bukan sakit yang parah," Nada masih membiarkan bibirnya tersenyum.
Dia memang sakit tapi berusaha untuk kuat, dia ingin melakukan apapun sendiri tanpa bantuan suaminya lagi. Ketidakpedulian Pandu terhadapnya membuat Nada ingin mandiri.
"Pandu, Nada itu sakit biasa. Pasti dia pura-pura biar dapat perhatian kamu," sambar Wina sembari berjalan mendekati anak dan menantunya. Matanya menatap tajam tidak percaya dengan menantunya.
"Buk, Nada sakit karena sering begadang menjaga Shanum." Pandu membela Nada setelah mendapatkan cerita dari Minah.
Minah sudah jengah dengan kelakuan majikan lelakinya, dia kasihan dengan Nada yang setiap hari begadang menjaga Shanum.
Sedangkan Pandu enak-enakan tidur, marah-marah. Dan sering tak menghargai Nada. Sehingga dia mengatakan semua pekerjaan Nada di rumah.
"Alah, itu pasti akal-akalan istrimu saja. Dia mau malas-malasan. Ibu dulu mengurus kamu sama Ayu saja tidak sampai sakit," cerca Wina dengan wajah nyinyir. Dia menganggap semua akal-akalan menantunya.
"Kau ini hanya buang-buang uang Pandu saja," imbuh Wina dengan melirik matanya ke arah Nada tajam.
"Aku bayar rumah sakit pakai uangku sendiri buk, jadi tidak meminta Mas Pandu," ucap Nada dengan tersenyum manis.
Sekuat hati Nada harus tersenyum, meskipun hatinya perih seperti tercabik-cabik mendengar suara ibu mertuanya yang menyakitkan.
"Dari mana kamu mendapatkan uang? Pasti korupsi uang anakku kan?" tuduh Wina, matanya melotot mengintimidasi Nada.
"Korupsi?" Nada terkekeh mendengar tudingan dari ibu mertuanya. "Uang yang diberikan Mas Pandu saja pas-pasan bagaimana aku korupsi?" Nada menggelengkan kepalanya lemah.
Pagi ini tenaganya terkuras habis, dia masih tidak enak badan masih harus berdebat dengan ibu mertuanya.
Sang suami yang harusnya menjadi garda terdepan pun hanya diam tak berkutik saat ada ibunya.
"Untung saja aku masih memiliki keluarga yang sayang sama aku," sindir Nada.
"Kalau uang bulanan kamu kurang kenapa tidak bilang? Kamu mau mempermalukan aku?" ujar Pandu ketar-ketir. Pasti dia akan dicap jelek kepada keluarga istrinya.
Nada lelah sekali menjelaskan semua ini, dia meminta untuk periksa dokter saja tidak dikasih. Justru dia lebih mementingkan adik kandungnya.
"Nada, awas ya kalau kamu berani menjelekkan anak ibu!" ancam Wina dengan mendorong pundak Nada.
"Ibu, aku mau tanya? Sebenarnya ibu merestui hubungan aku sama Mas Pandu atau tidak?" ujar Nada dengan kedua mata berkaca-kaca.
Sudah lama Nada ingin tahu dia diterima atau tidak oleh ibu mertuanya itu. Dan akhirnya ada kesempatan untuk mengutarakannya.
"Kalau aku tidak merestui apa kamu mau bercerai dengan Pandu?" tantang Wina. Dia ingin lelakinya lepas dari Nada.
"Ibu, jangan sembarangan bicara!" bentak Pandu. Dia memang sedang bosan dengan sang istri tapi dia tidak punya keinginan untuk bercerai dengan Nada.
"Kenapa memangnya? Ibu hanya mau yang terbaik. Menemukan istri yang bisa mengurus rumah. Seperti Ayu," kata Wina. Dia membandingkan Nada dengan adik iparnya itu.
"Buk, sebenarnya Ayu itu anak kandung ibu atau perempuan yang ingin ibu jodohkan dengan Mas Pandu?" Nada melipat kedua tangannya, menatap penuh curiga kepada ibu mertuanya.
Pandu dan Wina kaget mendengar lontara kata-kata dari Nada. Dia tidak menyangka Nada sampai berpikir sejauh itu.
"Nada, kau ini memang kelewatan. Ayu anakku." Wina menggelengkan kepala.
"Sayang, kamu masih saja cemburu dengan adik perempuanku?" Pandu menghela napas panjang.
Pandu merasa kekesalan Nada dengan masalah yang sama yaitu Ayu. Sehingga dia merasa merembet ke masalah yang lain.
"Memang aneh istri kau ini, bisa-bisanya cemburu dengan adik kandungmu sendiri." Wina sudah tidak bisa berkata-kata dengan menantunya. Meragukan status putri kandungnya.
Perempuan paruh baya itu serasa ingin teriak di telinga Nada. Andai saja dia tidak di rumah sakit mungkin dia sudah menjambak rambut menantunya itu.
"Sayang, ayolah, sampai kapan kamu mau cemburu dengan adikku?" tanya Pandu menggenggam tangan Nada. Pandu memohon agar Nada berhenti mencurigai dia memiliki hubungan dengan adiknya sendiri.
Awalnya dia takut kalau Nada mengetahui kedekatan dia dengan Eva. Namun, diluar dugaannya ternyata kebersamaan dengan teman kantornya tidak tercium.
Nada melepakan genggaman tangan Pandu, ia menatap wajah suaminya yang tampak lusuh pagi ini. Kemudian menatap ibu mertuanya.
Lantas dengan jelas ia mengatakan, "Ibu mau tahu aku mau bercerai atau tidak dari Mas Pandu?"