Alma, Si anak baru di Sub Bagian SDM Rumah Sakit Harapan Hati mendadak terkenal di hari pertama masuk kerja. Alasannya yaitu wajahnya yang mirip dengan dr Ilman, Si tampan dari poli anak. Tidak hanya wajah, nama mereka juga mirip, Alma dan Ilman.
Gara-gara ini, banyak yang mengira bahwa keduanya adalah saudara, padahal bukan. Adik dr. Ilman yang sebenarnya juga bekerja di divisi yang sama dengan Alma. Tapi, karena suatu alasan, dia tidak mau mengakui bahwa Ilman adalah kakaknya sendiri.
...
"Saya izinkan kamu buat pamer kalau kita berdua bersaudara. Kalau bisa, puji saya tiap hari biar pekerjaan kamu makin gampang.” - Ilman -
“Hahaha... Dokter bercanda, ya?” - Alma -
“Saya serius. Sombongkan saja nama saya. Bukankah bagus kalau kamu jadi adik dari orang yang jenius dan ganteng seperti saya?”
Dih! Bisa ya, ada orang senarsis dan sesombong ini. Dokter pula. Pasiennya tidak apa-apa, tuh?
Tapi, anehnya Alma merasa pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eggpudding, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Brother Complex
“Bang, tadi ada yang fotoin Abang diem-diem. Itu gapapa?” tanyaku begitu masuk ke dalam mobil.
Bang Salman mengendikkan bahunya. Dengan santai dia berkata, “Masa bodoh. Dari Ibu Kota aja Abang udah diikuti paparazzi. Santai aja lah. Toh perginya juga sama kamu.”
Bukan berarti banyak yang tahu kalau aku adiknya Salman Ragnala. Buktinya, di rumah sakit ini saja tidak ada yang tahu. Malahan dikira adiknya dokter gila dari poli anak.
Tapi, bagi orang yang pernah satu SMP maupun SMA dengan kami pasti tahu. Mereka bisa saja langsung mengkonfirmasi hubungan kami sebenarnya. Jadi, benar kata Bang Salman, dia tidak perlu khawatir gosip kalau perginya denganku.
“Omong-omong mau ke mana, nih?” tanya Bang Salman sambil melajukan mobilnya ke jalan raya.
“Ke mall yang baru aja. Abang tahu gak, yang deket alun-alun kota?” saranku.
“Oke.”
Mobil porsche keluaran tahun lalu itupun melaju kencang menuju tujuan. Agak jauh dari rumah memang, tapi justru itulah yang Bang Salman harapkan. Dia tidak mau ketemu orangtua kami, terutama Papa.
Seperti yang pernah kuceritakan dulu, hubungan mereka tidak terlalu baik semenjak Bang Salman memutuskan untuk mengejar karier sebagai aktor. Papa dari dulu berharap Bang Salman bisa menjadi PNS seperti dirinya. Dengan begitu, harapannya kehidupan pensiunnya akan terjamin.
Namun, Bang Salman yang keras kepala berpegang tegus pada mimpinya. Diapun menentang keinginan Papa. Mereka bertengkar hingga kalimat pengusiran pun Papa ucapkan. Semenjak itu, Bang Salman kabur dari rumah hanya bermodalkan uang yang dia kumpulkan dari kelas 10 dengan bekerja sambilan sebagai penyanyi kafe.
Diam-diam, aku dan Mama masih berkomunikasi dengan Bang Salman. Kadang-kadang juga kami bertemu di belakang Papa. Sementara itu, Bang Salman masih belum berani bertemu Papa lagi saking takutnya dengan amarah beliau.
“Kamu bilang Mama gak soal aku ke sini?”
Aku menggelengkan kepala dan menjawab, “Belum, sih. Abang mau bilang? Mama kangen banget loh sama Abang.”
“Jujur Abang juga kangen banget. Udah lima bulan gak ketemu.”
“Kenapa sih Bang, harus berantem sama Papa? Segitunya banget gak diizinin jadi artis. Padahal sekarang Abang terkenal banget.”
Bang Salman mendengus kasar sambil membelokkan setirnya.
“Gak tahu lah, Dek. Pemahaman Papa sama Abang terlalu beda soal hidup. Tapi, cepat atau lambat, Abang juga harus ketemu sama Papa.”
“Kalau itu terjadi, Dedek mau selametan. Ngundang Reza Rahardian sama Iqbal Ramadhan buat acara doa bersama-nya juga kalau bisa.”
Mendengar celotehan ngasalku, Bang Salman pun tertawa lepas.
“Ya, ya... Ntar Abang bilangin ke mereka kalau jadi.” katanya.
Kami terus bercanda selama perjalanan dan saling mengejar update-an cerita hidup satu sama lain, hingga kemudian kami sampai di basement parkiran mall yang kami tuju.
“Mau langsung makan? Atau mau ke mana dulu, nih?”
Sejenak aku berpikir. Sebetulnya aku tidak terlalu lapar karena masih jam segini.
“Jajan dulu aja, yuk! Ada ice cream enak di sana. Habis itu, temenin Dedek beli skin care sama make up.” sahutku yang langsung diberi acc oleh Bang Salman.
Jadilah kami menghabiskan uang untuk berbelanja. Tepatnya, aku yang menghabiskan uang Bang Salman, sih. Tidak cuma untuk jajan, skin care, dan make up, ujung-ujungnya aku juga minta dibelikan baju yang agak mahal dan beberapa aksesoris.
Punya kakak berduit, yaa harus dimanfaatkan dong. Paling habis ini tinggal cari alasan ke Papa supaya tidak ketahuan kalau Bang Salman jajanin aku.
Sepanjang jalan tangan kami terus bertautan seakan tidak mau lepas. Dan di saat seperti inilah aku merasa menang, karena bisa melihat tatapan iri dari para perempuan. Sekarang Bang Salman memang sedang memakai kacamata dan masker, tapi cukup dengan postur dan auranya semua orang akan tahu kalau dia cogan.
“Udah lapar, nih. Makan, yuk!” ajakku seraya menariknya ke sebuah restoran Italia yang ada di mall.
Bang Salman tidak melawan. Dia malah menyeimbangkan langkahnya denganku dan merangkul pundakku.
Kalau sudah begini, susah rasanya melepas predikat brother complex. Mana ada kakak yang lebih baik dari Bang Salman? Sehebat apapun dr. Ilman, dia tetap tidak akan bisa membuatku luluh dan mengizinkannya menjadi kakakku.
“Eh, Bang. Di RS ada orang mirip banget sama Dedek, loh.” ceritaku sambil menunggu pesanan kami.
“Semirip apa? Cantik, dong.”
Seketika aku tersungging dengan pujiannya. Mulut Abangku ini memang semanis stevia, manis yang aman dan tidak bikin diabetes.
“Sayangnya cowok, Bang. Asli miriiiip banget! Tapi, jauh lebih tua dari Dedek.”
Dahi Bang Salman pun berkerut.
“Bukan anak simpenan Papa kan?” celetuknya.
Agaknya Papa sudah benar menjuluki Abang kesayanganku ini sebagai anak durhaka. Papa sendiri difitnah.
“Yang bener aja, Bang! Dia anak yang punya RS malahan.”
Mulut Bang Salman membulat sempurna. Lalu, dalam sekejab ekspresinya berubah. Kali ini dia menatapku dengan tatapan liciknya.
“Kamu ketemu jodoh kamu berarti, Dek. Kan mirip.”
“Idih najis!” seruku.
“Heh, gak usah najis-najis segala, Dek. Ntar beneran jodoh, baru deh malunya kerasa.”
Kuputar bola mataku jengah. Bisa-bisanya si Abang malah menggodaku.
“Abag gak tahu sih, orangnya seaneh apa. Padahal dokter spesialis anak, tapi tingkahnya kayak pasiennya yang bocil-bocil.”
“Oooh, dokter spesialis anak. Icikiwirr!” godanya lagi.
Ini apa pula ‘icikiwir’? Jangan sampai kegantenganmu ilang gara-gara ngomong begitu, Bang.
“Mana sini lihat! Ada fotonya gak?”
Dia nampaknya begitu penasaran, semirip apa dr. Ilman denganku. Jadi, kuperlihatkan saja beberapa fotonya yang ada di website RS Harapan Hati.
“Lah, iya! Mirip banget, Dek! Kok bisa? Tapi, gak mirip Abang ya, Dek.”
Setelah mengobati rasa penasarannya, Bang Salman mengembalikan ponsel di tangannya padaku.
“Iya, kan? Aku sama dr. Ilman waktu pertama saling ketemu aja sampe kaget banget, gak bisa ngomong apa-apa.”
Bang Salman manggut-manggut.
“Terus, habis itu dia ngeselin banget. Ngikutin aku terus. Pake maksa-maksa nyuruh aku jadi adik bohongannya pula.”
“Hah?” Bang Salman kelihatan bingung.
“Waktu Dedek tanya, alasannya gak jelas banget. Jadi, Dedek diemin, deh.”
“Dia gitu bukan karena naksir kamu, Dek?”
“Ck!” aku berdecih.
“Ya ampun, sampe sesewot itu. Maaf, maaf...” katanya sambil menepuk lenganku.
Untung sayang dan berduit. Kumaafin, deh.
“Tapi, Abang jadi penasaran, Dek. Besok Abang boleh ke kantor Dedek lagi, gak?”
“Besok hari Minggu, Bang.”
“Eh, iya. Hahaha...”
Ini pasti efek pekerjaannya sebagai aktor yang tidak kenal hari libur nasional maupun hari libur wajar seperti Hari Minggu.
“Kalau gitu Senin, deh. Kebetulan Abang masih libur.”
“Abang mau datang jam berapa?”
“dr. Ilman emangnya praktik sampai jam berapa, Dek?”
“Jam 5 sore... sih...”
Wait! Ini maksudnya Bang Salman mau apa, ya?