Bercerita tentang seorang anak yang bernama mugi yang terlahir sebagai rakyat jelata dan menjadi seseorang penyihir hebat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muchlis sahaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan di balik bulan merah.
Angin malam berdesir dingin di wajah Haruto, membawa aroma tanah dan darah. Dia berdiri tegak di atas bukit, matanya menyipit mengamati kerumunan monster yang berhamburan di bawah. Aura sihir yang kuat dari pertempuran Celis dan Holsfey masih terasa di udara, menggemakan kehancuran dan kekuatan yang luar biasa.
"Luar biasa, pertempuran mereka begitu dahsyat," gumam Haruto, suaranya terbawa angin.
Tepat pukul 12 malam, gonggongan serigala menggema mengiringi kemunculan Bulan Merah. Cahaya merah darah membanjiri langit, membangkitkan insting liar para monster. Mereka berlari liar, mata mereka menyala-nyala, mengendus aroma darah manusia.
Haruto menarik pedang dari sarungnya, bersiap menghadapi gelombang serangan. "Inilah saatnya, pertarungan akan segera dimulai."
Segerombolan warga desa berhamburan panik, berusaha menyelamatkan diri dari kejaran monster. "Lari!," teriak salah satu warga. "Tolong! Para monster mengejar!"
Haruto melihat seorang warga hampir tertangkap monster. Dengan gerakan cepat, dia menebas kepala monster itu dengan pedang, tubuh monster itu terbelah dua. "Larilah, selamatkan diri kalian! Para monster sedang di luar kendali!" teriak Haruto.
Warga desa melihat Haruto dengan rasa kagum dan takut. "Apa yang akan engkau lakukan disini, Haruto? Ayo kita lari!" teriak salah satu warga.
Haruto berdiri tegak, matanya menyala dengan tekad. "Aku akan melawan seluruh monster ini. Kalian selamatkan diri kalian."
Dengan gerakan cepat dan lincah, Haruto menebas monster-monster itu satu per satu. Pedangnya menari-nari, meninggalkan jejak darah dan kematian. Satu jam berlalu, tubuh Haruto mulai kelelahan, namun dia terus berjuang.
"Akhirnya aku berhasil," desah Haruto, napasnya tersengal-sengal.
Sosok bayangan muncul dari kegelapan, mendekati Haruto. "Selamat, kau berhasil menghabisi para monster. Namun, ini mungkin saja pertarungan terakhirmu, karena aku lah yang akan menghabisi mu disini."
Haruto berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah sosok itu. "Kau pikir aku akan mati dengan mudah? Kau lah yang akan aku bunuh disini!"
Sosok itu tertawa, suaranya dingin dan mengancam. "Baiklah, sebelum aku membunuh mu disini, kau perlu mengingat nama ku. Nama ku adalah Kenkiryu, seorang vampire."
Kenkiryu dan Haruto saling berhadapan, aura sihir mereka bertabrakan, menciptakan percikan api yang membakar udara malam.
Di masa sekarang, di apartemen Mugi dan Chaerin:
Mugi sedang makan bersama Chaerin di dapur. Dia masih memikirkan apa yang dikatakan Celis tentang bencana Bulan Merah. "Kakak, apa kamu mengetahui tentang bencana Bulan Merah?" tanya Mugi.
Chaerin mengerutkan kening, matanya tertuju pada makanan di hadapannya. "Bulan Merah? Ah, entahlah, aku tidak pernah mendengarnya sama sekali. Memang nya kenapa?"
Mugi menggeleng, pikirannya masih tertuju pada bencana yang akan datang. "Tidak ada."
Chaerin tersenyum, berusaha mengalihkan perhatian Mugi. "Sudahlah, ayo kita makan saja."
Mereka makan bersama, namun Mugi masih tampak gelisah. Di ruang tamu, Mugi duduk di sofa, membaca buku tentang pembunuh bayangan, mencari petunjuk tentang bencana Bulan Merah. "Disini tidak ada dijelaskan tentang bencana Bulan Merah. Aku tidak tau sekuat apa musuh yang akan aku hadapi nanti, tapi jika benar yang harus aku hadapi adalah sosok vampire dan para monster sepertinya aku masih bisa," gumam Mugi dalam hati.
Di rumah Masayuki dan Mila:
Masayuki dan Mila sedang berbicara serius. "Mila, kau sudah mendengarnya bukan?" tanya Masayuki.
Mila mengerutkan kening, matanya tertuju pada Masayuki. "Apa?"
Masayuki mendekati Mila, mengelus rambutnya dengan lembut. "Malam ini bencana Bulan Merah akan terjadi. Jadi kau harus lari menyelamatkan dirimu."
Mila menatap Masayuki dengan ekspresi datar. "Bukannya kau bisa dengan mudah menghabisi mereka semua?"
Masayuki tersenyum pahit. "Aku berada di pihak musuh."
Mila tidak terkejut mendengar pengakuan Masayuki. "Oh begitu. Yah, kalau begitu aku juga bisa ikut membantu."
Masayuki terkejut mendengar ucapan Mila. "Sungguh? Itu ide yang bagus. Baiklah, kita akan mulai malam ini, Mila."
Malam semakin larut:
Mugi dan Zahra sedang makan di restoran, menikmati hidangan daging yang lezat. Zahra melihat Mugi melamun, matanya tertuju pada Bulan Merah yang semakin terang. "Wah, ada apa? Apa kamu memikirkan sesuatu?" tanya Zahra.
Mugi melihat ke arah Bulan, pikirannya masih tertuju pada bencana yang akan datang. "Aku sedang memikirkan bencana Bulan Merah. Jika benar itu terjadi, bisa-bisa..."
Zahra memotong daging dengan pisau, kemudian menusuknya dengan sendok garpu dan mengarahkannya ke arah Mugi. "Aaaaa!"
Mugi terkejut melihat tingkah Zahra. "Oi! A-ada apa ini?"
Zahra hanya tersenyum, matanya berbinar. Mugi pun memakan daging yang diberikan Zahra. Zahra memotong kembali daging itu dan memakannya menggunakan garpu yang terkena mulut Mugi. Mugi sedikit terkejut, namun Zahra hanya berkata, "Kau biasanya selalu ambisius dan tidak pernah gentar. Aku mengira kau lah yang akan menghabisi monster itu."
Mugi mengepalkan tangannya, semangat juang kembali berkobar dalam dirinya. "Kau benar. Kalau begitu aku lah yang akan menghadapi mereka semua!"
Zahra tertawa senang mendengar ucapan Mugi. Mereka berdua melanjutkan makan malam, menikmati hidangan daging dan percakapan yang hangat.
Sekitar jam 10 malam, mereka berdua pulang bersama. Mugi melihat ke arah Bulan, yang kini sudah memerah sepenuhnya. "Bulan!? Malam ini kah?"
Zahra juga melihat ke arah Bulan. "Bulannya memerah, Mugi!"
Mugi meminta Zahra untuk pulang. "Pulanglah Zahra, cepat lari! Serahkan ini kepadaku."
Zahra berlari dengan cepat, meninggalkan Mugi yang berdiri di sana, matanya tertuju pada Bulan Merah. Mugi berubah menjadi sosok Keter, tubuhnya terbungkus jubah hitam, aura sihir yang kuat mengepul di sekelilingnya. Keter merasakan titik aura sihir yang kuat di balik bukit. "Disana ya, di balik bukit itu. Siapa dia itu?"
Mugi melihat kembali ke arah Bulan, yang masih belum sepenuhnya memerah. "Bulan belum sepenuhnya memerah. Aku yakin sekitar jam 12 malam baru lah bulan itu akan memerah."
Keter melesat cepat menuju bukit tersebut.
Di balik bukit:
Kenkiryu, vampire yang pernah dihadapi Haruto di masa lalu, berdiri tegak, matanya tertuju pada Bulan Merah yang semakin terang. "Indah sekali, ayo lah cepat memerah. Aku sudah lapar ingin memangsa darah."
Tidak lama kemudian, Masayuki dan Mila datang menemui Kenkiryu. "Tuan, aku datang membawa rekan baru kita," kata Masayuki.
Kenkiryu menoleh ke arah Masayuki dan Mila, matanya terbelalak kaget ketika melihat Mila. Inti sihir Mila adalah penciptaan, sama seperti Haruto. "Ada apa tuan?" tanya Masayuki, melihat ekspresi terkejut Kenkiryu.
"Tidak. Disaat melihat inti sihir dari Mila, itu mengingatkan ku kepada orang yang pernah mengalahkan ku di masa lalu," jawab Kenkiryu.
Tiba-tiba, Keter mendarat tepat di tengah-tengah mereka bertiga. Masayuki, Kenkiryu, dan Mila terkejut melihat kedatangan Keter. "Ke-keter!" seru Masayuki.
Keter menciptakan sebuah pedang sihir, angin berdesir melewati jubah hitamnya. "Namaku adalah Keter. Bergerak di balik bayangan, untuk memburu."