Seharusnya sudah melewati 10 tahun usia pernikahan, rumah tangga harusnya semakin harmonis apalagi sudah ada kehadiran dua malaikat kecil di dalam kehidupan mereka.
Namun, tidak dengan rumah tangga Yana Ayunda.
Sikap suaminya langsung berubah setelah melewati 10 tahun pernikahan mereka, Yana berusaha agar rumah tangganya harmonis kembali.
Tapi, semakin hari sikap suaminya semakin dingin dan mudah marah terutama pada dirinya.
hingga Yana memutuskan untuk mencari tahu penyebab perubahan sikap suaminya itu.
Apakah Yana bisa menemukan titik terang penyebabnya?
Mampukah ia melewati itu semua?
Yuk simak ceritanya!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Tiga bulan sudah berlalu, Dian tidak menepati janjinya pada Celine jika dia akan segera menceraikan Yana istrinya.
Namun, Yana kini sudah menggugat perceraiannya di pengadilan agama.
Sepuluh tahun yang tidak mudah bagi Yana, kini dirinya harus melepaskan suaminya untuk selamanya.
“Nak, Mama mendukung apa yang menjadi keputusan kamu. Ada Mama dan Papa yang selalu mendampingi kamu hingga perceraian ini selesai,” ujar mamanya mengusap bahu putrinya.
“Makasih, Ma.” Yana memeluk mamanya dengan erat.
Yana terlihat sangat lega, karena sudah mengambil keputusan itu. Walau awalnya cukup berat melepaskannya, namun ia berusaha yakin jika itu adalah jalan terbaik untuk dirinya dan kedua putranya.
Selama tiga bulan juga, pasca kejadian itu Yana tidak bertemu lagi dengan mantan suaminya. Begitupun dengan kedua putranya, tampak mereka bahagia dengan dunia mereka. Deva yang dulunya manja pada Dian, kini dirinya sama sekali tidak bertanya keberadaan papa kandungnya.
“Ma, Yana berangkat kerja dulu ya,” pamit Yana.
Mamanya mengangguk, sebelum berangkat bekerja Yana lebih dulu mengantar kedua putranya pergi ke sekolah dengan motor kesayangannya.
Di gerbang sekolah, Yana melihat mobil yang tidak asing baginya.
Terlihat jelas dari netranya, jika dirinya terlihat ketakutan saat melihat mantan suaminya keluar dari mobil tersebut.
“Kenapa lagi kamu kemari? Kita sudah selesai!” ketus Yana hendak mengendarai motornya setelah mengantar kedua putranya.
“Yana, Yana. Tunggu sebentar, aku hanya ingin memberikan ini,” ujarnya memberikan salah satu buku tabungan.
“Walaupun kita sudah berpisah, aku akan tetap bertanggung jawab atas putraku. Ini adalah tabungan untuk mereka,” ujarnya memberikan buku tabungan tersebut.
Yana hanya memandang buku tabungan tersebut, tanpa berniat mengambilnya.
“Mas,” panggil Celine tampak menyusulnya dengan mobil lain.
Dian berdecap kesal melihat Celine menyusulnya.
“Kamu berbohong lagi, Mas. Katanya berangkat kerja!” kesal Celine menatap suaminya, apalagi melihat Yana di hadapannya.
“Kapan aku berbohong? Aku memang mau berangkat kerja, tapi aku ingin melihat kedua putranya dulu!” seru Dian.
Namun, Celine tidak percaya begitu saja.
Ia menatap curiga dengan tangan yang di sembunyikan oleh Dian.
“Ini apa?” tanya Celine menatapnya dengan tajam, mengambil paksa buku tabungan tersebut.
“Heh, wanita ******! Kalian kan sudah berpisah dan sekarang bukan suami istri lagi! Berhenti mengharapkan uang dari suamiku untuk membiayai hidupmu itu! Jika putramu butuh nafkah, relakan mereka hidup bersama kami! Apa kamu ingin menggoda suamiku?!” menatap tajam Yana.
“Celine, kamu ini bicara apa? Yana tidak bersalah!” bantah Dian.
“Terus saja bela janda gatal ini! Teruskan saja! Atau memang kamu belum bisa melupakan dia!” menunjuk wajah Yana.
Yana hanya jadi penonton dan yang tampak santai saja.
“Mas, Dian. Celine benar, kamu seharusnya tidak perlu memikirkan kami lagi. Urus saja rumah tanggamu, untuk biaya sekolah Deva dan Diki aku masih sanggup menafkahinya!”
“Jangan sok manis deh!” ketus Celine pada Yana.
Yana hanya bisa menghela napas berat.
“Yana aku ....”
“Maaf, Mas. Aku menolak semua pemberianmu, aku permisi.”
Yana mengendarai motornya menuju ke kantornya.
“Kamu dengar sendiri kan?! Aku tidak akan pernah rela ....”
“Diam! Kamu sejak tadi banyak bicara! Apa kamu tidak punya otak untuk berpikir? Mereka adalah putra kandungku, itu sudah kewajiban ku untuk menafkahi mereka!” seru Dian sembari mengusap wajahnya dengan kasar.
Karena sangat kesal dengan ucapan istrinya saat ini.
“Devina juga putri kandungmu, aku adalah Istri sah mu! Jadi, kami lebih berhak atas uangmu itu!” Celine tak mau kalah.
Dian menghela napas kasar, ia menarik tangan istrinya untuk masuk ke dalam mobil. Karena perdebatan kecil mereka, membuat orang yang berada di sekitar menatap mereka.
“Aw ... sakit, Mas.”
“Apa kamu sudah tidak punya malu?! Lihat, karena ulahmu semua orang menatap kita!” kesal Dian.
Celine memasang wajah cemberut, sembari memegang pergelangan tangannya yang terasa sakit.
Di kantor, Dian terlambat datang ke kantor. Apalagi pagi ini dirinya akan menemani Damar untuk meeting penting.
“Sialan, aku terlambat!” umpatnya hendak masuk ke ruangan meeting.
Namun, di cegah oleh satpam yang berdiri di depan pintu ruangan tersebut.
“Maaf, Pak. Anda tidak boleh masuk,” ucap satpam itu dengan sopan.
“Tidak boleh masuk? Kenapa? Minggir kau, aku harus masuk! Karena Tuan Damar dan aku harus meeting,” ucapnya.
“Maaf, Pak. Ini atas perintah Tuan Damar sendiri,” sahutnya.
Membuat Dian bingung, ia mencoba memaksa masuk. Namun, dirinya malah di seret oleh satpam tersebut.
“Hei, lepaskan aku bodoh! Apa kalian mau ku pecat?! Berani sekali kalian menyeretku! Aku ini atasan kalian!” geramnya berusaha melepaskan kedua tangan satpam tersebut.
“Maaf, Pak. Kami hanya menjalankan tugas,” sahut mereka dengan sopan.
“Jika ingin bertemu dengan Tuan Damar, anda bisa menunggunya di ruangannya.”
Dian berdecap kesal, padahal hanya beberapa menit dirinya terlambat.
“Sialan!” umpatnya dalam hati.
“Awas saja kalian! Aku pastikan ini adalah hari terakhir kalian bekerja di kantor ini!” ancamnya menunjuk wajah dua satpam tersebut.
Mereka menanggapinya dengan santai, bahkan tidak ada ketakutan sama sekali dengan ancaman Dian pada mereka.
Dian membenarkan jasnya yang terlihat berantakan, lalu menatap mereka dengan tajam sembari melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang kerja damar.
Dian duduk di kursi kebesaran Damar, ia memutar kursi tersebut ke kiri dan ke kanan.
“Ternyata enak juga jadi Bos, huh ... kapan aku bisa memiliki ruangan ini seutuhnya?” gumamnya dalam hati, sembari membayangkan jika dirinya menjadi pemilik perusahaan tersebut.
Terbesit di pikirannya untuk bermain nakal, kesempatan bagus pikirnya saat ini Damar sedang di ruang meeting.
Karena Damar menyerahkan semua padanya, sehingga begitu mudah bagi Dian untuk mengambil alih nama perusahaan tersebut.
Setahunya di ruangan tersebut memang tidak di pasang cctv oleh Damar, sehingga sangat mudah untuk Dian mencari berkas penting yang di letakkan di brankas tersebut.
Dian mulai membongkar isi brangkas tersebut, tanpa ia sadari jika Damar ternyata berdiri di ambang pintu sembari melipat tangannya.
“Ekhem ...” deham Damar.
Dian langsung menghentikannya, ia tidak menyangka jika meeting Damar sangat cepat.
Setahunya jika meeting penting bersama klien penting, itu akan memakan waktu setengah hari.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Damar melangkah masuk.
Dian berusaha agar tetap tenang.
“Oh ini Tuan, aku membersihkan brangkas.”
“Oh jadi begitu. Duduklah, aku ingin bicara,” ujar Damar santai.
Dian mengangguk, lalu duduk di kursi.
“Mulai besok kamu tidak perlu bekerja lagi di kantor ini dan sekarang juga kamu di pecat!” ujar Damar tanpa ragu.
Sudah lama ia ingin mengatakan ini pada Dian, masih mempertahankan dirinya karena ada sesuatu dan lain hal.
Duaar ...
Bagaikan di sambar petir mendengarnya.
“Apa, Tuan? Di pecat! Sa-saya di pecat? Apa saya tidak salah dengar?” tanyanya memastikannya.
“Tidak sama sekali! Sekarang juga, keluar dari ruanganku. Jangan pernah menginjakkan kaki lagi di kantor ini!” geram Damar.
Karena sudah sangat muak melihat wajah Dian selama beberapa bulan ini.
***