Dunia tiba-tiba berubah menjadi seperti permainan RPG.
Portal menuju dunia lain terbuka, mengeluarkan monster-monster mengerikan.
Sebagian manusia mendapatkan kekuatan luar biasa, disebut sebagai Player, dengan skill, level, dan item magis.
Namun, seiring berjalannya waktu, Player mulai bertindak sewenang-wenang, memperbudak, membantai, bahkan memperlakukan manusia biasa seperti mainan.
Di tengah kekacauan ini, Rai, seorang pemuda biasa, melihat keluarganya dibantai dan kakak perempuannya diperlakukan dengan keji oleh para Player.
Dipenuhi amarah dan dendam, ia bersumpah untuk memusnahkan semua Player di dunia dan mengembalikan dunia ke keadaan semula.
Meski tak memiliki kekuatan seperti Player, Rai menggunakan akal, strategi, dan teknologi untuk melawan mereka. Ini adalah perang antara manusia biasa yang haus balas dendam dan para Player yang menganggap diri mereka dewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theoarrant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerberus
Profesor Lamberto menegang.
Ruben mengepalkan tangan.
Namun Rai tetap tenang.
"Kau bisa," katanya.
"Tapi kalau kau melakukannya, kau tidak akan mendapatkan lebih banyak."
Kapten Bakar menyipitkan mata.
"Apa maksudmu?"
Rai melangkah maju, menatap langsung ke mata pria itu.
"Aku bisa memberimu lebih banyak. Tapi hanya jika kau membiarkan kami lewat."
Kapten Bakar menimbang kata-kata Rai.
Hening.
Lalu...
"Hahahaha!"
Dia tertawa keras.
"Kau orang yang menarik."
Dia menoleh ke anak buahnya.
"Buka gerbang."
Gerbang besi perlahan terbuka.
Kapten Bakar menatap Rai sekali lagi.
"Jangan macam-macam di wilayahku, dan ingat janjimu."
"Kita hanya pebisnis, Kapten," jawab Rai sambil tersenyum.
Mereka kembali ke dalam mobil dan melaju melewati gerbang.
Saat mereka menjauh, Ruben menghela napas panjang.
"Sial, aku pikir kita bakal mati."
Profesor Lamberto tersenyum tipis.
"Kita baru saja membeli waktu, bagaimana saat kembali kita tidak membawa apa-apa."
Rai menatap ke depan.
"Siapa yang bilang kita akan kembali lewat sana."
Malam itu, mereka resmi memasuki Sumatera.
*************************************
Malam pertama di Sumatera terasa lebih kelam dari biasanya.
Langit ditutupi awan pekat, menyembunyikan bintang dan bulan di balik kegelapan.
Mobil yang dikendarai Ruben melaju di sepanjang jalan yang sunyi, hanya diterangi lampu redup dari dashboard.
Rai duduk di kursi depan, jari-jarinya mengetuk pelan pegangan pintu.
Ia tidak nyaman, ada sesuatu di udara yang terasa... salah.
Profesor Lamberto di kursi belakang menatap peta digitalnya.
"Jika kita tetap di jalur ini, kita bisa mencapai kota terdekat dalam tiga jam."
Ruben menguap.
"Akhirnya bisa istirahat sebentar."
Namun, harapan itu musnah dalam hitungan detik.
BOOM!
Suara ledakan bergema di kejauhan.
Lalu, suara raungan mengikuti.
Suara itu... bukan suara manusia.
Rai langsung menegang.
"Berhenti."
Ruben mengerutkan dahi.
"Apa?"
"BERHENTI!" Rai berteriak.
Ruben dengan sigap menekan rem, membuat mobil berhenti mendadak.
Lalu mereka melihatnya, di depan, jalan raya terbakar, bangkai kendaraan berserakan.
Asap hitam membubung ke udara, bercampur dengan suara jeritan.
Dan di antara kobaran api...
Mereka muncul.
Makhluk berwujud anak kecil dengan seluruh tubuhnya berwana hijau memiliki mata yang kejam bertelinga runcing dan mulut yang lebar dengan gigi tajam yang terus meneteskan air liur.
Puluhan Goblin, berkeliaran seperti kawanan serigala, mata merah mereka bersinar dalam kegelapan.
Di antara mereka, tubuh-tubuh manusia yang tercabik tergeletak di jalan, beberapa masih bergerak, beberapa tidak beruntung.
Namun yang lebih buruk, di tengah kawanan itu, sesosok makhluk raksasa berdiri.
Troll.
Tinggi empat meter, ototnya sebesar balok beton, dan kulitnya dipenuhi luka yang sudah membusuk.
Mulutnya terbuka, menampilkan gigi-gigi besar yang masih meneteskan darah segar.
Dan di tangannya...
Seorang Player Rank D sedang sekarat.
Darah menetes dari tubuhnya yang remuk sebelum akhirnya...
CRACK!
Troll itu meremukkan tubuhnya seperti ranting kayu.
Ruben menelan ludah.
"Sial... Ini Break Dungeon."
Profesor Lamberto menghela napas dalam.
"Dungeon yang gagal diselesaikan, monster-monster di dalamnya keluar dan menyebar ke dunia nyata."
Rai mengepalkan tangannya.
Monster...
Ini bukan pertarungan yang bisa dia kendalikan.
Disruptor, Diss Trap, dan semua alat yang ia pakai tidak akan berguna melawan mereka.
Mereka tidak punya kemampuan Player yang bisa dia nonaktifkan.
Mereka hanya butuh insting untuk membunuh.
"Mereka melihat kita."
Suara Profesor Lamberto datang bersamaan dengan teriakan Goblin pertama.
Puluhan Goblin langsung berlari ke arah mereka.
Troll di tengah kawanan itu menghentakkan kakinya, menyebabkan tanah bergetar.
Mereka tak punya pilihan, mereka harus bertarung.
Rai keluar dari mobil dengan cepat, mencabut pistol dan menarik pelatuknya.
BANG! BANG! BANG!
Tiga Goblin langsung tumbang dengan kepala berlubang.
Namun kawanan mereka tidak berhenti.
Goblin tidak seperti manusia, mereka tidak takut mati.
Mereka terus maju, merangkak di atas tubuh kawan mereka sendiri.
BANG! BANG! BANG!
Satu per satu tumbang.
Tapi jumlah mereka terlalu banyak.
Dan di belakang mereka, Troll itu mulai bergerak, Rai menatap senjatanya.
Disruptor tak akan berguna.
Diss Trap, Mana Bomb tak bisa membantunya di sini.
Cerberus.
Itu satu-satunya senjatanya sekarang.
Rai menarik napas panjang, lalu mengenakan sarung tangan hitam itu.
Mana mengalir dari tubuhnya ke dalam senjata.
Salah satu slot batu mana bersinar merah.
Dia hanya bisa menggunakannya tiga kali sehari, harus memastikan sekali serangannya cukup.
Troll itu mengangkat tongkat besi besar dan mengayunkannya.
Rai melompat ke samping, menghindari hantaman maut itu.
Tanah bergetar saat besi itu menghantam aspal.
Goblin-goblin di sekitarnya terpental akibat kekuatan Troll itu namun Troll itu tidak peduli, Ia hanya ingin membunuh.
Rai berdiri dengan cepat, mengangkat tangannya, mengarahkan telapak tangannya kearah Troll.
"FIRE BURST!"
BOOM!!!!!!!
Api menyembur dari sarung tangannya, langsung menghantam tubuh Troll itu serta Goblin disekitarnya.
Kulit kasarnya mendidih dalam hitungan detik.
Monster itu meraung kesakitan, mencoba memadamkan api yang membakar dagingnya.
Tapi api dari Cerberus bukan api biasa, api itu terus membakar, tidak bisa padam.
Dalam waktu kurang dari lima detik, tubuh Troll itu hangus menjadi abu.
Rai terengah-engah sambil melihat sarung tangan dimana satu mana stone berubah merah.
Namun Goblin-goblin masih tersisa banyak.
Dan mereka masih berlari ke arahnya.
Ruben keluar dari mobil dengan pistol otomatis, menembakkan peluru ke arah kawanan Goblin.
Profesor Lamberto melemparkan granat kecil, meledakkan beberapa Goblin yang terlalu dekat.
Namun jumlah mereka terlalu banyak.
Di kejauhan, sebuah mobil tentara mendekat dengan cepat, sorot lampunya menerangi jalan yang dipenuhi mayat.
Rai menoleh.
"Pasukan Iron Fang," gumam Rai.
Tentu saja.
Mereka masih berada di wilayah Guild Iron Fang dan Guild ini tidak akan tinggal diam melihat Break Dungeon di wilayah mereka.
Mobil itu berhenti mendadak, dan dari dalamnya keluar enam Player bersenjata lengkap yang segera menghabisi para goblin yang tersisa dengan berbagai skill yang mereka miliki.
Setelah selesai melakukan pembersihan salah satu dari mereka melangkah maju.
Seorang wanita dengan armor ringan berwarna putih.
Kapten Mira.
Rai mengingatnya dari artikel, salah satu eksekutor Iron Fang.
Seorang Rank C yang terkenal dengan kekejamannya.
Kapten Mira menatap mayat Troll yang telah terbakar habis, lalu menatap Rai.
"Kalian orang luar?"
Rai tak menjawab.
Kapten Mira melangkah maju, matanya menyipit.
"Lalu siapa yang membunuh Troll ini?"
Rai menatapnya balik, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya.
"Apa itu penting?"
Kapten Mira terdiam sejenak.
Lalu...
Dia tertawa pelan.
"Hah... menarik."
Dia menoleh ke anak buahnya.
"Habisi sisa Goblin."
Lalu dia kembali menatap Rai.
"Kita akan bicara setelah ini."
Rai tahu.
Pertempuran melawan monster sudah selesai.
Namun...Sekarang ia harus menghadapi manusia.
Dan manusia... jauh lebih berbahaya.