Safira Maharani hanyalah gadis biasa, tetapi nasib baik membawanya hingga dirinya bisa bekerja di perusahaan ternama dan menjabat sebagai sekretaris pribadi CEO.
Suatu hari Bastian Arya Winata, sang CEO hendak melangsungkan pernikahan, tetapi mempelai wanita menghilang, lalu meminta Safira sebagai pengantin pengganti untuknya.
Namun keputusan Bastian mendapat penolakan keras dari sang ibunda, tetapi Bastian tidak peduli dan tetap pada keputusannya.
"Dengar ya, wanita kampung dan miskin! Saya tidak akan pernah merestuimu menjadi menantu saya, sampai kapanpun! Kamu itu HANYA SEBATAS ISTRI PENGGANTI, dan kamu tidak akan pernah menjadi ratu di istana putra saya Bastian. Saya pastikan kamu tidak akan merasakan kebahagiaan!" Nyonya Hanum berbisik sambil tersenyum sinis.
Bagaimana kisah selanjutnya, apakah Bastian dan Safira akan hidup bahagia? Bagaimana jika sang pengantin yang sebenarnya datang dan mengambil haknya kembali?
Ikuti kisahnya hanya di sini...!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
...***...
Safira melihat hasil masakannya yang telah berpindah ke lantai, hanya mampu terpaku di tempatnya berdiri dengan ekspresi kosong. Dengan perasaan yang sulit dijabarkan, akhirnya ia pergi berlalu menuju lantai atas di mana kamarnya berada.
Bertubi-tubi mendapat penolakan dan perlakuan tidak manusiawi dari seseorang yang telah menjadi ibu mertuanya, nyatanya membuat hati Safira terasa perih menahan rasa sesak di dada, seperti baru saja dihantam oleh benda tajam hingga menusuk ke jantungnya.
Safira menarik napasnya yang terasa sangat berat. Dia masuk ke dalam kamar mandi dan seketika badannya merosot ke lantai. Dia lalu membenamkan kepalanya di antara kedua lututnya yang tertekuk.
Safira menangis dalam diam, tetapi isakannya terdengar sangat memilukan. Dia tidak menangisi takdirnya, dia hanya merasa ini tidak adil untuknya. Kenapa dirinya begitu di benci, apa ada sesuatu di balik itu semua? Kenapa seseorang membenci, pasti ada alasannya.
Safira kemudian bangkit setelah puas menumpahkan kesedihannya. Diusap wajahnya dengan kasar dan ia berdiri di depan cermin. Menatap wajahnya sendiri yang tampak sembab, lalu membasuh mukanya. Ditatapnya kembali wajahnya yang pucat, matanya dan hidung yang juga memerah akibat terlalu lama menangis.
"Aku tidak bisa terus begini, aku harus melakukan sesuatu. Kenapa Nyonya Hanum begitu membenciku, pasti ada alasan di balik kebenciannya terhadapku,"
"Aku harus menyelidikinya, tapi sepertinya aku tidak bisa melakukannya sendiri." Otak cerdas Safira mulai bereaksi.
Safira sudah bertekad akan mengungkapkan tabir di balik kebencian Nyonya Hanum kepada dirinya.
...***...
Sementara itu di lantai bawah masih terjadi perdebatan antara Nyonya Hanum dan Bastian yang mencoba menyadarkan maminya. Namun Nyonya Hanum yang memikiki sifat keras kepala dan egois, selalu menganggap bahwa dirinya benar dan membuat Bastian akhirnya mengalah dan memilih pergi ke kamarnya.
"Bastian, mami belum selesai berbicara! Sejak ada perempuan kampung yang miskin itu, kamu menjadi anak pembangkang!" teriak Nyonya Hanum.
Bastian yang mendengarnya merasa darahnya mendidih, tetapi dia memilih untuk tidak menggubrisnya, karena hanya akan menambah panjang perdebatan.
Namun, lain halnya yang terjadi di belakang, tepatnya di dapur. Para asisten rumah tangga merasa geregetan dengan sikap dan perilaku majikannya yang sangat tidak menunjukkan citra seseorang dari kalangan bangsawan.
"Aneh deh, Kanjeng Mami itu. Katanya dari golongan atas, golongan bangsawan atau apalah itu, tapi kelakuannya sangat minus," gerutu Santi, gadis itu bahkan mengerucutkan bibirnya hingga beberapa senti ke depan.
"Ho'oh...selalu menghina Nyonya Safira, perempuan kampung yang miskin. Memang siapa yang mau coba, terlahir sebagai orang miskin!" Rini ikutan kesal.
"Sudahlah kita ini hanya pekerja, tak baik jika kita ikut berkomentar. Nanti yang ada kita bisa dikira penjilat," celetuk Asih yang sejak tadi diam mendengarkan.
Mbok Rum yang berada di antara mereka pun tidak bisa berkata apa-apa selain membenarkan ucapan mereka. Hingga akhirnya teriakan Nyonya Hanum kembali terdengar memekakkan telinga bagi siapapun yang mendengarnya.
"Rumi...!"
"Saya, Nyonya." Mbok Rum datang tergesa-gesa dengan napas tersengal.
"Bersihkan semuanya, jangan sampai ada yang ketinggalan pecahan keramik barang secuilpun. Kalau tidak, aku akan memecat siapapun, yang tidak becus bekerja. Mengerti!" perintah Nyonya Hanum dengan sikap arogansinya.
Mbok Rum hanya bisa menghela napas dalam, dan mengiyakan perintah sang majikan. "Baik, Nyonya."
"Setelah itu masak untukku. Jangan sampai terlambat, karena aku tidak ingin tubuhku bergelambir hanya karena makan malam yang terlambat!" Setelahnya Nyonya Hanum meninggalkan tempat itu menuju kamarnya.
Mbak Rum lagi-lagi hanya bisa menggelengkan kepalanya, menghadapi tingkah majikannya yang sungguh ajaib dan membuat spot jantung.
...***...
Sementara di dalam kamar pasangan pengantin baru, Bastian baru saja masuk dan mendapati Safira terbaring meringkuk di sofa.
Bastian menghampiri istrinya. Tampak jelas gurat kesedihan di wajah cantik sang istri. Wajah sembab dan memerah menandakan bahwa wanita yang dikasihinya baru saja menumpahkan kesedihannya.
"Maafkan aku, Fira. Aku justru menarikmu dalam penderitaan. Kalian adalah dua orang wanita yang aku sayangi. Tapi percayalah bahwa aku akan selalu melindungimu semampuku. Tolong tetaplah bersamaku!"
Bastian mengulurkan tangannya menyelipkan rambut di telinga dan membelai setiap inci wajah Safira yang selama ini selalu dia kagumi dengan diam-diam. Dan kini dirinya bisa menatap wajah itu sepuasnya.
Bastian mengecup kening Safira penuh kasih sayang. "Aku akan selalu sabar menunggu cinta itu hadir di hatimu untukku, Fira."
Kemudian Bastian berdiri dan menggendong Safira menuju tempat tidur yang lebih nyaman dan membaringkannya di sana, lalu menyelimutinya dengan lembut, seolah Safira adalah benda langka yang sangat berharga.
Bastian lantas menghidupkan AC dan mengatur suhu yang sesuai agar Safira tidak merasa kedinginan.
Setelah memastikan istrinya merasa nyaman, Bastian segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Safira membuka mata menatap langit-langit kamar, setelah mendengar pintu kamar mandi tertutup. Airmata meluncur tanpa diminta lewat sudut matanya. Dia bisa merasakan cinta Bastian yang tulus untuknya, bukan hanya nafsu semata.
Di relung hatinya yang terdalam, Safira merasa bersalah belum melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri. Akan tetapi, di sisi lain dia takut jika sewaktu-waktu Farah tiba-tiba datang dan meminta haknya. Lalu bagaimana nasibnya nanti.
"Maafkan saya, Tuan. Bukan saya tidak mau melaksanakan kewajiban saya, tapi..." Safira menggantung ucapannya tanpa menyadari bahwa Bastian sudah berdiri di sisi ranjang.
"Aku tidak akan memaksamu, jika dirimu belum siap. Aku bisa merasakan bahwa dirimu masih diliputi kebimbangan. Maka, jangan kau lakukan jika itu hanya sebagai wujud kewajiban semata," ucap Bastian yang membuat Safira terkejut dan menegakkan tubuhnya.
Namun matanya seketika membulat saat menyadari Bastian tengah bertelanjang dada di depannya. Safira merasa malu dengan muka merah padam dan segera berbaring kembali sambil menyelimuti seluruh tubuhnya.
Bastian tersenyum gemas seraya menggelengkan kepala melihat tingkah Safira. Bastian maklum mungkin sang istri belum terbiasa. Maka ia pun bergegas memakai kaos dan selanjutnya ikut berbaring bersama Safira. Keduanya sama-sama melupakan makan malam.
...***...
Pagi hari yang cerah, di meja makan tampak Safira sedang melayani Bastian. Pagi ini Safira memasak yang simpel untuk mereka sarapan pagi yakni nasi goreng, karena siang nanti dirinya akan mendampingi Bastian bertemu dengan klien. Maka dari itu, Safira tidak membawa bekal untuk mereka makan siang.
"Nasinya cukup, Tuan?" tanya Safira dengan lembut.
Bastian tersenyum dan mengangguk, seraya matanya tak lepas menatap Safira yang pagi itu terlihat cantik, membuat Bastian tak bosan memandangnya.
"Silakan, Tuan. Mumpung masih hangat." Safira mengulurkan sepiring nasi goreng beserta pelengkapnya pada Bastian.
Baru saja Bastian akan menerimanya, tiba-tiba sebuah tangan menepis piring itu hingga jatuh berantakan di atas meja, dan piring melayang ke lantai hingga pecah membuat Bastian dan Safira terkejut.
Pyaaarrr
"Mami...! Apa yang Mami lakukan?" tanya Bastian dengan intonasi tinggi.
"Itu makanan tidak layak untuk kamu makan Bastian! Itu hanyalah makanan kampung yang dimasak dengan tidak higienis! Terlebih lagi, apa kamu tidak curiga? Bisa saja kan, dia menaruh sesuatu pada makanan itu, supaya kamu tunduk padanya. Buktinya..."
"Mi...!" Bastian langsung memotong ucapan maminya yang menurutnya sangat keterlaluan.
"Safira adalah istriku, dan dia wanita sholehah. Selama ini tidak pernah sekalipun dia menggodaku apalagi berbuat yang tidak terpuji. Kenapa Mami selalu berpikiran picik seperti itu?"
***
Bersambung...