Apa jadinya jika impian mu hancur di tangan orang yang paling kamu benci, tapi juga tak bisa kamu hindari?
"Satu tesis gagal, Karena seorang dosen menyebalkan, Semua hidup ku jadi berantakan"
Tapi siapa sangka semuanya bisa jadi awal kisah cinta?
Renatta Zephyra punya rencana hidup yang rapi: lulus kuliah, kerja di perusahaan impian, beli rumah, dan angkat kaki dari rumah tantenya yang lebih mirip ibu tiri. Tapi semua rencana itu ambyar karena satu nama: Zavian Alaric, dosen killer dengan wajah ganteng tapi hati dingin kayak lemari es.
Tesisnya ditolak. Ijazahnya tertunda. Pekerjaannya melayang. Dan yang paling parah... dia harus sering ketemu sama si perfeksionis satu itu.
Tapi hidup memang suka ngelawak. Di balik sikap jutek dan aturan kaku Zavian, ternyata ada hal-hal yang bikin Renatta bertanya-tanya: Mengapa harus dia? Dan kenapa jantungnya mulai berdetak aneh tiap kali mereka bertengkar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 18
Zavian berdiri di balkon lantai dua gedung fakultas, menyesap kopi dari gelas kertasnya, memandang ke taman belakang. Matanya menangkap sosok-sosok mahasiswa dengan rompi oranye yang sibuk membersihkan area kampus. Ada yang mengangkat kantong sampah, menyapu, bahkan menggosok bangku taman.
Salah satu wajah membuat Zavian mengernyit.
Renatta?
Ia menuruni tangga perlahan dan berjalan ke arah pos keamanan. Di sana, seorang petugas tua tengah duduk sambil memantau layar CCTV.
"Pak, mereka yang di taman itu kenapa? Rajin banget bersih-bersih nya? Tanya Zavian sambil menunjuk layar.
"Ohh mereka lagi dihukum sama pak Akbar"
"Dihukum?" ulang Zavian memastikan bahwa ia tak salah dengar.
Petugas itu mengangguk, "Iya, Pak Zavian. Mereka Berkelahi di kantin. Anak-anak itu, termasuk si Renatta dan satu cowok bermasalah, Rio."
Zavian mengangkat alis, "Renatta? Berkelahi?"
Petugas itu tertawa kecil, "Beneran, Pak. Gadis itu nyundul cowok sampe mimisan. Katanya sih karena denger percakapan yang ga pantas, terus ketahuan, lalu saling tuduh. Debat panas, terus meledaklah."
Zavian terdiam sejenak, matanya kembali ke layar.
Renatta, kamu benar-benar... mengejutkan. pikirnya. Tapi ada hal yang tak bisa ia abaikan.
"Apa sebabnya mereka bisa berkelahi begitu parah, Pak?"
Petugas itu mengangkat bahu, "Aduh saya sih kurang tau juga ya pak, soalnya mereka saling tuduh jadi nggak ada titik terangnya."
Zavian menyipitkan mata. Ada kekacauan yang lebih besar dari yang terlihat di permukaan. Dan yang paling membuatnya tak tenang adalah… Renatta terlibat di dalamnya. Gadis yang pagi tadi nyaris membuatnya kehilangan kontrol di kelas sekarang malah mematahkan hidung mahasiswa lain?
"Gadis itu... cukup menarik" gumam Zavian pelan. Tapi entah kenapa, ada sedikit rasa penasaran tumbuh di dadanya.
Dan saat ia kembali menatap layar CCTV Renatta yang menyeka keringat di dahinya, dengan tatapan tak gentar meski dikelilingi pria-pria yang mengancamnya.
Zavian berdiri tak jauh dari Renatta yang tengah jongkok di bawah pohon, memunguti daun kering yang jatuh berserakan. Ia melangkah pelan, dengan tangan diselipkan ke saku celana panjangnya, hingga bayangannya menyentuh tanah tempat Renatta duduk.
"Kamu kenapa?" tanyanya, santai, tapi suaranya cukup membuat Renatta tersentak.
"Pak? Pak Zavi? Ngapain di sini?" Renatta buru-buru berdiri, hampir kehilangan keseimbangan.
"Seharusnya saya yang tanya. Kamu kenapa pakai rompi kayak gitu? Jadi petugas kebersihan?"
Renatta menyambar sapu lidi di sampingnya, berusaha terlihat sibuk. "Nggak... Nggak apa-apa, Pak. Lagi... rajin aja."
Zavian menyipitkan mata, menahan senyum. "Kamu ngelakuin kesalahan apa?"
"Nggak ada..."
"Oke..." jawab Zavian singkat, tapi tidak bergeming dari tempatnya.
Renatta menggigit bibirnya. Ada jeda, sebelum akhirnya ia menarik napas dan berkata pelan, "Ah tapi... Emmm... Pak Zavian, aku minta maaf."
Zavian menoleh lebih serius. "Minta maaf? Kamu? Buat apa?"
"Soal yang tadi pagi. Aku berdebat soal Rio sama bapak."
Zavian hanya mengangguk sedikit, matanya tetap menatap Renatta. "Hmm... Memangnya kenapa? Kamu cukup berani membela temanmu."
Renatta menunduk. "Bukan gitu... Sepertinya aku salah menilai seseorang. Dan... aku ngerti sekarang kenapa bapak punya prinsip seperti itu."
Zavian kemudian duduk di atas rumput, melipat salah satu lututnya. Renatta sempat melirik heran melihat dosennya bisa duduk begitu santai, bukan dengan gaya formal seperti biasanya.
"Alasanmu waktu itu masuk akal, Renatta. Logis, bahkan. Tapi itu bukan bagian dari aturan saya. Saya menghargai empati, tapi sistem yang saya buat untuk kelas saya... berdiri di atas kedisiplinan. Kalau saya longgarkan karena satu alasan, saya harus longgarkan untuk alasan yang lain. Lalu semua jadi tidak adil."
Renatta mengangguk pelan, menelan nasihat itu seperti sesuatu yang pahit tapi berguna.
Lalu, Zavian berkata pelan, suaranya lebih tajam, "Saya tahu kamu berkelahi dengan Rio. Mahasiswa yang pagi tadi saya usir. Yang kamu bela. Kenapa kamu berkelahi dengannya? Saya dengar... hidungnya hampir patah."
Renatta terperanjat. "Bapak tau dari mana?"
Zavian hanya menyeringai kecil, tidak menjawab. Renatta reflek menggaruk kepalanya yang gatal... tanpa sadar tangannya masih penuh tanah. Bekas kotoran itu menempel di dahinya dan sebagian jatuh ke bahunya.
Zavian yang perfeksionis langsung refleks menarik napas panjang... dan nyaris berdiri karena risih. Tapi ia menahannya. Matanya hanya sedikit melotot, lalu memalingkan wajah pelan seperti menolak melihat bencana visual di hadapannya.
"Tolong... jangan sentuh wajahmu kalau tanganmu kayak gitu," gumam Zavian, nyaris putus asa.
Renatta tersenyum geli, "Refleks, Pak..."
Zavian hanya menggeleng pelan. "Kamu benar-benar... luar biasa dalam banyak hal. Tapi jangan pernah kehilangan arah. Saya harap kamu tau itu."
Ada jeda hening sesaat. Renatta tak menyangka percakapannya dengan Zavian bisa sampai ke titik ini hangat, tenang, dan terasa seperti... dihargai.
"Terima kasih, Pak..." ucapnya lirih.
Zavian menatap Renatta cukup lama, seolah ingin menyelami isi hati gadis itu. Lalu Tangannya menepuk-nepuk tempat di sebelahnya.
"Duduk, Renatta. Nggak usah tegang begitu."
Renatta ragu, tapi kemudian menuruti. Ia duduk di samping Zavian, masih memegang sapu lidi di tangannya.
"Tahu nggak," Zavian memulai, suaranya pelan dan teduh, "menjadi orang yang bisa melihat kesalahan, mengakuinya, dan mencoba memperbaiki itu bukan hal yang gampang. Saya tahu kamu mungkin merasa marah atau bingung... tapi, justru dari situ kamu belajar. Tentang orang lain, dan tentang dirimu sendiri."
Renatta menunduk, meremas gagang sapunya.
"Saya juga pernah salah menilai orang," lanjut Zavian, "dan itu bikin saya belajar untuk nggak langsung percaya, tapi juga nggak langsung menolak. Semuanya butuh waktu dan bukti."
Renatta menggigit bibir bawahnya. "Aku beneran minta maaf, Pak. Pagi tadi aku sempat... benci sama Bapak."
Zavian menoleh, satu alisnya terangkat. "Benci? Secepat itu?"
Renatta tertawa malu-malu. "Iya… sekarang rasanya nyesel banget."
Ia kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku rompi. Dengan sedikit ragu, ia menyerahkannya pada Zavian. "Sebenarnya kami berkelahi karena aku nggak sengaja denger obrolan Rio sama temannya soal... Pak Zavi. Aku rekam... dan, aku ngerasa bersalah banget."
Zavian menerima ponsel itu dan menatap Renatta dengan senyum kecil.
"Nggak sengaja denger tapi bisa ambil bukti kayak gini ya?"
Renatta cengengesan, dan tanpa sadar menepuk pelan lengan Zavian dengan tangan yang kotor penuh debu dan noda daun kering.
Mereka berdua langsung terdiam.
Renatta melotot pada tangannya sendiri. "Astaga… Maaf, Pak! Aku lupa…"
Zavian hanya menatap noda di lengannya, matanya menyipit. Mulutnya sudah gatal ingin ngomel, tapi ia menggigit lidah sendiri, lalu mencubit lengannya perlahan agar tetap sabar.
"Lupakan. Pulang nanti saya akan segera mandi dan mencuci pakaian saya."
Renatta menunduk dalam-dalam, wajahnya nyaris menyentuh lutut. "Aku… aku bener-bener nggak enak hati, Pak."
Zavian menghela napas panjang, lalu tersenyum samar. Ia mengalihkan pembicaraan sambil memainkan ponsel Renatta.
"Jadi... kamu berkelahi karena ini?"
Renatta mengangguk. "Iya. Karena dia punya niat buruk. Dan aku rasa dia sangat keterlaluan. Kasihan korban yang ditabrak sama Rio. Entah gimana kondisi nenek itu sekarang…"
Zavian mengangguk pelan. "Ah, nenek yang kecelakaan pagi tadi? Saya sudah membawanya ke rumah sakit untuk diperiksa."
"Haaa??" Renatta menoleh cepat, matanya membulat.
Zavian terkekeh, lalu menjelaskan dengan santai. "Tadi pagi, setelah saya tahu ada kecelakaan, saya langsung telepon teman saya yang kerja di rumah sakit. Saya minta dia jemput nenek itu dan periksa kondisinya. Makanya saya bisa tetap datang tepat waktu ke kampus."
Renatta mengangguk.
"Hei, tapi tetap alasan saya nggak mengizinkan nya masuk bukan karena dia menabrak seseorang tapi cukup karena dia terlambat, itu aja. Menghukum Rio karena alasan lain, Saya rasa itu bukan wewenang saya tapi itu tugas pihak yang berwajib aja"
"Tapi kenapa pak Zavi nggak menghentikan Rio? kenapa nggak bapak cegah supaya dia bertanggungjawab?"
"Dia aja nggak punya kesadaran setelah menabrak orang lain, malah langsung melarikan diri. Lagipula keselamatan nenek itu jauh lebih penting dari pada memaksa dia untuk bertanggung jawab. Dia bisa aja nggak ngaku dan malah nyalahin nenek karena kondisinya sudah tua"
Renatta menatap Zavian dengan mata berkaca-kaca. "Pak Zavi… Bapak… baik banget."
Di saat yang bersamaan dari kejauhan, Rio melihat mereka.
“Wah, ini si Renatta ini… asik-asikan ngobrol sambil ngadem, gue sama anak-anak kayak budak candi Borobudur...”
Ia langsung berjalan cepat ke arah mereka dengan wajah cemberut.
“WOI, ENAK BAN—”
Seketika, Arya muncul dari balik semak dan langsung menarik baju Rio dari belakang. Diikuti Pak Satpam yang sigap menutup mulut Rio dengan tangan besar dan bau sampah.
Arya: “Sssttt... Jangan ganggu adegan mellow-mellow bawah pohon, Bro.”
Rio meronta dan komat-kamit tidak jelas “Mmmhh!!”
Pak Satpam menyeringai, “Ayo, udah waktunya elu nyikat kamar mandi fakultas, bukan nyikat hati cewek orang.”
Arya dan Pak Satpam menyeret Rio yang masih meronta dan menggeliat seperti cacing kepanasan. Sementara itu, Renatta dan Zavian tidak sadar apa-apa, masih larut dalam obrolan mereka.
Dan di kejauhan, terdengar samar…
“Gue aduin ke Pak Akbar”
"Aduin aja" ucap pak satpam dengan santai.
Zavian menoleh dan menahan senyum. "Saya cuma nggak mau ada orang lain yang jadi korban karena kelalaian orang lain, Renatta. Itu aja."
Renatta menatap lelaki itu lebih lama kali ini, seolah melihat sosok Zavian dalam sudut pandang yang benar-benar baru.
Dan untuk pertama kalinya… dia merasa aman di dekatnya.
Zavian berdiri, membersihkan bagian celananya dari rumput, lalu berkata pelan sebelum pergi:
"Besok jangan lupa bersih-bersih lagi. CCTV kampus ini kualitasnya cukup bagus, jadi jangan malas ya."
Renatta hanya bisa menahan senyum, melihat punggung Zavian menjauh. Sosok yang awalnya terasa dingin... kini perlahan mulai ia pahami.