Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 25
Menjelang senja, langit mengguratkan semburat jingga yang mulai meredup, menyapukan cahaya hangat di sepanjang jalanan kota kecil itu. Arga memarkir mobilnya di depan Butik Viola—sebuah bangunan mungil dengan jendela lebar yang dihiasi tirai renda putih. Di balik kaca, dua sosok perempuan terlihat sedang merapikan barang-barang, menutup hari dengan canda tawa ringan.
Saat Arga keluar dari mobil, langkahnya mantap, namun senyumnya mengembang begitu melihat siapa yang berdiri di depan butik. Viola, istrinya, sedang memutar kunci pintu sementara Risa, sahabat sekaligus karyawan setia, mengucapkan sesuatu yang membuat Viola mendengus geli.
"Wah, wah, lihat siapa yang datang menjemput," seru Risa sambil menyikut lengan Viola pelan. "Pangeran berkuda putih akhirnya tiba juga."
Viola melirik tajam tapi tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya. "Risa," ujarnya setengah menegur, setengah geli.
Risa tertawa renyah, "Kalau begini terus, bisa-bisa aku jadi iri. Tapi sayangnya, belum ada yang mau menjemputku setiap sore."
"Karena kamu terlalu sibuk menggoda istri orang," jawab Viola cepat, lalu mencubit lengan Risa yang langsung pura-pura mengaduh.
"Ouch! Oke, oke, aku salah!" Risa terkekeh sambil mundur selangkah, pura-pura merajuk.
Arga yang sejak tadi hanya menyaksikan dari sisi mobil, mendekat sambil tersenyum. Ia membuka pintu mobil, membungkuk sedikit ke arah Viola dengan gaya gentleman yang mengundang kekikikan kecil dari Risa.
"Untuk istriku yang tercantik, pintunya sudah kubuka," ujar Arga lembut.
Viola menggeleng pelan, matanya menatap suaminya penuh cinta. "Terima kasih, Tuan Arga."
Ia melangkah masuk ke dalam mobil dengan anggun, sebelum menoleh ke Risa yang masih berdiri di sisi butik. "Besok jangan lupa ya, kita meeting jam sebelas. Dan... jangan terlambat!"
Risa melambaikan tangan, "Siap, Bu Bos! Salam buat Pangeran ya!"
Mobil melaju perlahan, meninggalkan butik yang mulai tenggelam dalam senyapnya senja, sementara tawa ringan masih terngiang di udara yang mulai dingin.
Mobil melaju tenang membelah jalanan kota yang mulai redup. Cahaya lampu jalan perlahan menggantikan sinar senja, dan suasana di dalam mobil terasa hangat meski sunyi. Viola menyandarkan kepala di jok, menikmati musik lembut yang mengalun dari radio.
Tiba-tiba Arga membuka suara, suaranya ringan namun antusias.
“Sayang, gimana kalau kita mampir makan bakso dulu?” tanyanya, melirik sekilas ke arah Viola.
Viola membuka mata perlahan, mengerjap sedikit, lalu menoleh. “Bakso?” ulangnya pelan, seolah memastikan bahwa ia tak salah dengar.
“Iya. Aku tahu satu tempat yang enak. Nggak jauh dari sini,” jawab Arga sambil tersenyum kecil. “Baksonya kenyal, kuahnya gurih banget. Kamu pasti suka.”
Viola terdiam sejenak. Bukan karena tidak suka—dia menyukai hampir semua makanan tradisional Indonesia. Tapi sejak beberapa tahun terakhir, ia memang sangat memperhatikan pola makan. Bukan demi langsing, tapi lebih karena kesadaran akan kesehatan.
“Aku jarang makan bakso, kamu tahu itu, kan?” ucapnya akhirnya, lembut. “Bukan nggak doyan, cuma… ya, kamu tahu sendiri. Aku jaga makan.”
Arga tertawa pelan, “Aku tahu. Makanya ini tawarannya cuma sesekali. Lagipula kamu bisa pilih yang nggak pakai mie atau gorengan. Toh baksonya sendiri sehat-sehat aja.”
Viola tersenyum tipis, menimbang-nimbang. Di luar jendela, lampu warung dan kios-kios mulai menyala satu per satu. Malam tampak lebih bersahabat dari biasanya.
“Baiklah,” katanya akhirnya, sambil menarik napas. “Tapi aku pilih yang kuah bening ya. Dan kamu yang pilihkan porsinya.”
“Siap, Bu Dokter,” sahut Arga dengan nada menggoda. Ia memutar setir ke arah kanan, mengambil jalan kecil yang sedikit menurun. “Percaya deh, kamu nggak akan nyesel.”
Viola mengangguk pelan, lalu memandang ke luar jendela dengan senyum yang mulai merekah. Kadang, bahagia itu sesederhana semangkuk bakso di malam hari bersama orang yang dicintai.
**
**
Uap hangat mengepul dari mangkuk bakso yang baru saja dihidangkan. Aroma kaldu gurih bercampur daun bawang langsung memenuhi udara, menggoda selera. Viola meniup perlahan suapan pertamanya, lalu mencicipi kuahnya.
“Hm... kamu bener. Enak juga,” katanya pelan, sedikit terkejut.
Arga menyeringai puas. “Tuh, apa kubilang?”
Namun kebahagiaan kecil itu tak berlangsung lama. Baru saja mereka menikmati beberapa suapan, sebuah suara menyela suasana damai itu.
“Eh, Viola? Arga?”
Mereka berdua spontan menoleh ke arah suara itu—dan seketika ekspresi mereka berubah. Dada Arga naik turun pelan, rahangnya mengencang. Viola pun refleks meletakkan sendoknya, matanya menatap tajam ke arah sumber suara.
Dhani.
Lelaki itu berdiri tak jauh dari meja mereka, mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung sampai siku. Di sampingnya, seorang wanita muda dengan pakaian mencolok menggandeng lengannya erat, tampak sedikit canggung melihat ke arah Viola dan Arga.
“Oh, sial,” gumam Arga pelan, cukup hanya untuk didengar istrinya. Viola mengangguk kecil, wajahnya datar, tapi matanya berbicara lain.
Dhani mendekat, senyum lebarnya seperti biasa—terlalu ramah, terlalu dibuat-buat. “Kecil banget dunia ini, ya. Nggak nyangka bisa ketemu kalian di sini.”
Viola menyandarkan punggung, bersikap tenang meski sorot matanya tajam. “Iya, dunia ini kadang terlalu kecil sampai hal-hal yang kita hindari pun tetap saja muncul.”
Wanita di samping Dhani tersenyum kikuk, menunduk sopan. Arga hanya menatap pria itu dingin, tak menjawab sapaan.
Dhani tertawa kecil, meski nadanya terdengar kaku. “Kalian lagi makan? Wah, kebetulan banget. Kami juga baru pesen.”
Viola menarik napas dalam. Ia tahu, kalau dibiarkan lebih lama, suasana bisa makin tak nyaman. Ia menoleh ke Arga, dan berkata pelan namun jelas, “Sayang, sepertinya baksonya mulai dingin. Kita lanjut saja, ya.”
Arga mengangguk, lalu menatap Dhani singkat. “Selamat makan, Dhani.”
Sambil menundukkan wajah sedikit, Viola kembali menyendok bakso di mangkuknya. Tapi dalam hatinya, ia tahu—kedatangan Dhani barusan lebih dari sekadar gangguan. Itu seperti angin kotor yang kembali mencoba masuk lewat celah pintu yang hampir tertutup rapat.
Dan ia takkan membiarkannya terbuka lagi.
Bersambung
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran