SEQUEL LENTERA DON GABRIEL EMERSON
Meskipun menikah atas dasar perjodohan, Zeda Humaira Emerson dan Arsyad Ibrahim menjalani pernikahan dengan cinta yang tulus.
Arsyad adalah seorang pria yang sholeh, pintar, dermawan, pendiri sekolah TK gratis, dan tentu Arsyad juga sangat tampan, tidak ada alasan bagi Aira untuk menolak perjodohan itu.
Cintanya pada Arsyad tumbuh semakin besar saat Arsyad tak mempermasalahkan Aira yang tak kunjung hamil setelah 5 tahun pernikahan mereka berjalan.
Namun, Aira tertampar sebuah kenyataan pahit saat ia menemukan fakta, bahwa sang suami telah menikah lagi dengan salah satu guru TK-nya, bahkan istri kedua suaminya itu kini tengah mengandung.
Sementara Arsyad, ia sangat mencintai Aira lebih dari apapun, Aira adalah wanita muslimah yang begitu taat pada agama, orang tua, dan suami. Namun, ia terpaksa menduakan Aira karena sebuah alasan yang tak bisa ia tolak.
Apakah karena Aira yang tak kunjung hamil?
Atau ada alasan yang lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SkySal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MC Zeda Humaira #14 - Keinginan Aira.
Aira menghampiri Arsyad yang saat ini sedang berdiri di dekat jendela dengan pandangan lurus ke luar, menatap mentari yang kini akan kembali pada persembunyiannya.
Aira memeluk suaminya itu dari belakang, melingkarkan lengannya di perut Arsyad dan mengecup pundaknya dengan lembut. .
Arsyad memejamkan mata merasakan sentuhan hangat Aira, ia berbalik dan tersenyum pada Aira. "Ada apa?" Aira bertanya dengan suaranya yang sangat lembut, membuat hati Arsyad bergetar, apalagi ketika ia menatap mata sang istri yang begitu sendu, yang selalu mampu memberikannya ketenangan layaknya sungai yang tenang.
Arsyad mengapit dagu Aira di antara jarinya kemudian membawa bibir ranum Aira ke bibirnya, Arsyad mengecupnya dengan lembut, penuh cinta.
Aira memejamkan mata, menikmati sentuhan penuh cinta dari suaminya.
"Aku merindukanmu," lirih Arsyad di depan bibir Aira, sekali lagi ia menyapukan bibirnya di permukaan bibir Aira yang terasa begitu lembut, dimana rasanya tak pernah berubah sejak pertama kali Arsyad menyentuhnya.
"Kamu menyembunyikan sesuatu," ucap Aira, ia meletakkan tangannya di dada Arsyad. "Aku bisa merasakannya, aku ingin bertanya sejak dulu, tapi aku takut kamu terganggu." Arsyad tersenyum tipis mendengar penuturan sang istri yang begitu menjaga perasaannya.
"Tanyakan saja, Sayang. Aku tidak akan pernah terganggu dengan apapun pertanyaanmu." Arsyad membawa tangan Aira ke bibirnya, mengecup jari jemarinya dengan mesra sementara matanya menatap mata Aira.
"Bagaiamana jika misalnya ... kita tidak akan punya anak?" Arsyad langsung menatap Aira dengan sendu, ia membelai pipi halus sang istri.
"Jangan bicara begitu, Sayang. Aku yakin, akan ada keajaiban untuk kita, aku selalu meminta hal itu di setiap sujudku." Arsyad membawa Aira ke ranjang, ia duduk di tepi ranjang sementara Aira di dudukan di pangkuannya.
"Bukankah kita tahu, Allah sangat pemalu, Dia malu jika membiarkan hamba-Nya yang mengangkat tangan kembali dengan tangan kosong. Tapi, Allah juga tidak suka orang yang terburu-buru, yang langsung menganggap Dia tidak mengabulkan do'a kita. Aku sangat yakin, Allah akan mengabulkan do'a kita, masak iya Allah nggak kasihan sama kita yang memelas siang hari-siang malam."
Aira tersenyum mendengar ucapan suaminya yang selalu membuat hatinya tenang itu, yang selalu mendukung Aira di segala kondisi dan situasi, Aira menyenderkan kepalanya di dada bidang Arsyad.
"Sebenarnya, aku sedikit takut," lirih Aira.
"Takut apa?" Tanya Arsyad sembari membelai rambut hitam istrinya itu.
"Apa kamu ingat dengan kisah Nabi Ibrahim dan Sayyidah Sarah?" Tanya Aira.
"Hem, tentu saja aku ingat, itu pelajaran dasar di sekolah," Arsyad menjawab sembari membeli rambut Aira seperti anak kecil.
"Aku sangat mengagumi Sayyidah Sarah, yang memberikan Sayyidah Hajar pada sang Nabi agar mendapatkan keturunan." Arsyad menegang mendengar ucapan Aira, ia menatap istrinya kini juga mendongak, menatapnya.
"Tapi aku tidak akan pernah bisa seperti beliau, Mas. Aku ingin seperti Sayyidah Fatimah yang menjadi satu-satunya ratu Sayyidina Ali hingga akhir hayatnya. Dan aku ingin menjadi satu-satunya ratumu, sampai aku menghembuskan napas terkahirku. Aku ingin menjadi seperti Khadijah, cinta sejati Nabi. Dan aku ingin menjadi pemilik cinta sucimu."
Hati Arsyad mencolos mendengar ucapan Aira, ia langsung memeluk kekasih hatinya itu dengan erat, mengecup seluruh pucuk kepalanya berkali-kali, kemudian mengecup seluruh wajah Aira yang membuat Aira terkikik.
Sementara hati Arsyad begitu sesak, seperti di himpit batu karena bersalah menghujamnya. Inilah keinginan Aira, tapi apa yang sudah ia berikan?
"Mas...." Aira menangkup pipi Arsyad dan menjauhkan wajah suaminya itu dari wajahnya. "Tunggu dulu, aku belum selesai bicara...."
"Apa, Sayang? Hm?" Tanya Arsyad.
" Tapi, kalau memang sangat di perlukan aku harus mengambil tindakan seperti Sayyidah Sarah, aku rasa...." Arsyad berdebar saat Aira menggantung kata-katanya, apalagi istrinya itu menatapnya dengan intens. "Aku rasa aku belum siap, itu sangat berat. Sabar itu sebenarnya mudah tapi ikhlas itu sudah pasti sangat berat, kalau aku tidak bisa ikhlas, nanti kita berdua tidak akan bisa tenang dong."
"Aku tahu," kata Arsyad sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Aira dan sekali lagi ia mengecup ubun-ubun kepala Aira.
"Aku jadi makin cinta sama kamu, Mas,"ucap Aira dengan wajah merona.
" Apalagi aku, rasanya setiap hari aku jatuh cinta padamu."
"Masak?"
"Iya."
"Buktinya apa?"
"Buktinya, aku tidak bisa jauh dari kamu. Aku selalu merindukanmu." Aira kembali tersipu mendengar jawaban suaminya itu, namun kemudian ia teringat sesuatu.
"Tapi, selama dua bulan ini kamu pergi ke luar kota sudah dua kali tanpa aku. Tuh, buktinya, kamu bisa jauh dari aku."
Arsyad langsung terdiam dan rasa bersalah begitu menusuk di hatinya, karena sebenarnya ia tidak pergi ke luar kota melainkan pergi ke istri keduanya.
Dan selama ini, Arsyad memang selalu membawa Aira bersamanya kemanapun ia pergi.
"Kan hanya seminggu, Sayang. Dan aku juga selalu menghubungimu, 'kan?" kilah Arsyad kemudian karena memang setiap hari ia selalu menghubungi Aira.
"Iya deh, percaya," gumam Aira kemudian ia mengecup hidung mancung suaminya itu. "Aku juga, jatuh cinta setiap hari sama kamu."
...***...
Anggun hanya bisa meringkuk di atas ranjangnya, ia tak bisa melupakan bentakan dan teriakan Arsyad padanya.
"Mungkin, Papa akan berubah kalau kamu sudah lahir ya, Nak. Mungkin, papa juga bisa mencintai Mama kalau kamu sudah ada di dunia ini. Mama jadi semakin tidak sabar menunggu kehadiranmu." Anggun berkata sambil mengelus perutnya
"Anggun...." Anggun langsung duduk saat mendengar suara ibunya, ia segera menghapus air matanya dan menyunggingkan senyum saat sang ibu masuk ke kamarnya. "Kamu sakit?"
"Nggak, Ma. Cuma ngantuk," jawab Anggun.
"Oh, itu biasa. Biasanya wanita hamil memang mudah mengantuk. Ya sudah, Mama pergi dulu, ya. Mau arisan," kata bu Husna yang membuat Aira terkekeh kemudian mengangguk.
Setelah ibunya keluar dari kamar, Anggun kembali tampak sedih. Ia pun mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan pada Arsyad.
"Mas, aku minta maaf atas apa yang aku katakan tadi. Itu semua hanya karena emosi sesaat, tidak sedikitpun terbersit dalam benakku untuk menghina Mbak Aira. Aku menghormatinya seperti aku menghormatimu, aku ingin memiliki hubungan yang baik dengannya seperti aku memiliki hubungan yang baik dengan Ummi. Aku mohon, jangan marah lagi sama aku."
...***...
Arsyad membaca pesan dari Anggun dengan raut wajah datar dan setelah membaca pesan itu, dia hanya menjawab 'Iya' kemudian ia menghapus pesan Itu.
tadi siang, adalah kali pertama Anggun menghina Aira dan Arsyad tidak bisa menerima itu.
Dulu, Arsyad masih bersimpati pada Anggun tapi setelah apa yang Anggun katakan tadi, rasa simpati itu seperti menguap begitu saja dan ia semakin yakin untuk bercerai dengan Anggun.
Mungkin ini terlambat, tapi itu lebih baik dari pada ia terus mengikat Anggun dalam pernikahan yang akan menyakiti semua orang, terutama Aira bahkan Anggun sendiri.
TBC...