Vino Bimantara bertemu dengan seorang wanita yang mirip sekali dengan orang yang ia cintai dulu. Wanita itu adalah tetangganya di apartemennya yang baru.
Renata Geraldine, nama wanita itu. Seorang ibu rumah tangga dengan suami yang cukup mapan dan seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Entah bagaimana Vino begitu menarik perhatian Renata. Di tengah-tengah kehidupannya yang monoton sebagai istri sekaligus ibu rumah tangga yang kesehariannya hanya berkutat dengan pekerjaan rumah dan mengurus anak, tanpa sadar Renata membiarkan Vino masuk ke dalam ke sehariannya hingga hidupnya kini lebih berwarna.
Renata kini mengerti dengan ucapan sahabatnya, selingkuh itu indah. Namun akankah keindahannya bertahan lama? Atau justru berubah menjadi petaka suatu hari nanti?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Bebaskan
Renata yang berada di bangku penumpang depan sibuk dengan pikirannya. Apa maksud Vino mengatakan itu? Apa Vino sedang membuat hubungan Renata dan Gavin menjadi buruk dengan memfitnah Gavin bersama wanita lain? Renata tak habis pikir Vino bisa sampai seperti ini agar ia bisa masuk di antara Renata dan Gavin. Namun sayangnya, Renata masih belum goyah. Gavin masih menduduki tempat terpenting di hatinya.
Begitu juga dengan Gavin, benaknya sibuk memikirkan ucapan Vino. Ia begitu khawatir. Yang ia pikirkan setelah ini ia harus menemui Vino dan memastikan apakah Vino benar melihatnya atau tidak. Kemudian Gavin akan menyangkal semua itu. Tak boleh ada seorang pun yang tahu tentang hubungannya dengan Marsha.
Kemudian akhir pekan pun berlalu. Hari itu Gavin sudah berangkat ke kantor. Nathan juga pergi bersama Gavin yang diantar olehnya sampai ke sekolah. Renata keluar dari apartemennya dan memerhatikan apartemen Vino. Tak lama Vino keluar dari pintu apartemennya dan tak sengaja melihat Renata tengah berada di depan apartemennya, memperhatikan ke arahnya.
"Aku mau ngomong," ujar Renata.
Vino tersenyum gemas. "Mbak nungguin aku?"
Renata menghela nafas. "Iya."
"Kenapa gak ketuk aja pintu aku? Atau Mbak telepon aku."
"Aku gak mau chat atau telepon kamu. Aku gak mau meninggalkan jejak yang bisa aja Gavin lihat. Dengar, aku cuma pengen nanya sama kamu, maksud kamu apa sih waktu itu? Kamu bilang cowoknya temen kamu itu mirip sama Gavin? Kamu bohong 'kan itu? Kamu mau ngerusak hubungan aku sama Gavin?" tanya Renata dengan marah.
Vino tak langsung menjawab. Ia terlihat memikirkan sesuatu. "Aku cuma godain Mbak aja."
Renata melipat tangannya di dada. "Gak lucu, Vino. Apa yang kamu tanyain bikin aku curiga sama Gavin."
"Loh, emangnya selama ini Mbak gak pernah sama sekali curiga sama suami Mbak? Misalnya kalau di pulang malem, atau pergi dinas?" tanya Vino seraya melipat tangannya di depan dada juga.
"Kamu jangan ngomporin. Di sini jelas kita yang selingkuh."
Vino terkekeh gemas mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Renata.
"Kok malah ketawa sih?" gerutu Renata.
"Abis lucu aja."
"Lucu?!"
"Ya lucu aja. Makanya Mbak, kita harus ada status. Mbak jadi pacar aku, biar gak dibilang selingkuh," ujarnya enteng.
"Sama aja. Mau ada status pacaran sama enggak, tetep aja kita ini selingkuh."
Vino menatap ke arah CCTV yang ada di lorong apartemen mereka. "Mbak tahu gak, CCTV itu sekarang lagi rusak?" Vino mengalihkan pembicaraan.
"Terus?" Kening Renata mengerut.
"Jadi, kita bebas. Dua orang kesayangan Mbak itu udah pergi 'kan?"
Renata tak menyahut. Ia tahu apa maksud Vino. Kesal dan penasaran bergantian hadir di hatinya. Lagi-lagi ia harus seperti ini, menyaksikan logikanya berperang dengan hatinya. Dan kemudian Renata sudah berada di dalam apartemen Vino setelah Vino menariknya masuk. Tubuh Renata bersandar ke tembok dekat pintu dengan Vino meraup pipinya.
"Kangen banget sama Mbak," ujar Vino dengan tatapannya yang menghipnotis hingga Renata pun tak bisa berkutik. "Mbak kangen gak sama aku?"
Renata bungkam. Ia tak mau mengatakan apa yang sesungguhnya ia rasakan. Vino mengusap bibir bawah Renata membangkitkan sesuatu dalam diri Renata.
"Mbak mau gak aku cium?" pancing Vino.
Renata semakin merasa tubuhnya panas dingin tak karuan. "Apa sih kamu nanyanya?"
"Jawab, Mbak. Jangan bohong. Mbak itu harus bisa lebih jujur sama diri Mbak sendiri tentang apa yang Mbak rasain sama aku. Kita udah terlanjur kayak gini, jadi kenapa gak kita nikmati aja? Sekarang kesempatan yang kita punya bakal lebih sedikit karena suami Mbak udah gak dinas lagi."
"Kenapa sih kamu bisa sesantai ini? Kita lagi bikin satu kesalahan. Setiap hari semakin besar kesalahannya. Gimana kalau tiba-tiba semuanya kebongkar?"
"Mbak dengerin aku, Mbak jangan kebanyakan mikir. Nikmati semuanya. Biarkan semuanya mengalir. Asal kita hati-hati semuanya akan baik-baik aja, Mbak."
Renata masih bimbang. Ia tak bisa memutuskan.
"Mbak tahu gak, menurut aku, pasti ada alasan kenapa kita dipertemukan di saat Mbak sudah punya keluarga yang harmonis."
"Apa alasannya?" tantang Renata. "Apa alasan yang membenarkan perbuatan kita ini?"
"Pertemuan kita walaupun salah, tapi ini juga takdir."
Renata tertegun. Benarkah seperti itu? Ia masih belum yakin. Namun entah mengapa ia setuju dengan apa yang Vino katakan. Ia selalu percaya bahwa tak ada yang namanya kebetulan. Semua yang terjadi pasti ada maksud dan tujuannya.
"Jadi Mbak, berhenti ngerasa bersalah. Semuanya udah terlanjur terjadi. Sekarang kenapa kita gak coba buat bahagia aja menjalani ini semua? Lepaskan hati Mbak, bebaskan. Apa yang Mbak rasain jangan Mbak tahan."
Renata terdiam cukup lama, mencerna semua perkataan Vino. Logikanya tiba-tiba saja luluh.
"Tapi aku takut, Vin."
"Takut itu pasti, Mbak. Kita emang ngelakuin kesalahan. Tapi, seandainya kita bubar jalan, emang Mbak mau?"
"Maksud kamu?"
"Kita gak ketemu lagi, hanya berinteraksi sebagai tetangga aja. Mbak mau kayak gitu?"
Tanpa sadar Renata menggelengkan kepalanya. "Enggak."
Vino tersenyum puas. Renata sudah berhasil sepenuhnya ia taklukan. "Aku juga gak mau, Mbak. Aku pengen selalu sedeket ini sama Mbak."
Perlahan kedua matanya yang asalnya menatap dalam pada kedua manik kecoklatan milik Vino, kini turun ke bibirnya. Timbul perasaan itu dan Renata tidak bisa menahannya lagi.
"Ya udah, aku akan bebaskan hati aku mulai sekarang," ujar Renata dengan nafas yang mulai menderu.
Vino tersenyum kembali. "Mbak udah memutuskan hal benar."
Tanpa menunggu lagi, Vino mencium bibir Renata dan disambut dengan antusiasnya oleh Renata. Renata membuktikan apa yang baru saja ia ucapkan. Ia bebaskan hatinya. Ia sudah terlanjur berada di sisi gelap ini. Semuanya memang bisa saja berubah menjadi begitu menakutkan jika hubungan mereka terungkap. Tapi apa untungnya jika ia khawatirkan semua itu dari sekarang?
Renata terlanjur menemukan sesuatu yang tak bisa ia hindari. Vino adalah candunya kini. Renata yang sering kali tak mendapatkan kepuasan dari Gavin, malah terpuaskan dengan amat sangat saat melakukannya dengan Vino. Tentu Renata tak bisa lagi menahan sisi liarnya yang terus mendobrak keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.
semoga endingnya membahagiakan semuanya sich 🤭😁🤪
move on vino dari Rania 💪
lanjutin jaa Renata ma vino 🤭🤭🤭 situ merasa bersalah sdngkn suami mu sendiri dh selingkuh duluan 🙈😬😞😞