Kehamilan merupakan sebuah impian besar bagi semua wanita yang sudah berumah tangga. Begitu pun dengan Arumi. Wanita cantik yang berprofesi sebagai dokter bedah di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Ia memiliki impian agar bisa hamil. Namun, apa daya selama 5 tahun pernikahan, Tuhan belum juga memberikan amanah padanya.
Hanya karena belum hamil, Mahesa dan kedua mertua Arumi mendukung sang anak untuk berselingkuh.
Di saat kisruh rumah tangga semakin memanas, Arumi harus menerima perlakuan kasar dari rekan sejawatnya, bernama Rayyan. Akibat sering bertemu, tumbuh cinta di antara mereka.
Akankah Arumi mempertahankan rumah tangganya bersama Mahesa atau malah memilih Rayyan untuk dijadikan pelabuhan terakhir?
Kisah ini menguras emosi tetapi juga mengandung kebucinan yang hakiki. Ikuti terus kisahnya di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon senja_90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pisah Kamar
Tepat pukul sembilan malam, deru mesin mobil Mahesa terdengar memasuki halaman rumah. Pria itu baru saja pulang dari kantor. Sebenarnya dia sudah pulang sejak sore tadi tetapi karena ada urusan penting menyebabkan Mahesa harus pulang terlambat dari biasanya.
Dengan menjinjing tas kerja, pria berusia dua puluh delapan tahun masuk ke dalam rumah. Setiap kali Arumi tidak dinas di rumah sakit, wanita itu akan berdiri dengan anggun, berpakaian rapi serta berdandan cantik untuk menyambut Mahesa. Namun, kali ini sosok istri tercinta tidak menyambut kepulangannya.
"Mbak, di mana istriku?" tanya Mahesa seraya melonggarkan ikatan dasi yang melilit di leher.
"Ibu ada di kamar, sedang istirahat. Sejak tadi siang belum keluar kamar. Bahkan masakan yang saya masak tidak disentuh sama sekali."
"Bapak mau makan malam?"
"Tidak, Mbak. Saya sudah makan sebelum pulang ke rumah." Kemudian Mahesa menarik napas dalam sambil berkata, "Tolong kamu hangatkan makanan yang di atas meja! Saya akan meminta Bu Rumi untuk makan."
Lalu Mahesa meninggalkan Mbak Tini yang sedang bersiap menghangatkan makanan untuk Arumi.
Dengan langkah gontai, Mahesa menaiki anak tangga lalu berjalan menuju kamar utama. Ketika dia masuk ke dalam kamar, suasana gelap gulita hanya sinar rembulan yang menerobos masuk lewat vitrage jendela. Meski pencahayaan sangat minim tetapi netra pria itu menangkap sosok wanita tengah tertidur pulas di atas ranjang empuk berukuran king size.
Perlahan, Mahesa mendekati istrinya lalu duduk di tepi ranjang. Manik coklat pria itu terus memandangi wajah pucat wanita yang terbaring di atas ranjang. Walau dalam keadaan temaram namun pria itu bisa melihat kesedihan mendalam di wajah Arumi.
"Aku sudah pernah bilang, jangan pernah datang ke rumah itu jika tidak bersamaku," ucap Mahesa lirih seraya menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah wanitanya.
Arumi membuka mata secara perlahan, merasakan sentuhan lembut penuh cinta dari sang suami. Tatapan mata wanita itu beradu dengan mata Mahesa yang memandanginya dengan sorot mata lembut.
"Bagaimana keadaanmu? Apakah sudah jauh lebih baik?" tanya Mahesa seraya membelai pipi Arumi.
"Sudah mendingan, Mas." Wanita itu duduk sambil bersandar di kepala ranjang. "Tumben jam segini baru pulang. Lembur lagi?"
Mahesa menghela napas kasar. Pertanyaan terakhir Arumi menyulut emosi pria itu. Dengan kasar dia melemparkan jas kerja yang teronggok di sampingnya ke sembarang arah.
"Kamu jangan memancing emosiku, Rumi!" teriak Mahesa dengan intonasi tinggi.
Arumi membulatkan mata menyaksikan perubahan sikap suaminya itu. Kedua alis saling tertaut dan tak terasa air matanya meleleh di pipi. Lagi-lagi Mahesa berteriak padahal dia hanya bertanya tetapi mengapa pria itu tersinggung.
"Aku hanya bertanya tetapi kenapa kamu malah berteriak! Bukankah tadi pagi kamu berjanji tidak akan membentakku lagi!" tanya Arumi dengan suara parau.
"Ya, aku memang sudah berjanji tetapi jika kamu terus menerus curiga padaku, apakah aku harus diam saja!"
Mahesa bangkit dari ranjang dan berdiri di tengah suasana temaram di bawah sinar rembulan. "Sikapmu ini menunjukan bahwa kamu sudah tidak mempercayaiku lagi!"
"Tentu saja aku percaya padamu, Mas. Namun, gerak gerikmu ini membuatku curiga."
"Terserah padamu. Yang pasti, aku tidak suka dicurigai apalagi sampai kamu memata-mataiku!"
Kemudian Mahesa pergi meninggalkan Arumi. Masuk ke dalam kamar mandi, mengguyur tubuhnya di bawah air shower. "Gawat, jangan sampai Arumi curiga padaku. Pokoknya mulai besok aku harus berhati-hati dalam bertindak."
Sementara itu, Arumi mengusap air mata yang meluncur di antara ke dua pipi. Luka di hati akibat perlakuan kasar mertuanya belum sembuh kini Mahesa malah menaburkan garam di atas luka yang sama.
Perih, sakit dan kecewa melebur menjadi satu membuat dada wanita itu semakin sesak.
"Kalau memang tidak menyembunyikan sesuatu seharusnya kamu bersikap biasa saja, Mas," lirihnya.
Tak lama berselang, pintu kamar mandi terbuka kemudian disusul Mahesa keluar hanya mengenakan handuk yang menutupi bagian pinggang ke bawah. Pria itu berjalan ke arah walk in closet.
Setelah mengenakan pakaian, pria itu meraih telepon genggam yang tergeletak di atas nakas.
"Malam ini aku akan tidur di kamar tamu. Selamat malam!" Mahesa berlalu begitu saja tanpa menoleh sedikit pun ke arah Arumi.
Bersambung
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak cinta untuk otor remahan ini ya. Terima kasih. 🥰
***
Halo guys, otor mau promosiin karya punya teman nih. Yuk cus, dikepoin.