Penyesalan Suami : Dikhianati Karena Tak Kunjung Hamil
Pagi itu, di sebuah rumah berlantai dua di kawasan Jakarta Pusat, sepasang suami istri tengah bergelung di bawah selimut putih tebal di atas kasur empuk berukuran king size. Kamar itu begitu luas dilengkapi berbagai fasilitas yang ada. Sentuhan mewah terlihat dari furnitur dan interior yang dipastikan terbuat dari kualitas pilihan.
Dua sejoli yang beberapa jam lalu bergulat di tengah suara gemericik air hujan kini saling berpelukan. Udara dingin selepas hujan membuat mereka semakin mengeratkan pelukan.
Arumi Salsabila atau yang biasa dipanggil Rumi, baru saja terbangun dari mimpi indah. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun dengan paras cantik bagai Dewi Aphrodite ditunjang postur tubuh tinggi semampai, berbadan langsing bak gitar Spanyol, hidung mancung, bibir merah ranum dan bermata coklat itu sedang mengerjapkan kedua mata.
Manik coklat milik wanita itu melirik jam yang terpasang di dinding. "Tampaknya semalam aku bermimpi indah hingga tak mendengar suara alarm yang sudah kupasang pukul lima pagi," gumam Arumi. Ia melirik ke samping, melihat suami tercinta tengah terlelap dengan kedua tangan memeluk bagian pinggang sang istri.
Wanita itu memindahkan tangan kekar sang suami yang melingkar di pinggang dengan sangat hati-hati agar pria di sampingnya itu tidak terbangun. Ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya yang polos tanpa sehelai kain pun, lalu masuk ke dalam kamar mandi guna membersihkan tubuh dari sisa peluh dan kotoran yang menempel.
"Untung saja hari ini aku mendapatkan shift siang. Jadi masih sempat menyiapkan pakaian dan sarapan untuk Mas Mahes," gumam Arumi di tengah guyuran air shower yang membasahi tubuh.
Setengah jam kemudian, Arumi keluar dari kamar mandi hanya menggunakan jubah mandi. Rambut panjang hitam milik wanita itu tertutupi oleh handuk kecil yang melilit di atas kepala. Ia berjalan ke arah meja rias, menuangkan hair tonic sebelum mengeringkan rambut.
Ketika Arumi sedang sibuk mengeringkan rambut, dari arah belakang tangan kekar seorang pria memeluk wanita itu. "Astaga, Mas. Kamu mengagetkanku saja!" cicit Arumi seraya menekan tombol off yang terdapat pada alat pengering rambut.
Pria itu menggulum senyum, kemudian mengecup puncak kepala sang istri dengan penuh cinta. Ia berdiri di belakang Arumi, memandangi kecantikan wanita itu lewat pantulan di cermin. "Memangnya kamu pikir siapa yang berani memelukmu selain aku?" tanya Mahesa.
"Tentu saja tidak akan ada yang berani memelukku selain kamu, Mas."
Mahesa membalikkan tubuh Arumi, kini posisi keduanya saling berhadapan. "Jika ada orang yang berani menyentuhmu selain aku, maka akan kuhajar dia habis-habisan karena sudah mengotori kesucian istriku tercinta."
"Kamu hanya akan menjadi milikku selamanya." Mahesa terdiam sejenak, lalu berkata, "Menikahimu adalah sebuah keberuntungan bagiku. Usahaku semakin sukses berkat do'a tulus dari istri tercinta sepertimu. Arumi Salsabila adalah berlian yang sangat berharga bagi Mahesa Putra Adiguna," timpal pria itu.
Seketika wajah Arumi merona karena mendapatkan pujian dari suami tercinta. Walaupun mereka sudah menikah selama hampir lima tahun, tetapi sikap Mahesa masih sama seperti dulu. Selalu lembut, penuh kasih sayang dan teramat mencintainya. Ia beruntung dipersunting oleh pria seperti Mahesa yang mau menerima dirinya apa adanya.
Namun, sebuah gada besar menghantam kepalanya secara tiba-tiba. Raut wajah Arumi berubah ketika sekelebat bayangan kedua orang tua Mahesa muncul dalam benaknya.
"Mas, apakah kamu akan tetap mencintaiku meski aku belum bisa memberikan keturunan untuk keluarga Adiguna?" bibir Arumi bergetar diikuti kedua mata yang mulai berkaca-kaca.
Hati wanita itu terlalu sensitif jika membahas soal keturunan sebab hingga detik ini pernikahan yang telah dibina bersama Mahesa Putra Adiguna belum juga membuahkan hasil, membuat Arumi khawatir. Bagaimana jika suatu saat Mahesa berpaling dan mencampakkannya begitu saja. Ia begitu takut apabila harus berpisah dengan pria yang amat dicintainya.
Mahesa kembali tersenyum. "Aku akan tetap mencintaimu, ada atau tanpa adanya anak dalam keluarga kecil kita. Percayalah, hanya kamu seorang yang akan menjadi istriku. Di hati ini tidak ada lagi wanita lain selain dirimu." Pria itu menarik tangan Arumi lalu mendekatkan di bagian hati, mencoba memberikan keyakinan pada sang istri untuk tidak terlalu mencemaskan soal keturunan.
Senyuman indah merekah di bibir ranum Arumi. Bibir itu manis bagaikan madu, hingga membuat sang kumbang ingin mengecap walau hanya sekejap saja.
"Eh, kamu mau apa, Mas?" tanya Arumi ketika wajah Mahesa mendekat.
"Aku ingin mengecap betapa manisnya madu yang ada di bibirmu itu."
Mahesa semakin mendekatkan bibir. Namun, dengan gerakan cepat Arumi menghindar. "Lekaslah bergegas, jangan sampai kamu telat tiba ke kantor!" Arumi beranjak dari kursi menuju walk in closet yang ada di dekat kamar mandi.
"Padahal aku hanya ingin mengecupnya sebentar saja," batin Mahesa. Namun, ia pun tetap menuruti perintah Arumi. Melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Lima belas menit berlalu, pria bertubuh atletis itu keluar dari kamar mandi. Ketika kedua kakinya melangkah maju, netra Mahesa menangkap sosok wanita cantik jelita tengah menyiapkan kemeja lengkap dengan dasi dan setelah jas kerja. Dalam balutan mini dress berwarna jingga tanpa lengan, sangat kontras dengan warna kulit sang istri. Wajah Arumi terlihat sangat bersinar menyerupai sinar rembulan di malam hari meski tanpa polesan make up tebal, ia tetap terlihat cantik.
Mahesa berdecak kagum, melihat betapa cantiknya wanita yang telah dipersunting olehnya selama hampir lima tahun. "Sungguh indah sekali ciptaan-Mu, Tuhan," batinnya.
"Mas Mahes, sini!" Arumi melambaikan tangan ke udara, meminta Mahesa untuk segera menghampiri.
Wanita itu begitu telaten mengurusi semua kebutuhan suami. Hingga tak heran, Mahesa semakin hari semakin mencintai dan menyayangi istrinya. Meski Arumi belum juga memberikan keturunan, tetapi Mahesa yakin suatu hari nanti akan ada keajaiban menghampiri keluarga kecil mereka.
***
Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul tujuh pagi. Cahaya matahari mulai menampakkan pesonanya. Meskipun semalam ibu kota diguyur hujan akan tetapi sang mentari tetap setia kepada penduduk di bumi ini. Memancarkan sinarnya, memberikan kehangatan bagi seluruh insan di bumi ini.
"Pukul berapa kamu ke rumah sakit?" tanya Mahesa saat duduk di meja makan untuk sarapan. Pria itu telah siap dengan setelan pakaian kerja.
"Aku akan berangkat pukul satu siang," jawab Arumi sambil menuangkan nasi goreng ke piring kosong milik suaminya. "Namun, sebelum ke rumah sakit, aku ada janji ketemuan dengan Kayla dan Rini di sebuah café."
"Oke, tak masalah. Lagipula kamu sudah lama 'kan tidak berjumpa dengan kedua sahabatmu itu!" Mahesa menyuapkan makanan ke dalam mulut.
"Benar, aku terlalu sibuk bekerja hingga tak memiliki waktu luang untuk bertemu dengan mereka."
"Ya, kamu terlalu sibuk akhir-akhir ini. Bahkan di akhir pekan pun akan pergi ke rumah sakit. Padahal akhir pekan merupakan waktu yang paling tepat untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Kita bisa gunakan untuk jalan-jalan, nonton di bioskop atau berbelanja. Pokoknya kembali ke masa ketika masih pacaran agar hubungan rumah tangga kita tetap harmonis."
Arumi menyentuh tangan Mahesa yang ada di atas meja makan. Ia sadar akhir-akhir ini telah menelantarkan suaminya dengan sibuk bekerja. Dengan penuh penyesalan, wanita itu berkata, "Saat itu aku terpaksa pergi karena ada operasi darurat. Kebetulan aku-lah dokter yang bertanggung jawab pada pasien itu."
"Mau tidak mau, aku harus bergegas ke rumah sakit. Kamu tahu 'kan, Mas, tugas seorang dokter itu adalah membantu pasien yang membutuhkan pertolongan!" Wanita itu menjeda sebentar kalimatnya. "Bagi tenaga medis, semua pasien adalah prioritas utama dibanding dengan urusan pribadi."
Mahesa tersenyum masam. "Sudahlah, jangan dibahas lagi. Aku tidak ingin masalah ini merusak hariku!"
Arumi mengangguk, kemudian menyendokkan makanan ke dalam mulut.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah selesai sarapan. Arumi membawa tas dan jas yang disematkan di lengan kanan. Arumi dan Mahesa berjalan bersisiran menuju pintu masuk rumah mewah berlantai dua di perumahan elit di kawasan Jakarta Pusat.
"Aku pergi dulu."
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan," sahut Arumi. Kemudian dia memberikan tas dan jas kerja pada Mahesa, lalu mencium punggung tangan sang suami.
Mahesa mencium kening Arumi. Meski pria itu masih kesal atas pertengkaran kecil yang terjadi di meja makan, tetapi dia tidak mau melewatkan memberikan kecupan hangat untuk istri tercinta sebab itu merupakan tradisi yang harus dilakukan sebelum berangkat kerja.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 294 Episodes
Comments
Lela Lela
semangat
2024-02-09
0
Truely Jm Manoppo
baru gabung thor ... 🥰
2023-12-03
0
Jarmini Wijayanti
mencoba mampir thor
2023-12-01
0