Pertemuan tanpa sengaja, membawa keduanya dalam sebuah misi rahasia.
Penyelidikan panjang, menyingkap tabir rahasia komplotan pengedar obat terlarang, bukan itu saja, karena mereka pun dijebak menggunakan barang haram tersebut.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Akankah, Kapten Danesh benar-benar menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#20. Tak Pernah Menyesal•
#20.
Apartemen Danesh masih sepi ketika ia tiba malam itu, terpaksa ia kembali mengumpulkan anak buahnya, setelah pagi tadi mereka mengadakan rapat darurat.
Danesh bergegas mandi, sebelumnya ia memastikan pendingin ruangan bekerja dengan baik, jadi ketika para tamu tiba, ruangan sudah tak lagi pengap.
Danesh menghampiri papan kaca transparan yang sudah bergambar bagan piramida sebuah jaringan organisasi rahasia, yang mana organisasi tersebut telah sukses memproduksi serta mengedarkan obat-obatan secara terorganisir selama bertahun-tahun lamanya.
Bagan piramida tersebut sudah sejak lama ia gambar disana, namun tak satupun gambar berhasil ia silang, sebagai tanda bahwa sudah ada satu orang yang berhasil ia tangkap sebagai langkah awal.
Namun kini dengan bangga ia menandai foto yang baru ia dapat beberapa hari yang lalu, yakin bahwa tak lama lagi langkah pertama mereka akan membuahkan hasil.
Danesh menuju kamarnya, sejenak mencuci muka, serta mengganti pakaiannya agar terlihat lebih santai.
Tak lama kemudian, bel pintu berbunyi, dan tanpa perlu melihat Danesh sudah tahu siapa yang datang, karena ketiga anak buahnya sudah hafal kode pintu apartemennya.
Danesh berjalan cepat ke arah pintu, “Kau tidak bercanda?!” tanya sang tamu dengan antusias, wajahnya berseri-seri seperti baru saja memenangkan lotre.
Tak seperti pagi tadi, kali ini Dhera datang dengan penampilan santai, namun make up tipis tetap menghiasi wajahnya.
“Weiiiits … kalem!” sambut Danesh, ketika mendengar pertanyaan Dhera yang sungguh bersemangat, hingga tanpa sadar kebahagiaan itu pun menular padanya.
“Ah … tidak bisa, katakan kamu tak bercanda.” Dhera kembali memastikan.
“Serius.” Danesh kembali mengulang pernyataannya beberapa jam yang lalu di telepon.
“Siapa dia?” tanya Dhera.
“Dia siapa?”
“Jangan meledek,” jawab Dhera dengan bibir berkerut.
“Hei … aku sungguh-sungguh bertanya, Dia siapa yang kamu maksud? Dia, sang informan? Atau Dia, si Mr. B?”
Dhera kembali merubah ekspresi wajahnya, karena malu telah berprasangka buruk. “Aku kira kamu sedang meledekku.”
“Aku sudah mengundang informannya kemari, nanti kalian akan bertemu dengannya,” jawab Danesh, tangannya memberi isyarat pada Dhera agar duduk.
Dhera pun duduk di sofa panjang, setelah Danesh mempersilahkannya untuk duduk, sementara Danesh duduk di ujung sofa sembari melipat salah satu kakinya. “Dia mau datang?”
Danesh mengangguk yakin. “Kamu benar-benar membuatku penasaran, sampai-sampai ingin menggigiti gigiku sendiri.”
Danesh tergelak, ini humor renyah kesekian kalinya yang Dhera lontarkan sejak mereka mulai saling kenal satu sama lain.
Tak lama kemudian, kode kombinasi pintu kembali ditekan, dan kali ini pun Danesh sudah bisa menebak siapa yang datang.
“Kapt, aku baru saja memeluk guling!!” Marco datang dengan omelan yang meluncur bebas dari bibirnya, wajahnya benar-benar sembab karena kantuk.
“Dan Aku baru saja buka mulut, karena Ibuku baru selesai memasak.” Bastian rasanya sudah ingin melempar sang kapten dengan benda apapun yang ada di dekatnya, karena sudah berani mengganggu acara makan malamnya, setelah sebulan tak mendatangi rumah ibunya yang jauh di pinggiran kota jakarta.
Danesh hanya tersenyum simpul, “Kalian pikir hanya Kalian saja yang tak pernah pulang? Aku pun sama! Tapi setiap pulang, telingaku selalu panas terbakar, mendengar Orang Tuaku mengomel soal jodoh.” Danesh menimpali keluhan kedua anak buahnya tersebut.
“Lihat Rara, Ia bahkan belum sempat mengeringkan rambutnya.” Sambil berbicara, Bastian mengangkat beberapa helai rambut Rara, “Jadi Kapt, pastikan informasi ini sebanding.”
“Berisik sekali kalian. Duduklah dulu.” Danesh berjalan menuju kamarnya, ia membuka laci meja dan mengambil hair dryer dari dalamnya agar Rara bisa mengeringkan rambutnya.
“Thanks, Kapt,” ucap Rara usai menerima hair dryer tersebut.
“Tunggu sebentar, aku akan menelponnya.” Danesh berpamitan kembali ke kamarnya, karena ia lupa membawa ponselnya keluar kamar.
Sementara Danesh ke kamarnya, keempat orang yang berada di ruang tamu kembali terlibat obrolan.
“Dhera … apa kamu juga pulang ke rumah orang tuamu?” cetus Marco.
Mendengar pertanyaan Marco, senyum Dhera sedikit pudar, namun ia tak ingin terlihat muram hanya agar orang lain berempati terhadapnya. “Aku sedang dalam misi, jadi demi keamanan dan keselamatan keluarga, kami dilarang pulang ke rumah jika sedang bertugas,” jawab Dhera netral, ia tak ingin orang lain tahu bahwa dirinya dan keluarganya tak terlalu dekat.
“Kamu dimana?”
“ … “
“Benarkah?” Tanya Danesh, sambil berjalan cepat ke arah pintu. Sementara tatapan keempat orang yang berada di ruang tamu tersebut, tertuju pada Danesh.
Ia membukakan pintu, karena Darren kesulitan membawa beberapa barang bawaannya.
Bastian, Marco, dan Rara, sudah tak heran melihat kedatangan Darren, karena mereka sudah sangat tahu siapa Kapten mereka, yang termasuk dari salah satu cucu konglomerat Negeri ini.
“Kalian menungguku?” sapa Darren, yang langsung disambut akrab Marco dan Bastian.
“Tidak, Kapten bahkan tak bilang bahwa seorang aktor yang akan datang malam ini.” Jawaban Bastian membuat Darren menatap sengit adik sepupunya.
“Abaikan Dia, anggap saja anak durhaka,” cibir Darren. “Padahal dia yang membuatku datang terlambat, karena menunggu istriku masak banyak makanan sesuai permintaannya … “
Darren menggantung kalimatnya, kala menyadari ada seseorang yang sedang menatap ke arahnya. “Dia?”
“Ini … Anggota baru Kami, namanya Dhera.” Rara memperkenalkan Dhera.
Darren hanya mengangguk, “Dhera, jangan melihat dia sebagai aktor, karena kharismanya sudah pudar, sekarang dia hanya sepupuku yang pengangguran, jadi santai saja, ya,” cetus Danesh yang mulai menata piring saji diatas meja, sebagai tempat hidangan.
‘Hanya sepupu pengangguran katanya?’ Dhera membatin, seraya menelan ludahnya dengan susah payah. Walau bukan penggemar fanatik, tapi Dhera tahu ketika teman-temannya membicarakan serta memuji ketampanan Darren.
Tapi tunggu, jika Informannya adalah Darren, maka apakah Mr. B adalah sosok selebritas? Ataukah salah satu pengusaha stasiun TV nasional?
Ah, rasanya Dhera sungguh sangat penasaran, mengingat begitu panjang penyelidikan mereka nantinya, karena itulah dalam benaknya sudah mulai muncul pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri tak dapat menjawabnya.
•••
Sementara itu di sebuah rumah mewah, seseorang yang kini kita tahu sebagai Mr. B, sedang menerima panggilan. Dia sedang bersandar di head board, bersama wanita bertubuh sexy yang baru saja memuaskan hasratnya.
“Bagaimana persiapan disana?”
“Aman, Tuan.”
“Kamu tentu tahu konsekuensinya, jika penyebaran cherry pil kali ini gagal.”
“Iya, Tuan.” Mr. B membuka selimut yang menutupi tubuhnya, ia bahkan menepis kasar tangan si wanita yang kembali coba menggodanya.
Panggilan pun berakhir, pria itu memakai bathrobe dan keluar ke balkon untuk menghisap sebatang nikotin, kembali merenungi jalan yang dulu ia pilih.
Dari tempatnya berdiri, ia menatap kota Jakarta yang sibuk dengan hiruk pikuknya. Entah sudah berapa lama ia bergelut di dunia gelap, awalnya ia hanya kurir kecil yang menyampaikan pesan. Namun kondisi bisnis keluarga memaksanya menerima permintaan khusus dari Mr. X.
Dunia boleh terus maju dan bergerak, namun sampai kapanpun, Mr. B tak pernah menyesali pilihan yang sudah ia buat.