~MEMBALAS DENDAM PADA SUAMI, SELINGKUHAN, DAN MERTUA MANIPULATIF~
Mayang Jianasari—wanita bertubuh gendut kaya raya—menjadi istri penurut selama setahun belakangan ini, meski dia diperlakukan seperti pembantu, dicaci maki karena tubuh gendutnya, bahkan suaminya diam-diam berselingkuh dan hampir menguras habis semua harta kekayaannya.
Lebih buruk, Suami Mayang bersekongkol dengan orang kepercayaannya untuk memuluskan rencananya.
Beruntung, Mayang mengetahui kebusukan suami dan mertuanya yang memang hanya mengincar hartanya saja lebih awal, sehingga ia bisa menyelamatkan sebagian aset yang tersisa. Sejak saat itu Mayang bertekad akan balas dendam pada semua orang yang telah menginjaknya selama ini.
"Aku akan membalas apa yang telah kau lakukan padaku, Mas!" geram Mayang saat melihat Ferdi bertemu dengan beberapa orang yang akan membeli tanah dan restoran miliknya.
Mayang yang lemah dan mudah dimanfaatkan telah mati, yang ada hanya Mayang yang kuat dan siap membalas dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemilik Arumndalu
"Ada apa? Kok lama?" Saira yang menunggu di luar bertanya pada sepuluh orang anak buahnya yang terihat bersungut dan berkasak kusuk. Tak ada lagi raut wajah kegirangan karena makan di tempat terfavorit di kota ini secara gratis. Mungkin mereka pernah makan di sini, tetapi tentu tak sebebas tadi.
"Ferdi di suruh bayar di restorannya sendiri, Bu," jawabsalah seorang diantara mereka. "totalnya tiga juta lebih."
"Hah? Yang bener? Masa sih?" Tentu Saira tidak percaya. Agak aneh kalau sampai sebegitunya, kan? Apalagi di restoran sendiri. Mata Saira menatap lekat pintu masuk Selera. Pikirnya ada yang tidka beres dengan hal itu.
"Mungkin bapak tadi orang baru," timpal yang lain, mengurangi suasana kurang menyenangkan penuh pikiran buruk di sini.
"Bisa jadi ... soalnya, meski ngga sering, aku beberapa kali pernah kesini, dan belum pernah lihat orang itu," sahut yang lain menguatkan.
"Apa kalian ndak dengar apa kata bapak tadi? Dia disuruh pemilik tempat ini untuk menahan kita. Artinya, Ferdi bukan pemilik tempat itu."
"Yang aku dengar, tempat ini milik istrinya Ferdi--"
"Sudahlah," potong Saira yang merasa obrolan mereka akan semakin memanas penuh praduga. "Mungkin Mas Ferdi dan istrinya lagi ada masalah, makanya sampai kejadian kaya gitu."
Saira menjatuhkan pandangannya dari pintu depan Selera pada anak buahnya. "Sebaiknya kita kembali ke kantor."
Siara berjalan mendahului mereka menuju mobil Saira yang dikemudikan oleh salah satu anak buahnya. Meninggalkan segudang tanya dan prasangka pada Ferdi. Aneh bagi mereka yang awam, diperas di restoran sendiri, hanya karena ada masalah dalam rumah tangga mereka.
"Orang kaya mah, berantemnya beda," celetuk salah satu karyawan Saira ketika mobil meninggalkan parkiran Selera, yang langsung mengundang tawa dari yang lain.
Sementara, Ferdi belum selesai mengumpat, Mayang menyusulnya sembari menoleh kanan kiri.
"Mas, temannya udah pada pulang? Yah, padahal aku baru mau nyamperin mereka. Tadi aku benerin bedak dibelakang biar ndak bikin malu kamu di depan mereka." Mayang terlihat kecewa. Menyembunyikan raut bahagia karena berhasil mengerjai suaminya itu.
Dengan Ferdi mengeluarkan kartunya, ini menguatkan bukti kalau rekening-rekening di tas Ferdi bukan rekening palsu. Dan juga, ini menjadi bukti kalau uang bensin lima ratus ribu perbulan, hanya kedok Ferdi agar tidak terlihat sebagai suami boros dan suka jajan.
Ferdi yang masih meletakkan tangannya di meja kasir seraya mengetuk-ngetukkan kartu debitnya, dibuat terkejut oleh ucapan Mayang. Dia lupa kalau masih ada istrinya di sini. Sontak saja, Ferdi menjatuhkan tangannya dan menoleh ke arah Mayang.
"Baru saja mereka kembali ke kantor, Yang." Ferdi tersenyum menutupi kegugupannya. Matanya sibuk membaca ekspresi di wajah istrinya itu, lantas ia baru sadar kalau kartu debitnya belum sempat ia sembunyikan.
"I-ini kartunya Saira, Yang, a-aku hanya bertugas membayar saja," kilah Ferdi cepat-cepat seraya mengantongi kartu berwarna biru tersebut di saku kemejanya.
Mayng tersenyum ringan. "Sampai sebegitunya, ya, Mas ... antara atasan dan bawahan. Sampai kartu ATM pribadi saja di serahkan."
"Ya, kan ini, urusan kantor, Yang. Dan-dan itu tadi kan--" Ferdi benar-benar gelagapan dan panas dingin. "Kamu nggak bakal ngerti urusan kantor, Yang--sudahlah."
Sungguh berharap Mayang tidak menambah-nambahi kekesalan hati Ferdi. Menambah guyuran bensin diatas amarahnya yang berkobar. Atau bisa-bisa dia kehilangan kendali atas dirinya.
"Aku emang ndak ngerti urusan kantormu, Mas ... tapi aku tau batas hubungan antara atasan dan bawahan. Sedekat dan seakrab apapun kalian, tidak mungkin sampai ATM diserahkan, apalagi sampai ditinggal pulang begitu saja. Sekaya apapun Mbak Saira, sekalipun uangnya ndak habis tujuh turunan, harusnya tidak sampai seperti ini, Mas. Apalagi kamu, biar jelek-jelek gini, kamu udah punya aku, istrimu."
Ferdi terdiam sejenak. Menatap mata Mayang, mencoba menemukan maksud dari perkataanya itu. Lnats tersenyum, ketika ia menyimpulkan apa yang ada dipikiran Mayang.
"Jadi, istriku ini cemburu ceritanya?" Ferdi merangkul pundak Mayang dan membawa Mayang--sedikit memaksa, kembali ke meja mereka.
"Yang ...." Ferdi memposisikan Mayang agar menghadapnya. "Hanya kamu wanita yang ada di hidupku. Satu-satunya. Tidak akan ada yang lain. Ngerti?"
Mayang membuang napas perlahan, merasa mual, dan jijik. Ia memilih membuang pandangannya ke arah lain ketimbang menatap suaminya ini. Sampah busuk saja masih enak baunya. Astaga! Dasar biawak!
"Tapi aku seneng, kalau kamu cemburu, artinya kamu cinta beneran sama Mas." Ferdi menarik dagu Mayang agar istrinya yang pemalu ini menatapnya lagi.
Mayang tertawa, tertawa sampai ia menutup mulutnya. Cemburu katanya? Astaga dragon! Boroknya ketahuan, tapi masih kepedean seperti ini. Mungkin Ferdi memang penipu ulung.
"Kita pulang, Yang ... aku tau kamu kangen sama suamimu sampai Saira kamu cemburui." Persetan dengan perasaannya saat bersama Mayang, Ferdi hanya ingin membujuk Mayang lupa pada apa yang dia lihat hari ini. Mayang biasanya akan berlari seperti anak kecil jika dia sudah berkata seperti itu.
"Aku masih ingin di sini, Mas ...." Masih ada beberapa hal yang harus ia luruskan di sini. Selera hampir saja lolos dari tangannya, jadi dia tidak boleh lengah lagi. Air mata dan keringatnya adalah Selera, dan rupiah-rupiah yang pernah ia hasilkan dulu saat masih bekerja di luar kota, adalah pondasi Selera. Tentu tidak akan ia biarkan orang lain merebutnya.
Ferdi mengerutkan kening, berpikir kalau Mayang akan melakukan sesuatu pada tempat ini. Lagian Rully pasti ada di sini, dan membeberkan semua yang ia ketahui. Sialan memang, Ferdi lupa kalau masih ada Rully yang menjadi bayangannya. Ferdi memainkan bibirnya menimbang resah.
"Mau ngapain memangnya? Ada yang lebih penting dari kita, ya? Daripada cepat-cepat punya anak?" cecar Ferdi, menyudutkan Mayang.
Mayang terhenyak beberapa saat. Dia baru paham kemana arah pembicaraan Ferdi. Jadi ajak pulang hanya untuk begituan? Setelah semua ini dan Ferdi masih menginginkannya? Atau itu hanya bujukan lain Ferdi agar dia lupa pada kejadian hari ini? Bahkan Mayang saja sudah tidak ingat jika masih punya kewajiban melakukan itu, atau mungkin sudah tidak bergairah lagi melakukannya dengan Ferdi. Segumpal perasaan benci mengalahkan segalanya.
Akan tetapi, Mayang juga tidak mungkin mengatakan akan melakukan apa disini, kan? Sehingga otaknya berputar mencari alasan agar Ferdi segera pulang dan meninggalkannya untuk melanjutkan misinya.
"Kan aku masih nungguin temenku, Mas." Mayang memutar kepalanya ke arah pintu kemudian meraih ponselnya. "Kok belum datang-dateng, ya? Padahal udah lewat satu jam loh, apa dia masih sibuk?"
"Siapa, sih orangnya? Penting banget?" Ferdi tentu menolak percaya, tetapi ucapannya ia balut semourna dengan nada penuh cemburu.
"Mati aku!" batin Mayang seraya menggigit bibir.
"Egh ... hanya rekan kerja saja." Mayang kembali menoleh ke pintu. Dan binggo! Itu dia malaikat penolongnya. Meski entahlah.
"Itu dia orangnya!" Telunjuk Mayang terarah pada dua orang pria yang baru saja tiba di pintu depan. Terlihat sedang memadang sekeliling, dan pria yang jauh lebih muda, secara kebetulan menjatuhkan pandangannya tepat ke arah Mayang.
Ferdi dibuat berdegup kencang. Itu adalah Hadyan Sucipto, pemilik Arumndalu. Mungkinkah ...?
"Kamu mau nego Arumndalu, Yang?" tanya Ferdi antusias. Jackpotnya banyak sekali hari ini. Tak apalah, ia kecewa kalau ia gagal menjual Selera sekarang, tetapi Arumndalu tak lama lagi ada ditangannya. Selera bisa diurus nanti-nanti.
*
*
*
*
Maaf, baru update, gengs ... semalam ngga sempat ngetik.
Happy reading ya.
Dearly
Misshel